Lusiana harus mengorbankan dirinya sendiri, gadis 19 tahun itu harus menjadi penebus hutang bagi kakaknya yang terlilit investasi bodong. Virgo Domanik, seorang CEO yang terobsesi dengan wajah Lusiana yang mirip dengan almarhum istrinya.
Obsesi yang berlebihan, membuat Virgo menciptakan neraka bagi gadis bernama Lusiana. Apa itu benar-benar cinta atau hanya sekedar obsesi gila sang CEO?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Lagi
Lusi panik, manik matanya membesar melihat laki-laki berperawakan tinggi besar hanya pakai celana tanpa atasan.
'Ini pasti anak tirinya ... cantik juga.' Lelaki itu kelihatan tertarik pada Lusi, anak dari kekasihnya.
Laki-laki itu kemudian melihat ke belakang. Kekasihnya, yaitu ibu tiri Lusi masih tidur, mungkin lebih tepatnya pingsan karena banyak minum dan kelelahan harus melayaninya beberapa ronde. Sekarang, dia ingin bermain-main dengan anak gadis kekasihnya itu. Kelihatan masih muda, polos, dan menarik.
"Anda siapa? Keluar! Keluar dari sini!" Lusi teriak, dia menjauh agar lelaki itu tak mendekatinya.
"Pergi! Jangan dekat-dekat. Aku akan teriak!" ancam Lusi. Dia mencoba menakuti, meskipun aslinya Lusi sendiri dalam ketakutan yang besar.
"Sssttt ... Jangan berisik." Lelaki itu semakin mendekati Lusi.
Pria itu jalan makin dekat, sementara Lusi tambah takut. Sorot mata yang sama seperti om-om hidung belang saat itu. Seringai jahat begitu terasa, membuat Lusi ketakutan.
"PERGI!" teriak Lusi ketika kepalanya akan diusap. Lusi bahkan sempat menepis lengan yang ditumbuhi bulu-bulu lembut tersebut.
"Ssst! Aku bilang tenang ... Aku tidak akan memberi tahu ibumu. Tenanglah ... Aku tidak akan menyakitimu. Kemarilah gadis manis ... Mari bersenang-senang denganku," Lelaki itu mulai membujuk Lusi pelan-pelan. Seolah Lusi ini anak kecil yang gampang dibujuk dengan iming-iming coklat atau permen.
"Aku bisa memberikan uang ... Kamu mungkin ingin shopping," tawar kekasih ibu tirinya tersebut. Ia memberikan iming-iming agar Lusi mengikuti kemauannya.
"Aku tidak butuh, tolong keluar dari sini." Lusi menolak keras, dia berusaha kelihatan berani. Padahal jantungnya sudah berdegup kencang karena was-was dan selimuti ketakutan.
Lelaki itu menatap mangkuk mie instan, kemudian tersenyum tipis. Ia melihat kalau Lusi pasti tak diperlakukan baik di rumah itu. Buktinya garis itu dikurung di sana.
"Kau mungkin mau makan enak? Aku bisa memberikan uang." Sambil membujuk, tangannya mencoba meraih rambut Lusi lagi. Bahkan dia sempat mencium ujung rambut Lusi. Harum.
Rupanya aroma daun muda lebih menarik daripada ibu-ibu peot seperti ibunya Lusi. Meskipun sudah maksimal silikon sana sini, tetap tak secantik Luis. Kalah dengan daun muda yang cantik alami.
Di sisi lain, Lusi mulai memikirkan sesuatu. Dia harus memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur. Dengan memberanikan diri, Lusi langsung berpura-pura.
"Jika ibuku tahu, dia akan marah dan bisa membunuh ku," kata Lusi lirih. Bola matanya memutar, mencari jalan keluar agar bisa kabur dari sana.
Sementara pria itu, ia langsung mengulas senyum.
"Kau takut dengannya? Jangan khawatir ... aku bisa mengurusnya." Lelaki itu mencoba memegang tangan Lusi. Dia penasaran dengan barang baru. Apalagi masih kelihatan fresh dan begitu polos nya.
