Ana, istri yang ditinggal merantau oleh suaminya. Namun, baru beberapa bulan ditinggal, Ana mendapatkan kabar jika suaminya hilang tanpa jejak.
Hingga hampir delapan belas tahun, Ana tidak sengaja bertemu kembali suaminya.
Bagaimana reaksi suaminya dan juga Ana?
Yuk, ikuti kisahnya dalam novel berjudul AKU YANG DITINGGALKAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Alamat
Hari-hari telah berlalu, Ana sedikit demi sedikit melupakan sakitnya. Dia mulai menjalani hari sama seperti sebelumnya.
Memang sih, beberapa hari ini Ana kerap kali mengurung diri di rumah. Saat ada orang yang membutuhkan jasanya, dengan halus Ana menolaknya.
Dan mulai hari ini, dia akan menjalani harinya seperti biasa.
"Ana, sudah sehat?" tanya teman Ana yang biasa pergi ke sawah bareng.
"Udah, enakan ..." sahut Ana.
"Dengar-dengar, Sahil masih hidup ya?" bisiknya lagi.
Ana tidak terkejut sama sekali, karena lambat laun pun, berita ini akan tersebar.
Ana tersenyum, dan mengangguk kecil. Menanggapinya pertanyaan temannya.
"Sabar ya, aku tahu kamu kuat. Sama seperti sebelumnya." bisiknya.
Sekarang, Ana sedang menjemur pakaian di belakang rumahnya, dan kebetulan Intan, sedang lewat.
Ana tersenyum, dan berterimakasih pada Intan. Karena telah sudi menyemangatinya. Bukan mengolok-olok, ataupun mencekam kebodohannya selama ini.
Hari ini, Arkan tidak bekerja. Karena dia akan masuk malam. Jadi, dengan mengumpulkan keberanian. Arkan ingin menemui Firman ataupun Jefri.
Pertama, Arkan mendatangi rumah Firman. Namun, kata istrinya, Firman lagi ke sawah. Dan Arkan memutuskan untuk menghampiri Jefri. Namun sama, kata istrinya Jefri pun pergi ke sawah. Dengan alasan ingin melihat air yang mengalirkan air ke sawahnya. Karena kebetulan, sekarang lagi musim kemarau.
"Kebetulan, yang tidak direncanakan." monolog Arkan.
Karena tahu dimana letak kedua sawah uwaknya. Arkan pun berjalan kesana. Dan baru setengah perjalanan, terlihat dua orang lelaki itu berjalan ke arahnya. Yaitu, arah pulang.
Arkan pun langsung menelpon temannya. Karena sebelumnya dia sudah meminta temannya itu untuk merekam panggilan darinya. Itu semua Arkan lakukan untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu padanya.
"Wak ,,, ada hal yang ingin aku bicarakan." ujar Arkan dengan dingin. Bahkan, tanpa senyum diwajahnya.
"Ada apa?" tanya Firman. Dia membuang jauh-jauh pikiran tentang Arkan yang tahu kebejatannya dan Jefri.
"Kita cari tempat berteduh dulu." balas Arkan.
Mereka pun, memutuskan untuk duduk disalah satu balai dari pemilik sawah yang berada di dekat jalanan.
"Apa yang kalian lakukan pada ayahku pada delapan belas tahun lalu?" tanya Arkan setelah duduk dengan tenang.
"Ma-maksud kamu? Apa?" Jefri terbelalak kaget. Sedangkan Firman mencoba mengatur degup jantungnya yang memompa dua kali lebih cepat.
"Tidak kah, kalian lelah dengan semua ini? Tidak kah, rasa bersalah terbesit dihati kalian? Apalagi, saat melihat ibuku. Adik kandung kalian sendiri." beruntun Arkan.
"Arkan dengar, kami gak tahu apa maksudnya. Tolong jelaskan!" ujar Firman masih pura-pura tidak mengerti.
Arkan tersenyum sinis, bahkan dia mengepal erat tangannya. Dan itu tidak luput dari pandangan Firman dan Jefri.
"Haruskah saya jelaskan? Kalian mencoba membunuh ayahku. Dan tepatnya dibawah jembatan." tekan Arkan dengan napas memburu.
"Kurang ajar ..." Jefri kembali tersulut emosi, dan hendak meninju Arkan. Beruntung Firman bisa menahannya.
"Ingat, jangan emosi ..." bisik Firman yang bisa di dengar oleh Arkan.
"Dia menuduh kita bang." teriak Jefri.
"Menuduh? Bagaimana jika saksi itu sendiri yang mengatakannya?" balas Arkan.
"Apa ku bilang, Sahil itu tidak lupa ingatan. Dia hanya melindungi dirinya, agar selamat." Jefri masih emosi.
"Katakan, kenapa?" Arkan masih penasaran.
