Janetta, gadis empat puluh tahun, berkarier sebagai auditor di lembaga pemerintahan. Bertahan tetap single hingga usia empat puluh karena ditinggalkan kekasihnya yang ditentang oleh orang tua Janetta. Pekerjaan yang membawanya mengelilingi Indonesia, sehingga tanpa diduga bertemu kembali dengan mantah kekasihnya yang sudah duda dua kali dan memiliki anak. Pertemuan yang kemudian berlanjut menghadirkan banyak peristiwa tidak menyenangkan bagi Janetta. Mungkinkah cintanya akan bersemi kembali atau rekan kerja yang telah lama menginginkan Janetta yang menjadi pemilik hati Janetta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arneetha.Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 14
Hari mulai sore ketika handphone-ku berdering dan kulihat nama Reyvan di layar, kuangkat telepon dan kukatakan aku akan berada di tempat permainan bowling setengah jam lagi. Aku pamit pada Antonio karena ada janji dengan teman kantor. Antonio tidak bertanya apa-apa dan melepas aku pergi. Dia akan menungguku di pantry kost lantai dua, begitu katanya.
Sepanjang perjalanan menuju lokasi janji dengan Reyvan, aku merenungi semua pembicaraan kami. Sudah sangat jelas bahwa aku dan Antonio masih sama-sama saling mencintai, tapi tidak, aku tidak mau mengulangi masa laluku dengan Antonio. Bukankah aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tutup buku dengan Antonio. Cinta itu mungkin masih ada, namun tidak ada lagi hasrat untuk memiliki. Antonio adalah duda dengan satu anak, aku tidak mungkin bisa menerima keadaan seperti itu.
Kuparkirkan mobilku dan bergegas turun menuju arena bowling. Aku sedikit terlambat karena jalanan yang padat. Maklumlah ini Sabtu malam, waktunya penduduk kota ini untuk bersantai dari rutinitas.
“Hai, Rey, maaf aku terlambat, jalan super padat,”sapaku begitu melihat Reyvan yang sudah memulai permainan.
“It’s okay, asalkan kamu traktir aku makan malam ini,”sahutnya dengan senyum.
“Fine, aku traktir kamu steak deh, soalnya aku pengen steak for dinner,”jawabku dengan santai.
“Hahaha, oke, sekarang giliranmu,”
Reyvan menyerahkan bola bowling kepadaku dan kami pun bermain sekitar satu setengah jam.
Dengan kendaraan masing-masing kami menuju restoran steak favoritku, makan dan minum, lalu menutup pertemuan malam itu dengan selamat malam, kemudian pulang ke tempat masing-masing. Kami berdua sama-sama menikmati malam itu sambil mengenang kebersamaan kami dahulu saat bertugas di Surabaya. We are still bestfriend. Reyvan dan aku cocok dalam banyak hal. Hobi, makanan, film, tempat liburan adalah beberapa hal yang sama kami minati.
Aku dan Reyvan sama-sama hobi traveling dan membaca buku fiksi. Makanan favorit kami juga sama. Kami berdua penyuka steak untuk makanan barat dan soto untuk makanan Nusantara. Kami juga sesama penyuka film laga. Dan banyak lagi kesamaan yang kami miliki, yang membuat kami seperti bercermin satu sama lain. Dan itu pula yang membuat aku tidak bisa jatuh cinta pada Reyvan. Dia adalah aku untuk versi lelaki.
Sesampai di kost, aku menemukan Antonio duduk di meja makan di ruang pantry lantai dua dengan laptop dan sebotol alcohol dan gelas kecil di meja. Ada sekantong makanan ringan juga. Melihatku kembali dia tersenyum. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sebenarnya aku sudah lelah, namun melihatnya menungguku membuatku sungkan untuk langsung ke kamar. Aku duduk di depannya dan dia langsung mengambil gelas untukku.
“Mau minum bersamaku?”katanya.
