Update setiap hari jam 07:00
Aditiya Iskandar, seorang Menteri Pertahanan berusia 60 tahun, memiliki satu obsesi rahasia—game MMORPG di HP berjudul CLO. Selama enam bulan terakhir, ia mencuri waktu di sela-sela tugas kenegaraannya untuk bermain, bahkan sampai begadang demi event-item langka.
Namun, saat ia terbangun setelah membeli item di game, ia mendapati dirinya bukan lagi seorang pejabat tinggi, melainkan Nijar Nielson, seorang Bocil 13 tahun yang merupakan NPC pedagang toko kelontong di dunia game yang ia mainkan!
dalam tubuh boci
Bisakah Aditiya menemukan cara untuk kembali ke dunia nyata, atau harus menerima nasibnya sebagai penjual potion selamanya?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rodiat_Df, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Turnamen inti telah tiba
Di Ruang Rapat Kekaisaran – Kekhawatiran yang Memuncak
Di dalam ruang rapat yang megah, para pejabat tinggi Kekaisaran duduk dalam ketegangan. Dinding-dinding ruangan dihiasi dengan lambang kebesaran kekaisaran, tetapi suasana di dalamnya jauh dari megah—penuh dengan bisik-bisik, wajah serius, dan ketakutan yang tidak bisa disembunyikan.
Di ujung meja. Pangeran Demian Ross, putra mahkota Kekaisaran, mengetukkan jarinya ke meja dengan ritme yang teratur.
"Penelitian yang berbahaya…?"
Itulah yang diungkapkan oleh utusan Keerom sebelum kematiannya di kediaman Raja.
Demian menutup matanya sejenak, mengingat kembali laporan yang ia baca tadi malam. Utusan itu tidak mengatakan apa pun tentang ajakan aliansi dari Kemiren. Sebaliknya, ia berbicara dengan panik tentang sesuatu yang bisa merusak keseimbangan dunia—sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar persekutuan politik.
Tetapi sebelum Kekaisaran bisa menggali lebih dalam, utusan itu ditemukan tewas secara misterius.
Para jenderal dan penasihat berbicara di antara mereka sendiri, mencoba menebak apa sebenarnya yang ditemukan utusan itu di Kemiren.
"Dan sekarang… kita masih menunggu Pangeran Bargo Diaz."
Demian membuka matanya kembali. Seharusnya, kapal Keerom yang membawa Bargo dan orang-orang Kekaisaran sudah kembali ke ibu kota beberapa hari yang lalu. Tetapi hingga sekarang, tidak ada kabar, tidak ada pesan, tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Salah satu penasihat akhirnya berbicara dengan suara rendah.
"Pangeran Demian, jika saya boleh berbicara dengan jujur… saya tidak berpikir Pangeran Bargo masih hidup."
Ruangan menjadi sunyi.
Beberapa jenderal saling berpandangan dengan ekspresi berat. Tidak ada yang berani mengatakannya, tetapi mereka semua berpikir hal yang sama.
Jika Pangeran Bargo dan seluruh rombongannya telah dibantai oleh Kemiren, maka ini bukan lagi sekadar masalah politik atau aliansi. Ini adalah penghinaan langsung kepada Kekaisaran.
Pangeran Demian akhirnya bersuara, suaranya tajam seperti pisau.
"Kita tidak bisa mengambil kesimpulan sebelum mengetahui kebenarannya. Tapi jika benar… bahwa Kemiren telah membantai darah kerajaan kita…"
Ia berhenti sejenak, lalu membuka matanya dengan penuh kebencian.
"Maka ini adalah deklarasi perang."
Kata-kata itu bergema di seluruh ruangan.
Kekaisaran tidak pernah membayangkan bahwa kerajaan kecil seperti Kemiren akan berani melakukan tindakan seperti ini. Tetapi jika memang benar… maka darah akan dibalas dengan darah.
Di atas meja, beberapa laporan telah tersusun rapi—laporan dari utusan Keerom yang tewas secara misterius, informasi tentang pulau penelitian Kemiren, dan yang paling mengkhawatirkan: Pangeran Bargo Diaz beserta kapal Kekaisaran yang tidak kunjung kembali.
Pangeran Demian menyandarkan tubuhnya, menekan pelipisnya sebelum menatap ke arah Penasehat Kekaisaran, seorang pria tua dengan janggut putih yang telah lama setia melayani Kekaisaran.
"Bagaimana tanggapan Kemiren mengenai usulan kita untuk membangun pangkalan militer di perbatasan mereka?" tanyanya dengan nada datar.
Penasehat itu terlihat sedikit ragu sebelum menjawab.
"Yang Mulia, pihak Kemiren… tidak pernah memberikan jawaban."
Ruangan langsung menjadi sunyi.
Beberapa jenderal berbisik satu sama lain, sementara wajah Pangeran Demian tetap tidak berubah. Tetapi di dalam pikirannya, kemarahan mulai membara.
"Tidak pernah menjawab?" ulangnya pelan, suaranya mengandung bahaya.
Penasehat itu mengangguk dengan hati-hati. "Mereka tidak menolak, tetapi juga tidak mengiyakan. Seolah-olah mereka mengabaikan permintaan Kekaisaran begitu saja."