"Tanyakan pada Ayahmu. Tanyakan pada lelaki sombong dan sok alim itu." balas Jefri.
"Jefri diam ..." Firman kewalahan dengan sikap Jefri yang cepat emosi.
"Tenyata, dibalik semua penderitaan kami. Orang terdekat lah, penyebabnya. Kenapa kalian tega sama kami? Sama ibuku." akhirnya setitik air bening lolos dari pemuda itu.
"Dengar kan dulu, penjelasan uwak." Firman menarik napas.
"Penjelasan? Atau pembelaan? Yang aku butuhkan hanya alasan. Kenapa, kenapa, kenapa?" teriak Arkan.
"Itu semua karena ayahmu, ayahmu yang menyulut emosiku. Ayahmu yang jadi penyebabnya." teriak Jefri.
"Terimakasih, karena kalian telah mengakuinya." ujar Arkan hendak pergi.
"Dan kamu pikir, aku akan membiarkanmu pergi? Tidak, kami gak akan bertindak bodoh, sama seperti delapan belas tahun lalu." balas Firman dengan napas memburu.
"Dan kalian kira, aku bisa sebodoh itu?" kekeh Arkan.
Kedua lelaki paruh baya mengangkat alis bingung, bahkan mereka saling menatap.
"Aku tidak keberatan kalian membunuhku, sama sekali. Karena saat aku menanyakan hal ini pada kalian. Aku telah siap apapun yang terjadi padaku. Aku telah siap." ujar Arkan dengan wajah tanpa senyuman.
"Ini, lihat lah, ini. Ini adalah panggilan telpon. Aku merekam semua panggilan ini. Dan aku bisa memperbanyak, dan juga menyebarnya." kekeh Arkan.
"Apa maumu, katakan!" seru Firman.
"Aku mau kalian mengaku pada ibuku, minta maaf lah, padanya." ujar Arkan.
"Kamu kira kami bodoh? Itu sama aja, kami menggali lubang sendiri." Jefri emosi.
"Ya sudah, jangan salahkan aku, jika rekaman ini tersebar." kekeh Arkan melenggang pergi.
Jefri menendang batu kesal. Dia tidak menyangka jika Arkan menyiapkan hal-hal seperti ini.
"Kita harus mencari Sahil bang. Apapun itu." tekan Jefri dan Firman setuju.
Mereka kembali menanyakan tentang alamat Sahil pada Ana. Namun sama, Ana tetap tidak memberikannya. Apalagi, Arkan juga sudah melarangnya.
Tak mau menyerah disitu saja. Jefri dan Firman malah mendatangi rumah Rima. Mereka datang dengan membawakan buah, sebagai buah tangan.
"Maaf sebelumnya, ini tentang Sahil." Firman membuka suara.
"Maafkan adik kami karena secara tidak sengaja telah menyakiti hati Ana. Kami pun, tidak menyangka, jika hal ini terjadi." ujar Rima sedih.
Mengingat Ana, Rima sangat sedih. Apalagi semenjak kemundurannya Ana sangat susah untuk di temui. Pernah Rima datang ke rumah Ana. Namun, Ana menolak Rima dengan dalih tidak siap untuk membicarakan tentang Sahil.
Dan nomornya pun, sudah di blokir oleh Ana. Tentu saja Rima tidak menyalahkan Ana, mungkin aja Ana masih terluka serta kecewa.
"Karena itulah, kami sebagai abang-abangnya juga kecewa. Dan kami bermaksud ingin bertemu Sahil. Selain karena rindu, kami juga mau membicarakan hubungan mereka." Firman men jeda ucapannya.
"Dan, maksud kami kesini adalah ingin meminta alamat Sahil. Karena saat minta sama Ana, dia melarang kami untuk kesana. Dan sama Arkan pun, Ana melarang anaknya untuk memberitahu." lanjut Firman.
Rima dan suaminya manggut-manggut mendengar perkataan Firman.
Dan mereka pun, memberikan alamat rumah Sahil serta nomor ponsel Sahil. Tentu saja Firman dan Jefri senang. Karena begitu mudah mendapatkan apa yang mereka mau.
Kemudian, mereka kembali terlibat obrolan-obrolan kecil. Sampai akhirnya, Rima juga mengatakan jika Ana menolak warisan dari Fatimah. Itupun, biar dia lebih mudah melupakan Sahil.
"Kenapa aku bisa punya adik sebodoh ini sih." batin Jefri.
"Jika tentang itu, kami pun tidak bisa memaksanya. Kaena bagaimana pun, yang menjalaninya adalah Ana." ujar Firman tersenyum walaupun batinnya tetap mengutuk kebodohan Ana.
ana yg tersakiti,Kinan yg menikmati
dan si Jefri dan firman perlu di ruqyah 😁😁