Bawa pesan ini ke keluargamu!
Teruslah maju! Walau sudah engkau tidak temui senja esok hari. Ada harapan selama nafas masih berembus.
Bawa pesan ini lari ke keluargamu!
Siapa yang akan menunggu dalam hangatnya rumah? Berlindung dibawah atap dalam keceriaan. Keset selamat datang sudah dia buang jauh tanpa sisa. Hanya sebatang kara setelah kehilangan asa. Ada batu dijalanmu, jangan tersandung!
Bawa pesan ini ke keluargamu!
Kontrak mana yang sudah Si Lelaki Mata Sebelah ini buat? Tanpa sengaja menginjak nisan takdirnya sendiri. Tuan sedang bergairah untuk mengejar. Langkah kaki Tuan lebih cepat dari yang lelaki kira. Awas engkau sudah terjatuh, lelaki!
Jangan lelah kakimu berlari!
Jika lelah jangan berhenti, tempat yang lelaki tuju adalah persinggahan terakhir. Tuan dengan tudung merah mengejar kilat.
Tuan telah mempersembahkan kembang merah untuk Si Lelaki Mata Sebelah.
Sulur, rindang pohon liar, sayupnya bacaan doa, lumut sejati, juga angin dingin menjadi saksi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Indy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Makna Altar
..."Sedikit gambaran mengenai arti kehidupan adalah dimana ada pengorbanan maka ada keberhasilan. Tetapi, dunia ini tiada ada maknanya, silakan karang bebas artinya." -Altar....
Berjalan menuju kerumunan orang lewat, membawa belanjaan yang akan di masak malam ini. Menelisik apakah barang yang dia bawa sama dengan catatan pena yang diberikan oleh Julian. Setengah sadar lelaki itu menulis bahan alam yang bisa digunakan untuk menetralkan rasa mabuk.
Dengan langkah cepat berjalan menuju rumah dinas. Tanpa sengaja bersenggolan dengan orang lewat. "Maaf," Bryan menunduk salah.
"Tidak masalah," jawabnya.
Sedikit kerutan terbentuk dikening Bryan. Lelaki itu memiliki rambut abu sepeti Clause. "Bukankah dia ada di Bukit Azur?" Sedikit mengabaikannya lalu mengunci pagar depan. Beinisiatif jika dia akan tinggal sementara karena bersalah membuat teman masa kecilnya dalam keadaan setengah mabuk.
Bryan masih was-was ketika pintu pagar sudah sepenuhnya tertutup. Dilihatnya kembali lelaki yang kemudin menghilang dari gang. "Apa yang kutakutkan memang?" rutuknya.
...***...
Pagi mungkin menyapa kepada pepohonan sudah lama menjulang tinggi. Rumah Allan sudah dikepul oleh asap segar. Pengepul arang tentu saja akan memiliki briket pembakaran. Clause berjalan perlahan menuju dapur. Lelaki itu juga rajin dengan menyetok bahan makanan setiap hari. Katanya memanen padi atau sayuran berkebun sendiri.
Bau shampoo menguar dari pintu kamar mandi terbuka. Tuan Zion sudah siap dengan badannya.
"Sepertinya Allan belum memasak. Kamu mau makan apa?" tanpa melirik Clause juga tahu siapa yang akan datang menghampirinya.
"Tidak mencari suami saja ketimbang istri?"
Suara Tuan Zion mengaburkan pemikiran jernih dipagi hari. Melemparkan wajan yang ditangkap dengan mudah oleh Tuan Zion. "Bisakah kamu enyah dari dunia!" Perseteruan kecil membuat keduanya bersemangat.
Bersandar di ambang pintu. "Aku sudah mendengar laporan Julian. Bryan yang menulis karena Julian mabuk, dia mengatakan jika-" Pisau yang menajam suaranya saat mengiris bawang membuat Tuan Zion menghentikan perkataannya. Merasakan aura membunuh dari tubuh kecil Clause.
"Sejak kapan Julian minum?"
Tuan Zion menggeleng. "Bukankah itu bukan masalah?"
"Lelaki benama Bryan itu memang..." Clause memperagakan dengan membuat tomat hancur.
"Dia putra Klan Rall. Apakah kamu berani melawan?"
"Ah, jika dia tidak main curang maka aku berani melawan."
"Sungguh luar biasa," puji Tuan Zion. Bahkan merinding bulu romanya.
Tuan Zion mendekati Clause, hanya melihat bagaimana dia memasak. Clasue memang suka memasak sejak dia beada dipelatihan katanya dia berusaha meniru resep ibundanya walau tidak seenak itu, dan masih berusaha sampai sekarang.