Seorang jenderal dengan baju perang berwarna hitam mendengus kesal. "Kurang ajar! Berani sekali kerajaan kecil seperti Kemiren tidak menanggapi perintah Kekaisaran!"
Seorang bangsawan lain menambahkan, "Belum lagi insiden ini! Pangeran Bargo Diaz dan rombongannya hilang, utusan kita mati, dan mereka diam saja seakan tidak terjadi apa-apa!"
Pangeran Demian tetap diam, berpikir dalam-dalam.
Kemiren jelas sedang menyembunyikan sesuatu. Pulau penelitian yang disebutkan oleh utusan Keerom sebelum kematiannya—jika benar ada sesuatu di sana yang bisa mengubah keseimbangan dunia, maka tindakan Kemiren bukan sekadar pengabaian, melainkan sebuah pemberontakan tersembunyi terhadap Kekaisaran.
"Beraninya mereka…," gumam Demian, jemarinya mencengkeram sandaran kursi.
Seorang jenderal lain berbicara, "Yang Mulia, kita tidak bisa terus menunggu. Jika Pangeran Bargo benar-benar sudah mati, maka ini berarti perang."
Demian terdiam sejenak, lalu mengangkat tangan, menghentikan diskusi yang semakin panas.
"Kita masih belum memiliki bukti yang cukup," katanya. "Tetapi aku setuju… jika mereka terus bermain dengan kesabaran Kekaisaran, maka mereka akan merasakan akibatnya."
Ia menatap penasihatnya dengan tajam. "Kirim orang untuk satu pesan terakhir kepada Kemiren. Aku ingin jawaban mereka mengenai pangkalan militer dalam satu minggu. Jika mereka masih diam…"
Mata Pangeran Demian menyipit berbahaya.
"Maka kita akan memberikan jawaban kita sendiri… dengan pasukan."
----
Pertandingan di Akademi Kemiren
Sore itu, Nijar dan Reiner akhirnya menyelesaikan pertandingan mereka dengan kemenangan gemilang. Di dalam gedung olahraga, suasana masih panas karena pertarungan terakhir sedang berlangsung.
Di tengah keramaian, dua pasang petarung masih bertarung sengit. Mereka bertarung begitu keras hingga wasit terpaksa menghentikan pertandingan, menilai bahwa keempatnya sudah cukup membuktikan kemampuan mereka. Dengan keputusan itu, semua petarung dinyatakan lolos ke babak utama, yang berarti jumlah peserta bertambah menjadi 16 orang.
Setelah pertandingan terakhir berakhir, semua peserta dikumpulkan di tengah gedung olahraga. Para pelatih dan staf akademi sudah menyiapkan daftar pertandingan utama.
"Baiklah, perhatikan semua!" seru seorang pelatih bela diri yang berdiri di depan. "Turnamen utama akan berlangsung dua hari lagi dan akan berlangsung selama empat hari. Kalian semua sudah menunjukkan kemampuan kalian di babak penyisihan, tetapi pertarungan sebenarnya baru akan dimulai!"
Di sisi lain gedung, Nijar melirik ke arah papan turnamen. Namanya terdaftar di tabel pertama, sementara Reiner masuk ke tabel sebelah bersama kakaknya, Daniel. Jika mereka berdua terus menang, maka mereka akan bertemu di grand final.
Reiner melipat tangannya dan tersenyum tipis. "Sepertinya kita tidak akan bertemu di awal, Nijar."
Nijar mengangguk, matanya menatap papan dengan serius. "Ya… Tapi ini juga berarti kalau kita berdua menang, kita harus bertarung di final."
Reiner terkekeh. "Kau siap? Kalau sampai di final, aku tidak akan menahan diri."
Nijar tersenyum percaya diri. "Aku juga."
Lali Daniel datang dan menepuk bahu Reiner dengan senyum mengejek. "Pastikan kau sampai ke grand final, Reiner. Agar aku bisa menghajarmu."
Tanpa menunggu jawaban, Daniel berbalik dan pergi, meninggalkan Reiner yang mulai kesal.
Lalu Jay tiba-tiba menyelinap ke belakang mereka dan merangkul bahu keduanya dengan heboh.
"Woaaaah! Kalian berdua bisa bertarung di final? Itu akan jadi pertarungan yang gila! Aku pasti akan duduk di barisan depan!" Jay tampak sangat bersemangat, bahkan dia mulai menirukan gerakan tinju dengan konyol. "Aku yakin pertandingan itu akan lebih epik daripada yang lainnya! Kita harus merayakan ini, ayo makan sesuatu!"
Reiner menghela napas. "Kau bahkan tidak bertarung, Jay. Kenapa kau yang paling bersemangat?"
Jay menunjuk dirinya sendiri dengan gaya dramatis. "Karena aku adalah supporter terbaik kalian! Aku harus memastikan kalian tetap semangat! Lagipula, ini akan jadi kesempatan terbaik untuk melihat siapa yang lebih kuat antara kalian berdua."
Nijar tertawa kecil. "Kita lihat saja nanti. Tapi sebelum itu, kita masih harus menang melawan yang lain dulu."
Mereka bertiga lalu berjalan keluar dari gedung olahraga dengan semangat. Turnamen utama sudah menunggu, dan pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai.