Setelah diadopsi Verio, kehidupan Ragna berubah. Apalagi saat mendapat ingatan masa lalunya sebagai putri penjahat yang mati akibat penghianatan.
Memanfaatkan masa lalunya, Ragna memutuskan menjadi yang terkuat, apalagi akhir-akhir ini, keadaan kota tidak lagi stabil. Bersama Verio, mereka memutuskan menuju puncak dalam kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Silvi membanting apa saja yang ada di sekitarnya, suara benda jatuh dan pecah memenuhi kamar, menciptakan kekacauan yang tak terkendali. Kemarahan membakar habis akal sehatnya, terutama setelah kejadian kemarin—ayahnya kembali membela Ragna. Rasa benci menguasai hatinya, seolah perhatian sang ayah sepenuhnya telah berpindah pada gadis itu.
“Aaah!! Ragna! Aku benar-benar membencimu!” Teriaknya keras, nyaris seperti orang kesetanan. Nafasnya memburu, matanya memerah, sementara jemarinya mencengkeram erat kain seprai yang nyaris tercabik.
Kepintaran yang dipuja, wajah cantik bak boneka porselen dengan sorot mata dingin—semua milik Ragna, dan itu membuat Silvi muak. Kejeniusannya yang membuat para guru selalu membicarakan namanya, kekaguman dari siapa pun yang melihatnya, semuanya membuat dada Silvi penuh sesak. Setiap detik Ragna berdiri di hadapannya, Silvi merasa semakin tenggelam di bayangan gadis itu.
“Silvi, ada apa ini?” Sebuah suara tenang, namun berwibawa, memecah amukan. Seorang wanita paruh baya yang masih tampak mempesona berdiri di ambang pintu, tatapan tajamnya mengunci sosok Silvi yang terduduk dengan tubuh bergetar.
“Mama… Hiks… Hiks… Aku benci padanya, Ma!” Isaknya penuh kebencian.
Wanita itu melangkah mendekat, tangannya terulur lembut mengelus rambut Silvi. “Ssst... Ceritakan semuanya pada Mama. Ada apa denganmu?” suaranya lembut, namun ada ketegasan di balik nada bicaranya.
Silvi menengadah, wajahnya dipenuhi amarah bercampur kepedihan. “Ragna! Dia… semua orang menyukainya, Ma! Papa lebih memedulikannya! Semua perhatian selalu tertuju padanya! Aku muak! Aku benci!” ucapnya dengan suara bergetar, penuh luapan emosi.
Mata sang ibu menyipit mendengar nama itu. Rasa dingin menjalari tubuhnya, meski wajahnya tetap tampak tenang. Gadis itu masih hidup? Pikirannya berputar cepat, mengingat masa lalu yang seharusnya sudah terkubur bersama tubuh kecil yang ia pastikan tenggelam di laut bertahun-tahun silam. Tidak mungkin. Wanita itu yakin betul bahwa ia sudah memastikan semuanya saat itu—tak ada yang bisa menyelamatkan gadis kecil itu.
Namun, kini kenyataan berbicara lain. Ragna masih hidup dan… lebih berbahaya.
“Jangan khawatir, Silvi sayang,” suara wanita itu terdengar lebih rendah, nyaris berbisik. Ada sesuatu yang berbahaya di balik ketenangan itu. “Mama akan memastikan gadis itu pergi. Kali ini… dia tidak akan kembali.”
Silvi mendongak, tangisnya perlahan mereda. “Benarkah, Ma?” tanyanya penuh harap, seperti anak kecil yang dijanjikan hadiah.
Sang ibu mengangguk, senyum tipis terbentuk di wajahnya. “Percayalah. Kau tak perlu khawatir lagi.”
Dengan jawaban itu, Silvi tersenyum samar, puas dengan janji sang ibu. Di dalam pikirannya, Ragna sudah tak lagi tampak sebagai ancaman—hanya tinggal menunggu waktu hingga bayangan gadis itu lenyap sepenuhnya dari hidupnya.
✨
Saat senja mulai beranjak malam, bengkel sudah sepi. Suara mesin yang semula berdengung kini hanya menjadi latar samar. Verio duduk di kursi mekanik, melepaskan kelelahan seharian bekerja. Namun, ketenangannya terusik oleh langkah kaki yang sudah terlalu ia kenal.
Verio menoleh, dan benar saja—Ragna melangkah mendekat dengan senyum nakal. Jaket kulit hitamnya berkibar ringan, rambutnya berantakan tapi entah bagaimana tetap terlihat keren.
“Kau mau ke mana lagi?” tanya Verio, matanya menatap tajam ke arah putrinya. “Jangan bilang kau mau cari masalah lagi.”
