Alya, seorang sekretaris dengan kepribadian "ngegas" dan penuh percaya diri, melamar pekerjaan sebagai sekretaris pribadi di "Albert & Co.", perusahaan permata terbesar di kota. Ia tak menyangka akan berhadapan dengan David Albert, CEO tampan namun dingin yang menyimpan luka masa lalu. Kehadiran Alya yang ceria dan konyol secara tak terduga mencairkan hati David, yang akhirnya jatuh cinta pada sekretarisnya yang unik dan penuh semangat. Kisah mereka berlanjut dari kantor hingga ke pelaminan, diwarnai oleh momen-momen lucu, romantis, dan dramatis, termasuk masa kehamilan Alya yang penuh kejutan.
[REVISI]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zaraaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Si Ngegas yang Tak Terduga
Hari itu, ruangan kantor Albert Group terasa lebih tegang dari biasanya. Alya, sekretaris yang selalu mengandalkan sepatu kets andalannya, tahu bahwa hari ini akan menjadi salah satu hari yang penuh tantangan. Seperti biasa, ia mengatur segala sesuatunya dengan sempurna, memastikan setiap dokumen dan jadwal berada pada tempatnya. Namun, ada sesuatu yang berbeda di udara—suasana di kantor terasa agak lebih suram dan penuh ketegangan.
Semua berawal dari presentasi klien yang dipimpin oleh Anton, seorang karyawan senior yang dikenal dengan sikapnya yang sombong dan sering kali kurang mempersiapkan diri dengan baik. Anton dipercaya untuk memimpin presentasi bagi klien besar, namun, hasilnya jauh dari harapan. Presentasinya membosankan, tidak ada koneksi dengan audiens, dan isi presentasi itu sendiri pun tidak meyakinkan. Klien tersebut keluar ruangan dengan ekspresi kecewa yang jelas terlihat di wajah mereka.
Alya, yang kebetulan berada di luar ruangan, bisa merasakan ketegangan yang memuncak begitu klien meninggalkan ruangan. Ia mendengar percakapan antara David Albert dan Anton yang semakin meninggi. Suara David yang biasanya tenang dan penuh wibawa, kini terdengar memarahi Anton dengan keras. Alya tahu betul bahwa David sangat menghargai profesionalisme, dan sebuah kegagalan seperti ini jelas akan membuatnya marah.
“Anton!” teriak David, suaranya menggema hingga ke meja Alya. “Ini keterlaluan! Bagaimana bisa Anda melakukan presentasi seburuk itu? Anda tidak hanya mengecewakan klien, Anda juga mengecewakan saya dan perusahaan ini!”
Alya bisa membayangkan ekspresi Anton yang mungkin mencoba membela diri, tetapi ia tahu David tidak akan mudah terpengaruh oleh alasan apa pun. “Saya telah memberikan segalanya untuk perusahaan ini, dan ini yang Anda lakukan?” lanjut David, dengan nada semakin meninggi. “Kami tidak bisa terus-menerus menanggung ketidakprofesionalan seperti ini!”
Alya merasa cemas. Ia tahu David adalah sosok yang sangat perfeksionis, tetapi ini adalah kali pertama ia mendengar David berbicara dengan begitu keras. Biasanya, David lebih tenang dan rasional, namun kali ini ia tampaknya benar-benar marah.
Setelah hampir satu jam percakapan yang memanas di ruangannya, David akhirnya keluar dengan wajah merah padam, ekspresinya penuh frustrasi. Alya bisa melihat raut wajahnya yang jarang ia lihat—David Albert yang biasanya tenang dan misterius kini terlihat benar-benar lelah dan kesal. Alya segera mendekati bosnya yang sedang berjalan dengan langkah cepat menuju lift. Dengan sedikit ragu, ia mengangkat suaranya, “Bapak Albert, apakah Bapak baik-baik saja?”
David menoleh dengan tatapan tajam. “Baik-baik saja?” ujarnya, suaranya masih terdengar sedikit meninggi. “Anda kira saya baik-baik saja setelah presentasi Anton yang memalukan itu?”