"Bryan mengatakan jika kemungkinan Tuan Ferden merencanakan kabur mencari pesugihan kepada dewa dengan mendatangi Bukit Azur."
"Memangnya ada hal seperti itu?"
Langkah kaki terdengar memasuk rumah. Allan membawa kayu bakar beserta beberapa hasil kebun. "Allan kemarilah," Tuan Zion memanggil.
"iya," jawabnya dengan nafas sedikit terengah.
"Apakah kamu tahu jika ada pesugihan di daerah sini?"
Sedikit lelaki memutar otak. Menelisik apa yang dimaksudkan kedua kepolisian ini. "Mungkin meminta petunjuk kali ya," ragunya.
Merasa kurang puas dengan jawaban Allan. "Sejenis mencari solusi untuk hutang atau finansial." Tuan Zion mencari kata pengganti.
"Meminjam uang?"
"Bukan, sejenis ritual dngan dewa atau apalah itu." Clause menambahkan.
"Hm, mungkin kuil? Di sini ada kuil yang biasanya digunakan untuk orang mencari kekayaan. Di sana ada sebuah patung yang dipercaya orang sekitar jalan menuju dewa kemakmuran. Barang siapa yang bisa menuntaskan puasa 40 hari dan kembali dengan keadaan sehat maka, dia akan memperoleh kemakmuran."
"Terdengar tidak masuk akal." Clause menyelesaikan masakannya. Menyajikannya di piring lalu membuat menu baru.
"Tetapi, mengingat Amanda dan Tuan Ferden mengalami masalah yang sama kemungkinan mereka mempercayai hal semacam ini dan nekad melakukannya."
"Apa kita akan ke sana?" Clause memastikan.
"Perlu," jawab Tuan Zion. "Biarkan anak buahku saja yang akan melakukan penyidikan. Kita akan kembali setelah mengambil reka adegan dan kesaksian dari warga sekitar."
"Baiklah," Clause menyendok supnya. Memberikannya kepada Tuan Zion. "Tawar," protesnya.
"Memang sengaja belum dikasih bumbu."
Sedikit senyum terulas di wajah Allan. Sudah lama dia tidak mendapatkan kehangatan dalam bersaudara. Kini sekaan menumbuh pula di dalam hatinya.
...***...
Melegakan diri setelah berpulang dari makam Amanda. Berharap akan menemukan jalan pulang setelah tersesat dalam cahaya. Masih dia ingati jalan menuju Altar dengan kereta mesin. Setelah di derek menuju kepolisian, menjadi barang bukti. Juga menelisik riwayat pembelian kereta mesin Tuan Ferden. Memang dinyatakan jika Tuan Ferden hanya memberi satu kereta mesin. Sedangkan, dengan cara apa meeka kabur belum dipastikan.
"Aku akan membeli beberapa camilan dan kue jahe untuk Julian. Apakah kamu akan ikut turun?" Tuan Zion membuka kereta mesin melirik sekilas Clause yang menggambar.
"Tidak," jawabnya tanpa memalingkan kepala.
"Anggotaku sudah melaporkan. Letak kuil berada di puncak bukit Azur," jelas Tuan zion sekilas sedangkan, Clause mengangguk.
Tuan Zion berjalan segera, dengan sedikit langkah menuju tuan penjual kue jahe. Tuan Zion tidak terlalu mengerti kue jahe yang dipesan oleh Julian yang dia tahu hanya akan tersedia saat musim dingin datang. Mengingat banyaknya angin yang berembus belakangan ini, mungkin Julian kedinginan.
Tanpa sengaja mata Tuan Zion memicing kepada seorang gadis yang menuruni kereta mesinnya sembari membawa dua kantong pakaian. Menyerahkan kepada penjual kain yang sudah menunggu lama dalam taman kota. "Maaf, bisakah aku meminta tambahan satu lagi."
"Baiklah," jawabnya tuan penjual kue jahe dengan ramah.
"Terima kasih," balas Tuan Zion.
Segera menyeberang lalu lintas. Liliana nampak sedikit masam dengan rambut yang digerai panjang. Bergelombang rambutnya menutupi setengah badannya. "Liliana," panggil Tuan Zion ketika dia berada di dekat gadis itu.
Tangan kecil dengan mudah menampar pipi Tuan Zion. Sebuah keterkejutan yang seharusnya tidak Tuan Zion terima. "Ada apa Liliana?"
"Pergi kamu!" teriak Liliana, tentu saja mengundang banyak pasang mata lewat.