Untuk kali ini, Lusi membiarkan tangannya dipegang, ini karena dia mau kabur. Lusi harus memainkan taktik agar dia bisa lari.
"Aku haus, bisakah om mengambilkan aku air dalam kulkas? Mereka mengunciku dari semalam." Lusi menatap penuh harap, ia mulai menipu pria hidung belang tersebut.
"Tentu saja," ucap lelaki itu lalu berbalik. Jangankan air, dia bisa memberikan apa saja asal gadis polos itu mau melayaninya.
Namun, itu semuanya tinggal angan. Hitungan detik, ketika lelaki itu mau keluar kamar Lusi, gadis itu langsung menyerobot duluan. Lusi keluar dari sela-sela.
"Heiii!" pekik pacar ibu tiri Lusi.
Lusi tak menoleh, dia langsung lari ke pintu utama. Sayang sekali pintunya dikunci. Lusi tambah panik, karena suara langkah kaki pria itu kian mendekat.
"Bagaimana ini, astaga ... bagaimana?" Lusi panik bukan main. Dia berusaha mencari jalan keluar dan berpikir cepat.
"Pintu samping garasi," ucap Lusi langsung putar arah dan lari ke pintu samping yang menyambung ke garasi kecil rumah itu. Dia harus keluar, atau akan habis di rumah itu.
"Mau lari ke mana gadis kecil," ucap laki-laki itu sudah berada di belakang Lusi. Tatapan seperti elang yang ingin memakan mangsanya.
"Kau tidak bisa lari ke mana-mana. Apa mau dikunci di tempat tadi?" Lelaki itu menyeringai penuh kemenangan. Karena merasa sudah menangkap gadis itu.
"Lepaskan," Lusi teriak panik, dia menarik tangannya yang dipegang oleh si pria. Ditarik kuat-kuat, tapi malah sakit dan tak bisa lepas. Tangan lelaki itu sangat kuat, jelas Lusi tidak imbang.
"Kau mau ke mana? Lebih baik kau tetap di sini ... Kau harus dikunci kembali di kamar itu, karena kau suka kabur rupanya," gumam lelaki tersebut lalu menarik tangan Lusi dengan erat.
Tidak mau, Lusi langsung mengeluarkan jurus terakhir. Ini yang bisa dia lakukan di saat genting seperti ini. Tidak peduli berhasil atau tidak, Lasi mau mencobanya.
"Om," panggil Lusi setelah laki-laki itu menoleh padanya, Lusi langsung mengeluarkan tendangan maut tepat di antara dua butir telur kembar. Seketika tendanya mengenai sasaran, tepat di area paling rawan dan mematikan.
Tendangan begitu cepat dan tepat sasaran, membuat laki-laki itu langsung meringkuk kesakitan. Kesempatan tidak datang dua kali, Lusi langsung lari dan berhasil membuka pintu garasi. Dengan jantung yang berdegup sangat kencang, Lusi berusaha lari dari cengkareng orang-orang jahat di rumah itu.
Gadis tersebut kemudian lari keluar dengan sangat cepat. Seperti kemarin malam, dia pergi tanpa apapun. Hanya pakaian di badan. Tidak punya siapa-siapa, tidak tahu harus ke mana, Lusi terus lari, sampai keluar komplek dan masuk jalan besar. Sudah mirip gelandangan, berjalan tanpa arah tanpa alas kaki pula.
Lusi berjalan di trotoar, sampai sebuah mobil menepi dan menyalakan klakson. Kaca mobil terbuka separuh, wajah Roy kelihatan menyembul.
"Hei! Kau ... Hey!" teriak Roy.
Mungkin capek jalan kaki berkilo-kilo, ditambah kena sinar matahari sejak tadi, Lusi merasa badannya lemas. Tidak ada tengah lagi untuk tetap jalan, rasanya kakinya sudah sangat lelah.
"Hei!! Tunggu!"
Pandangan Lusi mulai kabur, terlalu capek, Lusi merasa kakinya tak mampu lagi menyanggah tubuhnya tersebut.
"Hei ... Kau ... Kau kenapaa?"
bersambung.
terimakasih juga kak sept 😇