Tentang Kania yang hamil di luar nikah. Tanpa dia tahu, yang menghamilinya adalah seorang CEO muda.
***
Dunia Kania menjadi gelap setelah malam itu. Tak ada lagi Kania yang ceria, tak ada lagi Kania yang murah senyum.
Yang ada hanya Kania yang penuh dengan beban pikiran yang gelisah menanti bulan selanjutnya. Berapa garis yang akan di hasilkan oleh sebuah testpack di bulan depan?
**
Bertahun-tahun Kania berjuang sendiri menghidupi buah hatinya yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
Kepandaiannya menarik orang-orang untuk menjadikannya bintang. Hingga akhirnya, lewat jalan itulah Kania di pertemukan dengan ayah kandung anaknya yang ternyata bukanlah orang biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
"Devan! Apa-apaan, sih, kamu!" Kania membentak. Tak suka Devan mengatakan kalau dia adalah ayah Shaka.
Devan hanya melirik santai. "Kenapa?" tanyanya enteng. "Berhenti bersikap egois. Shaka begini karena kamu tidak pernah mengatakan siapa ayahnya," lanjut Devan yang membuat Kania bungkam seribu bahasa.
Ya, Kania akui ini semua adalah kesalahannya. Tidak memberitahu siapa ayah Shaka yang sebenarnya dan berakibat seperti ini.
Sekalipun dia anak kecil pasti dia juga merasa lelah karena pertanyaannya yang tak pernah mendapatkan jawaban. Bedanya, anak kecil tidak akan tahu bagaimana cara dia mengungkapkan rasa itu selain dengan amarah.
"Kamu pikir aku begini gara-gara siapa? Kamu, Devan!"
Devan menghembuskan napas pelan. Semakin dia menjawab ucapan Kania, masalah akan semakin runyam. Bukan di sekolah Shaka tempat keduanya untuk membahas tentang masa lalu.
"Sudahlah. Akan aku urus semuanya." Devan segera menggendong Shaka yang menatap Devan dan Kania dengan tatapan bingung.
Belum juga keluar dari ruangan Bu Karen, mereka bertemu dengan orangtua dari Kevin, anak yang mendapat pukulan Shaka.
Renata, ibu Kevin menatap Kania dan Shaka dengan penuh amarah. "Ini yang namanya Shaka? Dan kamu ibunya?" tunjuk Renata pada Shaka dan Kania.
"Kondisikan tangan anda sebelum saya mematahkannya," ucap Devan penuh dengan penekanan. Tak suka melihat Renata menunjuk-nunjuk anaknya seperti itu.
"Silahkan! Saya tidak takut. Dan anda, ibunya Shaka." Tunjuknya pada Kania. "Ajari anak anda untuk bisa berbuat baik. Cukup anda yang berkelakuan tidak baik sehingga anda sampai hamil di luar nikah, jangan biarkan anak anda meniru kelakuan anda."
Seperti ada ribuan pisau yang menghujam jantung Kania. Rasanya sakit mendengar orang lain menghakimi masa lalunya. Mereka tidak tahu bagaimana tertatihnya Kania bangkit dari luka masa lalunya.
Kania mengusap air mata yang hampir saja terjatuh. Dia tak ingin terlihat lemah di hadapan orang lain. Apalagi Devan.
"Maaf, ibu yang terhormat. Mungkin saya memang bukan orang baik. Tapi saya tidak pernah mengajarkan anak saya untuk berbuat tidak baik pada orang lain. Anak saya tidak mungkin memukul anak ibu kalau tidak ada masalah apapun. Ini perkara anak-anak, Bu. Apa sebelumnya ibu sudah bertanya pada anak ibu sendiri kenapa Shaka bisa memukulnya?"
"Jangan sok ngajarin saya, ya. Anak saya anak yang baik. Dia tidak mungkin cari gara-gara. Memang anak kamu saja yang nakal."
"Cukup!" Devan membentak keras. Keributan yang terjadi di depan ruangan Bu Karen sudah menjadi perhatian wali murid yang menunggu anak-anak mereka yang masih berada di dalam kelas. "Apa mau anda?" tanya Devan pada Renata. Tak ada raut wajah yang ramah sedikitpun.