“Ehmm, boleh. Tapi aku mandi dulu ya, gerah soalnya tadi habis main bowling,”
“Oke, aku tunggu di kamarku saja ya, di nomor dua belas, soalnya aku lupa bawa charger laptopku, ini uda mulai lowbat,”katanya sambil membereskan dan mulai mengangkut benda-benda dihadapannya, meninggalkan aku yang masih bengong.
Namun aku kemudian melangkah menuju kamarku, mandi, mengenakan kaos oblong putih dan celana tidur panjang, memakai sendal dan menuju lantai tiga. Aku mengirim pesan lewat Whatsapp bahwa aku sudah di depan kamar. Sengaja tidak mengetuk pintu karena takut mengganggu penghuni lain. Antonio membuka pintu, mempersilahkan aku masuk dan kemudian mengarahkan aku ke balkon kamarnya.
Ternyata kamar di lantai tiga punya keistimewaan dengan balkon yang memungkinkan kita memandang langit malam sambil bersantai. Aku duduk di sofa ukuran dua orang yang empuk dan di atas meja kecil sudah ada minuman alkohol dan makanan ringan.
Aku meneguk minuman itu dan terasa sedikit hangat di tenggorakan. Suasana sangat romantis namun aku berusaha tidak larut dalam suasana dan aku berusaha menganggap Antonio sebagai teman lama saja. Antonio datang dan membawa potongan buah jeruk Sunkist di piring, meletakkannya di meja lalu duduk di sampingku.
“Kamarku tidak punya balkon seperti ini. Ternyata lantai tiga ada istimewanya ya, meski harus naik tangga lebih banyak,”kataku.
“Hehehe, iya. Dulu awal aku kemari, masih banyak kamar kosong, maka aku bisa memilih kamar di lantai tiga ini. Sekarang lantai tiga ini sudah ada penghuninya semua. Selain kamarnya lebih besar, ada mesin cuci dan balkon ini.”jawan Antonio sambil menyuapkan sepotong jeruk ke mulutnya.
“Pemandangan dari sini juga bagus, perpaduan langit malam dan lampu-lampu gedung yang cantik,”kataku sambil meneguk minumanku yang sudah diisi ulang oleh Antonio.
Kami terdiam beberapa saat sambil menikmati malam yang masih riuh dengan suara klakson kendaraan dari kejauhan. Tiba-tiba saja tanganku tersentuh oleh tangan Antonio yang hendak mengambil makanan ringan. Kami sama-sama menoleh dan tiba-tiba saja bibir Antonio sudah mendarat di bibirku. Aku tergugu. Dan entah dorongan darimana atau mungkin pengaruh minuman beralkohol ini, aku membalas ciumannya dan melingkarkan kedua tanganku ke leher Antonio. Kami berciuman dengan dada bergemuruh mungkin oleh nafsu atau juga kerinduan yang terpendam selama lima belas tahun. Tangan Antonio memeluk tubuhku dengan erat dan bibirnya mulai menjelajahi leherku. Tangannya pelan-pelan mulai masuk ke dalam kaos oblongku. Adrenalinku terpacu dan merapatkan tubuhku padanya.
Namun tiba-tiba saja ponsel Antonio berdering dan terlihat nama Anetta di layarnya. Antonio berhenti dan melepaskanku, lalu menjawab ponselnya. Saat Antonio menjawab telepon dari putrinya, aku bergegas keluar dari kamar Antonio dan kembali ke kamarku. Antonio tidak sempat menghalangiku karena masih berbicara dengan putrinya. Aku masuk ke kamarku dan mengirimi pesan kepada Antonio agar dia tidak menyusulku.
"An, kita sudahi malam ini, ya” lalu kumatikan ponselku dan bergegas tidur. Arrgghh, kenapa aku membiarkan hal itu terjadi. Untung saja anaknya menelepon meski sudah malam begini. Tanpa telepon Anetta, mungkin aku dan Antonio sudah…