Alya terkejut mendengar nada suara David yang lebih keras dari biasanya, tetapi ia tetap berusaha tenang. “Saya… saya mengerti perasaan Bapak, Pak. Saya tahu ini pasti sangat mengecewakan,” jawabnya lembut. “Namun, saya yakin kita bisa mengatasi ini.”
David menghela napas panjang dan berhenti sejenak, memandang Alya dengan pandangan yang lebih tenang. “Saya hanya kecewa, Alya,” katanya pelan. “Saya sudah bekerja keras untuk membangun perusahaan ini, dan saya tidak ingin melihatnya hancur hanya karena kelalaian orang-orang di sekitar saya.”
Alya mendengar nada kesedihan dalam suara David yang biasanya penuh percaya diri. Ia tahu betapa pentingnya perusahaan ini bagi David. “Pak David, saya mengerti. Tapi, saya percaya ini hanya sebuah kesalahan yang bisa diperbaiki. Saya akan membantu Bapak semaksimal mungkin.”
David tersenyum tipis, sedikit lebih santai. “Terima kasih, Alya,” katanya, suaranya lebih lembut. “Saya tahu saya bisa mengandalkan Anda. Anda selalu ada di saat-saat seperti ini.”
Alya tersenyum dan mengangguk. “Tidak masalah, Pak. Saya akan selalu siap membantu.”
Setelah beberapa detik keheningan, David mengangkat alisnya dan melihat Alya dengan serius. “Alya,” katanya, “Saya ingin Anda menilai kemampuan Anton dan karyawan lainnya dalam presentasi mereka. Kita perlu tahu siapa yang benar-benar mampu bekerja di bawah tekanan dan siapa yang harus dipertimbangkan lagi.”
Alya terkejut mendengar permintaan itu. Tugas ini bukanlah hal yang mudah, tetapi ia merasakan tantangan yang justru membuatnya semakin bersemangat. “Tentu, Pak. Saya akan membuat daftar penilaian dan memberikan umpan balik yang jujur. Saya akan pastikan tidak ada lagi kekurangan seperti ini.”
David mengangguk puas, senyum tipis masih tersungging di bibirnya. “Bagus. Saya percaya Anda bisa melakukannya, Alya. Ini bukan hanya untuk perusahaan, tetapi juga untuk perkembangan pribadi Anda.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Alya dengan penuh keyakinan. “Saya akan lakukan yang terbaik.”
Ketika David beranjak pergi, Alya kembali ke meja kerjanya dengan langkah tegas. Ia merasa ada tanggung jawab besar yang kini ada di tangannya. Meskipun sedikit cemas, Alya tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk membuktikan diri—bahwa ia bukan sekadar sekretaris yang menjalankan tugas administratif, tetapi juga seseorang yang dapat diandalkan dalam hal-hal yang lebih besar.
Di ruang kerjanya, Alya mulai menyusun rencana. Ia membuka laptopnya dan mulai menulis daftar kriteria untuk menilai kemampuan presentasi karyawan. Ia memikirkan faktor-faktor seperti kejelasan penyampaian, persiapan materi, kemampuan beradaptasi dengan audiens, dan tentu saja, profesionalisme dalam setiap tindakan. Setiap poin harus jelas dan objektif, tidak boleh ada unsur subjektivitas.
Namun, di dalam hatinya, Alya juga mulai merasa sedikit was-was. Menilai karyawan bukanlah hal yang mudah, apalagi jika yang dinilai adalah rekan kerja yang sudah lebih lama bekerja di perusahaan ini. Tapi ia tahu ini adalah tugas yang harus dilaksanakan dengan baik, tanpa pandang bulu.
“Ini bisa jadi awal yang baik untuk menunjukkan kepada David bahwa saya mampu mengatasi tantangan apa pun,” gumamnya pelan, merapatkan jaketnya yang sedikit kusut. “Saya akan buktikan bahwa saya bisa diandalkan.”
Alya menghela napas dalam-dalam dan melanjutkan pekerjaannya. Sambil melangkah maju, ia semakin yakin bahwa kali ini, tidak ada tantangan yang terlalu besar baginya untuk dihadapi. Ia akan menyelesaikan tugas ini dengan sepenuh hati dan memastikan bahwa perusahaan tetap berjalan dengan baik, tanpa ada lagi kegagalan yang dapat mengecewakan David Albert.