"Saya mau dia bertanggungjawab untuk pengobatan anak saya." Renata menunjuk Kania. "Juga Shaka di keluarkan dari sekolah ini. Kalau tidak, saya akan menuntut sekolah ini dan membawanya ke jalan hukum."
Kania hendak melawan, namun Devan segera menahannya. "Silahkan anda bertepuk tangan jika hal itu bisa terjadi."
Devan menarik tangan Kania dan membawa Kania dan Shaka yang masih ada di dalam gendongannya pergi dari sekolah tersebut. Kepergian mereka dari depan ruang guru tersebut di iringi dengan tatapan sinis wali murid yang lain.
Kania hanya bisa menunduk. Sedangkan Devan tak peduli dan terus melanjutkan langkahnya.
Sebelumnya, Devan sudah mengatakan pada Bu Karen dan kepala sekolah akan menyelesaikan masalah ini dengan segera. Devan hanya butuh waktu untuk bicara dengan Shaka dan juga Kania.
Kania menarik tangannya yang masih berada di genggaman Devan setelah mereka sampai di mobil. "Jangan sentuh aku!"
Devan menghela napas pelan. Membuka pintu mobil dan mendudukkan Shaka di kursi penumpang belakang. Menutup pintunya pelan lalu mengarahkan matanya ke arah Kania yang memalingkan wajah, enggan memandang dirinya.
"Masuk! Kita perlu bicara. Jangan sok-sokan minta di paksa. Kalau kamu nggak mau masuk biar aku pergi sama Shaka."
Mendengarnya, Kania merasa tak terima. Devan semakin seenaknya saja pada Kania. Mau tak mau, Kania masuk ke dalam mobil Devan. Devan pun mulai menjalankan mobilnya, membelah keramaian kota Surabaya yang terasa panas di pagi hari menjelang siang.
"Bunda, benar Om Devan itu ayahku? Yeyyy, Shaka punya ayah." Shaka yang duduk di kursi belakang memajukan tubuhnya agar bisa menatap Devan yang sedang menyetir mobil.
"Bu_"
"Iya, Sayang. Ini ayah Shaka. Mulai sekarang panggil ayah, ya. Jangan Om lagi." Devan menyela ucapan Kania dengan cepat. Devan tahu kalau Kania akan menjawab bukan.
Devan melirik Kania dengan senyum penuh kemenangan. Cara yang dia pakai tepat sasaran.
Tangan Kania terkepal. Rasanya ingin meninju bibir Devan dengan keras. Seenaknya saja dia bertindak.
"Kalau begitu, selama ini ayah kemana? Kenapa nggak sama Shaka dan Bunda? Bunda juga, kenapa nggak bilang kalau ayah Shaka itu Om Devan. Padahal kita sering ketemu."
Kania mengurut keningnya yang mendadak pusing mendengar semua ucapan Shaka. Dalam hatinya merutuki Devan yang seolah lupa kalau Devan itu berbeda dari anak yang lainnya.
Kualitas otaknya di atas rata-rata anak seusianya. Segala pertanyaan tam terduga bisa keluar dari mulutnya.
Untung saja mobil Devan sudah berhenti di depan rumah Devan sebelum Kania dan Devan sempat menjawab pertanyaan Shaka. Lebih tepatnya, mereka masih mencari jawaban yang tepat.
"Shaka main sama Oma dulu ya, Sayang. Ayah pinjam bundanya Shaka sebentar, ya."
Shaka mengangguk antusias. Lalu dia turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah Devan.
"Tunggu di sini, jangan kemana-mana! Aku bicara dulu sama Mama," ucapnya pada Kania sebelum keluar dari mobil.
***
Lima belas menit menunggu, akhirnya Devan kembali. Entah apa yang di bicarakan dengan Hanum. Yang pasti tidak jauh dari masalah yang terjadi pagi ini di sekolah Shaka.
"Aku belum mengijinkan kamu untuk mengatakan bahwa kamu adalah ayah Shaka," gumam Kania pelan saat Devan baru saja masuk dan menutup pintu mobilnya. Wajah Kania sudah penuh dengan deraian air mata yang sudah membasahi pipinya.
"Simpan keegoisan kamu. Kamu sadar apa yang terjadi hari ini karena keegoisan kamu?"
