Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Khitbah
Sebuah mobil SUV memasuki halaman rumah Hanung. Ibu Jam dan Hanung yang mendengar suara seru mobil pun keluar rumah menyambut kedatangan tamu mereka. Iwan yang bertanggung jawab menjaga adik-adiknya, membawa mereka bermain dikamar.
"Assalamu'alaikum.." sapa Bu Nyai dan Pak Kyai bersamaan.
"Wa'alaikumussalam.." Ibu Jam dan Hanung bergantian mencium punggung tangan Bu Nyai.
Ibu Jam menangkupkan tangannya di dada menyapa Pak Kyai, sedangkan Hanung mencium punggung tangan beliau yang sudah menjadi kebiasaannya dari dulu. Ibu Jam pun mempersilahkan Bu Nyai dan Pak Kyai masuk kedalam rumah tanpa bertanya dimana Gus Zam. Hanung menurut saja mengikuti dari belakang, ia mengira hanya Bu Nyai dan Pak Kyai yang datang hari ini.
Setelah semuanya duduk, Pak Kyai menyampaikan niat beliau datang dan Ibu Jam pun menyambutnya dengan mengatakan semua keputusan ada ditangan Hanung.
"Sebelum Hanung memberikan keputusan, alangkah baiknya untuk bertemu dengan Adib lebih dulu." Kata Pak Kyai.
"Hanung, mari ikut Umi ke mobil." ajak Bu Nyai.
Hanung mengikuti langkah Bu Nyai menuju mobil. Bu Nyai membuka pintu kursi penumpang, terlihat laki-laki yang sedang duduk memperhatikan keluar jendela yang berlawanan dengan posisi Bu Nyai dan Hanung saat ini.
"Adib, ini ada Hanung ingin kenalan." tak ada jawaban.
Bu Nyai pun meminta Hanung masuk dan duduk dibagian depan, sementara beliau duduk di sebelah Gus Zam. Walaupun menunduk, Hanung tetap memperhatikan setiap gerakan Bu Nyai yang saat ini menggenggam tangan Gus Zam.
"Hanung, kenalkan. Ini Adib Zamroni, anak Umi yang kedua. Biasa dipanggil Gus Zam. Seperti yang Umi ceritakan kemarin, Adib orangnya pemalu dan pendiam. Jujur, Adib mengalami trauma sewaktu kecil yang membuatnya seperti sekarang. Semua terapi dan semua jenis pengobatan sudah Umi dan Abi lakukan, tetapi tidak mendapatkan hasil." Hanung yang awalnya menunduk, memberanikan diri menatap ke arah Bu Nyai. Ada gurat kesedihan disana.
"Hanung, Umi tidak memaksa kamu untuk menerima Adib. Sebenarnya Umi bersalah disini. Hari pernikahan Adib sudah ditentukan sejak satu tahun yang lalu dan semua persiapan sudah dilakukan termasuk menyebarkan undangan karena minggu depan adalah hari yang ditentukan. Sayangnya, pihak perempuan membatalkannya tepat saat kamu datang ke pesantren kemarin." Hanung terkejut dengan penjelasan Bu Nyai.
"Umi tidak ada maksud untuk menjadikan kamu sebagai pengganti. Semuanya murni karena niatan untuk memberikan pernikahan yang layak untuk Adib. Kalaupun kamu menolak, Umi hanya akan membatalkan acara yang telah kami siapkan. Semua keputusan ada ditangan kamu, Hanung."
Hanung hanya termenung. Semua informasi yang dijelaskan Bu Nyai memenuhi kepalanya saat ini. Sempat ada rasa kecewa, ragu dan keinginan untuk mundur dari lamaran ini. Tetapi kemudian Hanung tersadar akan keputusan yang telah ia ambil atas petunjuk yang telah ia dapat.
Bu Nyai yang melihat kediaman Hanung hanya bisa menahan gejolak dihati. Bagaimanapun, beliau sadar dengan kekurangan anaknya yang selama ini beliau anggap spesial. Tidak semua orang bisa menerima keadaan Gus Zam.
"Adib, ini Hanung. Apakah kamu tidak ingin mengenalnya?" Mendengar hal itu, baik Hanung maupun Gus Zam melihat kearah Bu Nyai secara bersamaan.
Gus Zam menganggukkan kepala nya dan mengulurkan tangannya. Tetapi saat melihat wajah Hanung, segera Gus Zam menarik tangannya kembali. Hanung yang melihatnya pun merasa familiar dengan wajah Gus Zam, tetapi ia tidak ingat pernah bertemu dimana.
"Maafkan Adib, Hanung. Mungkin dia merasa sungkan dengan kamu yang bukan muhrim. Selama ini, perempuan yang dekat dengan Adib hanya Umi dan Kakaknya, Alifah." Hanung mengangguk tanda mengerti.
"Nak.." Bu Nyai mencoba sekali lagi, tetapi Gus Zam tidak merespon.
Bu Nyai tahu, anaknya sedang tidak ingin diganggu. Beliau pun mengajak Hanung kembali ke ruang tamu, meninggalkan Gus Zam dimobil.