Ragna berhenti tepat di depan pintu bengkel, senyumnya semakin melebar. “Papa, lihat nih. Aku belajar trik baru!”
Tanpa memberi Verio kesempatan untuk mencegahnya, Ragna sudah melompat ke atas motor RX King kesayangan Verio yang terparkir di halaman. Suara mesin meraung keras memecah keheningan, membuat Verio tersentak berdiri.
“Ragna, jangan—!” suaranya nyaris tenggelam oleh raungan motor.
Tapi Ragna sudah melesat, meninggalkan Verio dengan wajah penuh kejengkelan dan kekhawatiran. Pria itu hanya bisa berdiri mematung di pintu bengkel, menyaksikan putrinya melaju di jalan kosong dengan kecepatan yang membuat napasnya tertahan.
Verio mendesis pelan. “Apa dia pikir ini sirkuit balap?”
Dari kejauhan, Verio bisa melihat Ragna mulai melakukan aksi freestyle—berputar dengan roda belakang terangkat, meluncur cepat dan berbalik arah seolah-olah itu hal yang mudah. Meski kesal, ia tak bisa menutupi rasa kagumnya. Gadis itu memang terlalu berani untuk ukuran anak seusianya.
Namun keberanian itu mendadak berubah menjadi masalah. Saat Ragna mencoba trik terakhir—mengangkat roda depan lebih tinggi dari sebelumnya—ia kehilangan kendali. Motor itu melambung tak terkendali, dan Ragna terjatuh keras ke aspal. Motor RX King milik Verio berputar beberapa meter sebelum akhirnya tergeletak dengan suara dentuman berat.
“Ragna!” teriak Verio, berlari sekencang mungkin ke arahnya. Langkahnya terburu-buru, sementara matanya tak lepas dari tubuh Ragna yang tergeletak di tengah jalan. “Kau baik-baik saja?”
Ragna tidak langsung menjawab. Ia terdiam sejenak, sebelum mulai bergerak perlahan, tubuhnya terlihat sedikit kesakitan. Ketika Verio sampai, ia sudah berusaha duduk, wajahnya meringis namun penuh senyum khasnya.
“Eh, Papa… Kalau aku bilang aku baik-baik saja, kamu percaya, kan?” ujarnya dengan nada bercanda.
Verio mendengus, menatap motor RX King kesayangannya yang kini ringsek di ujung jalan. “Motor itu rusak. Tapi kalau kau nggak luka, itu yang paling penting.”
Ragna berusaha berdiri meski kakinya agak goyah. Tangannya sedikit berdebu, tapi ia hanya tertawa kecil. “Tapi Papa lihat kan? Aku bisa lebih keren dari Papa,” katanya sambil menyeringai.
Verio memijat keningnya, mencoba menahan amarah dan rasa lega sekaligus. “Kadang aku benar-benar tidak tahu harus marah atau bangga.” Ia melirik Ragna dari ujung kepala sampai kaki. “Kalau kau patah tulang karena aksi konyol ini, aku yang bakal pusing tujuh keliling.”
Ragna melangkah mendekat, menepuk bahu Verio seolah menenangkan. “Tenang aja, Pa. Aku kan lebih tahan banting dari yang Papa kira.” Ia memandang motor yang terkapar di aspal. “Lagian, motor itu cuma barang.”
Verio menatapnya lama, kemudian mendesah keras. “Kalau kau rusak motor lagi, jangan harap aku bakal membelikan yang baru.”
Ragna tertawa, meski tubuhnya masih terasa nyeri. Ia berjalan pelan, tapi penuh percaya diri. “Siap, Pa! Tapi kalau ada tantangan baru, aku bakal coba lagi.”
Verio hanya bisa menggelengkan kepala, mengikuti langkah putrinya dengan tatapan campuran antara cemas dan bangga. Gadis itu memang sulit dihentikan. Di balik kekeras kepalaannya, ia tahu Ragna adalah sosok yang tangguh—dan meski sering membuatnya kewalahan, gadis itu selalu berhasil membuat hidupnya terasa lebih hidup.
✨
Verio berdiri di depan motornya yang kini penyok parah—catnya terkelupas, setang bengkok, dan seluruh bodinya tampak seperti habis dilempar ke jurang. Tatapannya tak bisa lepas dari motor itu, seperti seorang ayah yang baru kehilangan anak kesayangannya. Di sampingnya, Ragna berdiri santai, mencoba memasang wajah polos sambil memutar-mutar kunci motor di jarinya.