"Aku egois?" Kania tertawa kosong. "Kamu masih menyalahkan aku karena apa yang kamu perbuat?"
"Lalu apa? Bukankah yang terjadi malam itu sesuai dengan pekerjaan kamu? Harusnya kamu senang ada Shaka, anak aku, keturunan orang kaya. Impian kamu tercapai, menjadi orang kaya atau menikahi orang kaya. Jadi kamu tidak perlu lagi bekerja di tempat seperti itu. Begitu, kan? Kamu menghilang hanya karena sedang mencari waktu yang tepat untuk masuk ke kehidupan kami."
Kania terperangah mendengar ucapan Devan yang terdengar begitu kejam di telinganya. Tanpa ragu, Kania menampar pipi Devan dengan keras. Hal yang ingin Kania lakukan sejak Devan menyentuhnya malam itu. Sayang, baru kali ini Kania memiliki kesempatan untuk itu.
"Jaga mulut kamu, Devan! Aku tidak pernah bekerja di tempat seperti itu. Aku datang ke sana untuk mencari temanku. Tapi kamu malah menghancurkan semuanya. Kamu menghancurkan hidupku."
Devan tersenyum sinis. Tamparan di pipinya memang terasa panas. Tapi tak mampu menampar hatinya. "Salah sendiri datang ke tempat seperti itu. Itu namanya kamu memasukkan diri kamu sendiri ke sarang buaya."
"Karena kamu masa depanku hancur, Devan. Aku hamil tanpa suami, di usir kedua orangtuaku, kuliahku harus terhenti, bahkan aku hampir bunuh diri karena kamu, Devan! Andai saat itu aku benar-benar mati, kamu tidak akan pernah bertemu dengan anak kamu!"
"Salah kamu sendiri kenapa memilih pergi. Bukannya mencari aku dan meminta pertanggungjawaban."
Kania menganggukkan kepalanya berkali-kali. "Iya. Semua salahku. Orang kaya tidak pernah bersalah dalam hal apapun." Kania menyindir Devan dengan halus. "Kamu pikir aku sempat memikirkan untuk mencari kamu? Untuk memikirkan nasib aku dan anakku saja aku bingung. Lalu bagaimana caraku mencari kamu, orang yang nggak pernah aku kenal, nggak pernah aku temui sebelumnya, namun berhasil menanam benih di rahimku dan pergi begitu saja. Aku nggak butuh uang kalian. Mulai besok Shaka sudah tidak lagi bersekolah di tempat itu menggunakan uang kalian. Kamu akan menyesal telah mengucapkan hal itu padaku, Devan."
Kania turun dari mobil, meninggalkan Devan yang masih terdiam. Dengan langkah lebarnya, Kania masuk ke dalam rumah Hanum dan mengajak Shaka untuk pulang.
Hanum mencoba mengajak Kania berbicara, namun hanya senyuman tipis yang Kania berikan. Menolak dengan halus permintaan Hanum yang memintanya untuk duduk sebentar untuk menenangkan diri.
"Shaka mau di sini sama ayah, Bunda. Shaka nggak mau pulang." Shaka merengek saat Kania menarik tangannya pelan.
"Kita pulang ya, Nak."
"Shaka nggak mau, Bunda. Shaka mau di sini."
"Shaka! Dengar bunda, kita harus pulang. Tempat kita bukan di sini." Kania membentak Shaka, membuat Shaka terdiam dan ketakutan. "Shaka udah nggak sayang sama bunda? Shaka mau ninggalin bunda sendiri?"
Shaka menggeleng pelan.
"Kalau begitu kita pulang. Ikuti kata bunda. Jangan membantah!"
Akhirnya Shaka menuruti ucapan Kania. Mengikuti langkah Kania saat Kania menarik tangannya pelan.
Devan yang tak suka melihat Kania membentak Shaka, berusaha untuk menahan Kania untuk tidak membawa Shaka pergi.
Namun Hanum menahan Devan, meminta Devan untuk membiarkan mereka pergi. Kania butuh waktu. Hari ini mungkin juga hari yang melelahkan bagi Shaka.
🌼🌼🌼
di dunia nyata aja banyak tuh samaan nama..
gak ush peduliin nyinyiran orang thor, anggap aja tuh orang bnr" ngehayati cerita kamu