"Bagaimana Umi?" tanya Pak Kyai was-was.
Bu Nyai hanya menggelengkan kepalanya, membuat Pak Kyai dan Ibu Jam menghembuskan nafas dalam. Keduanya mengerti maksud gelengan Bu Nyai, yaitu Gus Zam tidak ingin mengenal Hanung.
Sedangkan Hanung yang memperhatikan ekspresi mereka menebak, jika Ibu Jam tahu keadaan Gus Zam seperti apa. Ia pun menyimpan pertanyaan untuk Ibu Jam nanti.
"Hanung, jawaban kamu apa? Jangan sungkan, Umi dan Abi tidak memaksa kamu."
"Hanung.." Hanung menggantung kalimatnya, membuat para orang tua menunggunya.
"Bismillah.." ucap Hanung dalam hati.
"Hanung, menerima khitbah Umi dan Abi." jawab Hanung mantap.
"Apakah kamu yakin, Nak?" Pak Kyai memastikan.
"Saya yakin. Keputusan saya menerima khitbah ini tidak berdasarkan paksaan atau rasa iba. Saya ridho." sontak semua orang pun mengucapkan hamdalah bersamaan.
"Hanung, sejak kamu memberikan jawaban maka kamu resmi menerima khitbah kami dan kamu tidak diperbolehkan menerima khitbah dari orang lain karena kamu sudah resmi sebagai makhthubah atau calon mempelai perempuan yang sudah resmi dilamar. Ini mahar yang Abi berikan untukmu, hantaran dan mahar pernikahan akan kami kirimkan di hari pernikahan." Pak Kyai menyerahkan sebuah kotak kayu yang beliau keluarkan dari saku jubah.
Hanung menerimanya dengan menunduk dan mengucapkan terimakasih. Bu Nyai dan Pak Kyai pun mengucapkan sholawat atas keberhasilan khitbah mereka, begitu juga dengan Ibu Jam yang tidak menyangka Hanung bersedia dilamar.
Sebelum melanjutkan pembicaraan, Ibu Jam mengajak Bu Nyai dan Pak Kyai untuk makan terlebih dahulu. Mereka setuju dan meminta Hanung untuk mengantarkan makanan untuk Gus Zam.
"Permisi, Gus Zam. Ini makan siang untuk Gus Zam, mau pakai sambal tidak?" tanya Hanung hati-hati.
Gus Zam melihat kearah Hanung sekilas dan menerima nampan yang dibawanya. Hanung yang merasa keberadaannya merupakan ancaman untuk Gus Zam pun membalikkan tubuhnya. Gus Zam memakan makanan yang Hanung siapkan tanpa protes sedikitpun. Setelah selesai, Gus Zam mendorong nampan sampai mengenai tubuh Hanung.
"Alhamdulillah.." ucap Hanung yang melihat piring dan gelas Gus Zam sudah kosong.
Hanung pun turun dari mobil dan menutup pintu kembali. Bu Nyai dan Pak Kyai sedari tadi sebenarnya memperhatikan keduanya, tetapi mereka harus kecewa karena anak mereka masih belum membuka diri.
Selesai makan, pembicaraan mereka pun berlanjut pada pembahasan nikah. Jika Hanung keberatan, mereka akan mengubah tanggal pernikahan sesuai keinginannya. Tetapi Hanung mengatakan untuk mengikuti sesuai yang sudah direncanakan.
"Kamu benar tidak ingin ganti tanggal? Kamu bisa memilih harimu sendiri, Hanung." kata Bu Nyai.
"Tidak apa-apa, Umi. Semua hari baik." jawab Hanung dengan tersenyum.
"Tapi waktunya terlalu cepat untuk kamu, Nak." Pak Kyai bersuara.
"Tidak apa-apa, Abi. Dengan saya mengambil keputusan mau itu cepat atau lambat, pernikahan tetap akan terjadi." para orang tua membenarkan perkataan Hanung.
Dengan begitu, mereka semua sepakat melaksanakan pernikahan antara Hanung dan Gus Zam dihari yang sudah ditentukan, yaitu minggu depan. Tetapi Umi mengganti tempat dilangsungkannya pernikahan. Yang awalnya dilakukan di gedung, dirubah menjadi masjid pesantren.
Bu Nyai dan Pak Kyai pun menutup khitbah mereka dan berpamitan karena mereka harus segera mengurus semua keperluan. Hanung dan Ibu Jam mengantarkan kepergian mereka yang diperhatikan oleh tetangga sekitar. Hingga salah satu tetangga mendekat menanyakan ada keperluan apa Bu Nyai dan Pak Kyai berkunjung kerumah mereka.
Tanpa menutupi apapun, Ibu Jam mengatakan bahwa Bu Nyai dan Pak Kyai melamar Hanung. Ibu Jam juga mengatakan jika pernikahan akan dilakukan minggu depan. Sontak saja tetangga yang mendengar kabar tersebut mengucapkan selamat dan mendoakan yang terbaik untuk Hanung.
"Bu, Hanung ingin tahu seperti apa calon suami Hanung."