Wanita yang menerima pakaian itu kini menghindar menjauh. Tatapan aneh orang yang dilayangkan kepada Tuan Zion. Sedang wajah yang ceria itu nampak sedikit...
ketakutan.
"Hei Tuan apa yang kamu lakukan padanya?" Teriak seorang asing yang maju.
Tuan Zion hanya mengamati keributan yang ada. "Apa kamu tidak mengenaliku, Liliana?" Mencoba menyadarkan gadis melotot menatap takut.
Clause mengintip dari balik jendela. Sepertinya ada yang mencari keributan diantara kerumunan orang yang bertambah. Clause meletakkan kertas gambarnya lalu berjalan cepat menuju Tuan Zion berada.
"Tuan Zion," panggil Clause.
Beberapa orang teralih dengan lambang kepolisian yang berada di bahu kanan Tuan Zion. "Mereka dari kepolisian," bisik beberapa diantara mereka.
"Liliana," panggil sang ayah membelah kerumunan lalu menatap keduanya dengan perasaan linglung. "Maaf Tuan Zion ada masalah yang menimpa kami. Liliana sedang tidak stabil." Segera Tuan Anthony membimbing putrinya menuju kereta mesin.
"Tunggu Tuan Anthony."
Tuan Anthony hanya mengabaikannya dan segera mengambil kemudi. "Tuan Anthony?"
Pergilah Anthony dan Liliana cepat meninggalkan kerumunan. Kerutan yang berada didahi Tuan Zion semakin kentara. Melihat sikap Liliana jelas bukan sesuatu yang mudah untuk ditangani. Melihat kue jahe yang seharusnya dia berikan kepada Liliana. "Untukmu," ucap tuan Zion memberikan kepada Clause lalu meninggalkannya menuju kereta mesin.
...***...
Seseorang berlari dalam keringat malam.
Tubuh gembul becucuran keringat membasahi. Tawa mana yang sudah dipekikkan? Jika malam pukul dua dini hari sudah menjadi saksi atas kematian seseorang. Berlarian dengan bodohnya menuju tengah Kota. Berharap jika seseorang yang mengejar dirinya akan hilang setelah bertemu dengan banyak orang.
Nyatanya, hanya sepi yang dirasa.
Kereta mesin pembawa kain sudah tumpah. Hendak lelaki bertubuh gembul antarkan kepada rumah pemesan. Tanpa sengaja kakinya tersandung batu kecil dan menabrak sesorang berjalan diatas trotoar. "Maafkan aku," lelaki bertubuh gembul panik.
"Apa kamu sedang berlari?" Suara yang sudah beberapa kali dia dengar dari kegelapan malam. Tengah kota yang seharusnya ramai? Dimana sekarang?
"Tuan Jack," panggilnya lagi. Tuan Jack menoleh dilihatnya lelaki bertudung merah tersenyum nakal kepada dirinya. Tinggi semampai membawa sebuah gergaji tangan.
"Mengapa kamu mengenaliku?" tanyanya kepadanya.
Lelaki bertudung merah menyeringai. "Hm, bukankah kamu terkenal? Kamu adalah pedagang sukses. Yang dengan arogannya menganiaya gadis yang tidak memberikan salah kepadamu."
Keringat membasahi pelipis Tuan Jack, terus mengalir tanpa henti berbarengan dengan degup jantung tak karuan.
"Yang dengan bangga merenggut kepuasan birahi kepada manusia tanpa dosa."
Tuding tangan lelaki bertudung merah menuju belakang tubuh Tuan Jack. "Pada akhirnya, siapa yang akan terus menjerit?"
Akan kau ingat malam ini. Tepat diatas kepalamu bulan bersinar setengah. Seperti nyawa dan tubuhmu yang akan aku potong menjadi setengah."
"K-kalian!" Dua berkepung kepada Tuan Jack. Dua lelaki bertudung merah sedang bermain gila.
"Tolong!" Teriak lelaki gembul kencang. Menggonggong, berteriak, memohon pertolongan dari manusia yang lewat. Namun, mengapa hanya diri sendiri dalam dinginnya aspal?
Lelaki bertudung merah berbalik arah lalu berjalan pergi. Seketika dia melihat ada seseorang dengan senternya menghampiri Tuan Jack. "Ada apa Tuan? Apakah kamu membutuhkan sesuatu?" Tanda kepolisian ada di lengan kanan. Lega sudah perasaan jiwanya yang takut.
"Iya. Ada seseorang yang mengikutiku."
"Apakah terlihat seperti aku?"