“Kau tahu berapa lama aku menghemat untuk beli motor ini? Lima tahun, Ragna. Lima tahun! Dan kau menghancurkannya dalam lima menit,” ucap Verio putus asa, suaranya bergetar menahan emosi.
Ragna tersenyum canggung, bahunya terangkat seolah tak bersalah. “Tapi, Pa... Aku lagi belajar freestyle! Aku hampir berhasil salto dua kali, lho.”
Verio memutar tubuhnya dengan cepat, menatap gadis itu tajam seperti laser. “Salto dua kali? Dari mana kau dapat ide gila itu?”
“Dari YouTube,” jawab Ragna, suaranya penuh kebanggaan, seakan ia baru saja memenangkan penghargaan bergengsi. “Katanya kalau bisa mendarat dengan sempurna, kita bakal dapat penghormatan di jalanan.”
Verio menggeleng, menekan pelipisnya dengan kedua jari. Napasnya terengah seolah energi hidupnya tersedot oleh tingkah anak itu. “Penghormatan? Yang kau dapat cuma tagihan bengkel dan rambut putih di kepalaku!”
Di tengah drama itu, Stevan, ayah kandung Ragna, muncul dari belakang bengkel. Langkahnya mendekat dengan kerutan bingung di dahi. “Apa yang terjadi di sini?” tanyanya, suaranya bergetar antara penasaran dan cemas.
Verio menoleh ke Stevan, tatapannya penuh kelelahan. “Ini, hasil kreativitas anakmu yang luar biasa.”
Ragna buru-buru memotong, melemparkan senyum lebar pada Stevan. “Aku anak Papa Verio sekarang, ingat? Kamu nggak boleh ngaku-ngaku lagi.”
Stevan tampak kikuk, tangannya bergerak seolah ingin menyela. “Tapi... kau membiarkannya mencoba freestyle? Itu kan bahaya!”
“Membiarkan?” Verio tertawa sarkastik, nyaris terdengar gila. “Aku bahkan tidak tahu dia membawa motorku sampai dia pulang sambil bilang, ‘Pa, aku punya kejutan,’ dan menunjukkan ini.” Tangannya menunjuk ke arah motor yang ringsek di depannya.
“Tapi aku aman, kan? Itu yang penting, Pa,” sela Ragna santai, seolah tidak menyadari tragedi yang telah ia ciptakan.
“Aman?” Verio mendesah panjang, menatap gadis itu penuh keputusasaan. “Satu-satunya yang tidak aman adalah kesehatan mentalku.”
Stevan hanya bisa menggeleng, bingung melihat dinamika absurd di hadapannya. “Verio, kau... benar-benar mengasuhnya seperti ini?”
Tanpa mengalihkan pandangan dari Ragna, Verio menjawab datar, suaranya berat oleh kelelahan. “Aku mengasuhnya seperti ini karena dia keras kepala seperti batu. Dan aku terlalu sayang untuk membiarkannya menghancurkan dirinya sendiri tanpa pengawasan.”
“Lihat, kan? Papa Verio selalu ada untukku,” sahut Ragna sambil terkikik, melirik Stevan dengan bangga.
Verio menatapnya tajam lagi, suaranya mulai tenang tapi mematikan. “Dan sekarang kau akan ada untukku... dengan cara membayar reparasi motor ini dari uang sakumu.”
Ragna spontan meringis. “Uang saku? Pa, aku masih harus beli lipstik baru!” protesnya dramatis.
“Oh, kau tidak akan butuh lipstik saat kau menjelaskan pada mekanik kenapa motorku terlihat seperti habis dipakai balapan liar,” tukas Verio datar, seolah itu keputusan final.
Dengan cepat, Ragna mendekat ke Stevan, berbisik sambil memasang senyum nakal. “Dia selalu dramatis begini. Makanya aku betah di sini.”
Stevan hanya bisa mematung, matanya bergantian memandang Verio dan Ragna, entah harus kagum atau takut melihat hubungan aneh ini. Sementara itu, Verio kembali menatap motornya dengan ekspresi seorang pria yang baru saja kalah perang. “Aku kadang nggak tahu harus bangga atau pusing,” gumamnya lirih, sebelum akhirnya menatap Ragna dengan seulas senyum getir. “Tapi satu hal, Ragna—jangan harap aku bakal beli motor baru kalau kau rusak lagi.”
Ragna terkekeh, menarik napas panjang, lalu menjawab dengan suara penuh percaya diri, meski tubuhnya sedikit terpincang. “Ya, Pa. Tapi aku sih udah siap kalau ada tantangan baru lagi.”
Verio hanya bisa menggeleng, senyum kecil muncul di sudut bibirnya meski ia tak ingin menunjukkannya. Bagaimanapun juga, ini Ragna—keras kepala, penuh semangat, dan selalu berhasil membuatnya merasa hidup meski di tengah keputusasaan.
Stevan hanya berdiri mematung, memperhatikan interaksi di depannya dengan sorot mata yang sulit dijelaskan. Ada kecemburuan di sana—halus tapi nyata, menusuk lebih dalam dari yang bisa ia akui. Verio dan Ragna, dengan segala kebisingan sarkasme mereka, tampak seperti potret keluarga kecil yang sempurna meski penuh kekacauan. Bukan gambaran seperti itu yang pernah ia bayangkan, tetapi tetap saja, hatinya terasa kosong.
Seandainya saja waktu itu ia tidak menuruti keinginan cinta pertamanya—keputusan bodoh yang membuatnya menceburkan putri kecilnya keluar dari hidupnya—mungkin semuanya akan berbeda. Mungkin mereka akan hidup bahagia. Tidak ada jarak, tidak ada pengabaian, dan tidak ada penyesalan yang kini berakar begitu dalam di hatinya.
Ragna menoleh sesaat, dan Stevan merasakan hentakan itu lagi. Wajah gadis itu—begitu mirip dengan wanita yang pernah ia abaikan, wanita yang dia benci setengah mati. Garis-garis lembut di wajahnya, mata yang tajam namun penuh sinar hidup—semuanya mengingatkannya pada masa lalu yang telah lama ia kubur. Kenangan itu muncul tanpa diundang, membuat dadanya sesak. Wanita itu... ia meninggal sesaat setelah melahirkan Ragna, meninggalkan lubang menganga yang tak pernah bisa ia tutup. Dan dengan kebodohan yang ia pikir sebagai cinta, ia menyingkirkan mereka—ibu dan anaknya—demi janji kebahagiaan dengan cinta pertamanya.
Namun, di sinilah ia berdiri sekarang. Menatap putri yang hampir tidak ia kenal, berbagi momen hangat dengan pria lain—pria yang, bagaimanapun caranya, mampu mengasuh Ragna dengan lebih baik daripada dirinya. Sementara dirinya sendiri? Bahkan dengan segala yang telah ia miliki—istri, kehidupan yang mapan—ada sesuatu yang kosong, sesuatu yang tidak pernah bisa diisi.
Ragna tertawa kecil di sisi Verio, keluhan samar tentang uang saku yang dipotong terdengar seperti angin lalu di telinga Stevan. Tapi tawanya... tawanya adalah gema dari masa lalu, suara yang dulu pernah ia rindukan tapi tidak pernah ia miliki. Dan kini suara itu melayang bebas, berpihak pada orang lain.
Verio, yang tampaknya menangkap ekspresi Stevan, hanya menatapnya sekilas dengan pandangan datar. Tidak ada ejekan, tidak ada simpati. Barangkali ia sudah tahu. Barangkali ia hanya tidak peduli.
Stevan menundukkan kepala, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Masa lalu tak pernah benar-benar pergi; ia hanya mengintai dari sudut gelap, muncul saat kita paling tak siap. Dan kini, saat ia berdiri di antara jarak yang tak bisa dijembatani, rasa penyesalan itu terasa semakin nyata.
Ia ingin bicara, ingin mengatakan sesuatu pada Ragna. Tapi apa yang bisa ia katakan? Bahwa ia menyesal? Bahwa ia berharap bisa membalikkan waktu? Kata-kata itu hanya terdengar hampa, seperti dirinya. Jadi ia tetap diam, membiarkan suara tawa Ragna dan keluhan sarkastik Verio menjadi latar yang menyiksa pikirannya.
“Pak, Pak Stevan?” suara Ragna mendadak menyentaknya keluar dari lamunannya. Gadis itu menatapnya dengan alis terangkat, sedikit geli, seolah tahu ia sedang tenggelam dalam pikiran yang terlalu berat. “Kenapa melamun? Jangan iri sama Papa Verio dong, nanti rambutnya ikutan putih.”
Verio menoleh, mulutnya tersenyum tipis. “Itu bukan salahku. Itu bakat alami anakmu.”
Stevan berusaha tersenyum, tapi wajahnya terasa kaku. Hanya itu yang bisa ia lakukan—berusaha. Ia menatap Ragna lagi, mencoba merekam wajah itu dalam ingatannya, sebelum akhirnya berujar pelan, “Tidak apa-apa. Lanjutkan saja.”
Dan untuk kesekian kalinya, ia mundur—dari Ragna, dari masa lalu, dari perasaannya sendiri.
Semangat author...jangan lupa mampir 💜