Wajah tertutup tudung merah segera. Tuan jack kebingunan brutal. bukankah lelaki bertudung merah sudah berjalan pergi. Tuan Jack melangkahkan kaki mundur berlari segera menuju ke ujung kota sekalipun akan dia lalui. Berumpang jiwanya, kalut pemikirannya. Katakan jika malam besok akan selalu dia tahu. Besok, masih ingin mati.
"Tuan Jack!" teriak seorang gadis dengan membawa gergaji. Liliana yang berkepang dua sedang beriri di balik pohon.
"Liliana? Tidak! Bukankah kamu tidak akan berani melakukan itu?"
Mengapa tiba saja terdapat tudung merah ada di mana-mana. Seakan terus mengintipnya dari balik pohon.
"Kamu pembunuh!"
Sekilas cahaya kilat menyambar tubuh Jack, tepat diatas sebuah batang pohon dia ambruk. Tersungkur dengan lidah tercekat. Seketika Tuan Jack memegang lehernya. Meraba, setelahnya melega ketika tidak ada darah yang mengalir. Hendak dia berdiri ketika pemandangannya berbalik arah menuju tanah. Sedangkan, tubuhnya dapat dia lihat dengan sempurna.
Kepalanya sudah terputus dari badan!
Jas merah muda menginjak tubuh Tuan Jack. Belum sepenuhnya dia tewas masih diingati wajah lelaki yang sudah membunuhnya. Sedangkan, diantara itu dilihat juga lelaki yang dia tahu sebagai Anthony.
"Selamat tinggal Jack, semua ini atas pembalasan putriku yang sudah kau nodai!"
Berteriak sudah tidak kuasa. Hanya meninggalkan nama dalam indahnya darah mengalir lega. Bersumpah serapah dan makian dalam jiwa. Akan menjadi musuh, dan mari bertemu di surga, Anthony.
Pagi belum sepenuhnya menjelang. Kantor kepolisian sudah dipenuhi dengan orang berkerumun. Mengabarkan ada seseorang nyonya yang menangis histeris, meminta keadilan. Tuan Zion menuruni kereta mesinnya. Memecah kerumunan yang ada. Julian juga Clause yang berusaha menenangkan seorang itu. "Ada apa Clause?"
"Ada pembunuhan mutilasi. Diketahui korbannya bernam Tuan Jack salah satu pedagang kin yang terkenal di Kota ini. Ibunda ini adalah istri dari Tuan Jack. Dia meminta kita untuk menyelidiki kasusnya. Menurut saksi yang menemukannya korban sepertinya baru saja dibunuh." Julian mengambil tasnya dengan segera. Sedangkan, Clause menyampirkan jas.
Tuan Zion mengangguk. Memang sengaja masuk lebih lama dari anak buahnya karena mampir ke rumah duka menuntaskan tugas. Ternyata, sepagi ini sudah ada kekacauan yang dibuat kemarin malam. Apakah pembunuh yang sama dengan Tuan Ferden?
Julian segera menuju ke lokasi pembunuhan. Mayat yang belum dibersihkan masih menjadi bahan ghibahan warga. Ada seseorang yang sedang mengisahkan kesaksian kepada Clause, ada juga yang terus bergidik ngeri.
Julian memeriksa sebuah bagian tubuh mayat. Kehilangan jejak ketika wajahnya tidak berada di tempat. "Apakah ada bagian yang ditemukan kembali?" Julian berteriak kepada rekan forensiknya.
Julian meninggalkan lokasi pengumpulan bagian tubuh. Menghampiri Clause berbisik, "kepalanya tidak ditemukan. Aku butuh bantuan."
Pencarian dimulai, menunggu sedikit lebih lama sampai potongan terakhir ditemukan. Julian mengangkat kepala Tuan Jack dengan hati-hati. Bagian kepala dibiarkan menggelinding berada tidak jauh dari badan ditemukan hingga membentur batang kayu roboh.
Julian menyentuh guratan, terpotong sempurna, tanpa adanya perlawanan, tanpa adanya goresan, tanpa adanya gorokan. Seakan membelah pinang menjadi dua. Julian sempat memperhatikan bagaimana mata terbuka sempurna. Menatap kosong seakan ketakutan dalam takdir waktunya.
"Penelitain kasar?" Tuan Zion berjalan menghampiri Julian. Mengambil sarung tangan yang berada di dalam tas Julian. Segera membungkus wajahnya juga menanggalkan jasnya.
Clause mengeluarkan arloji jamnya. Menunjukkan pukul 10.00 tepat. Pencarian masih dilanjutkan dengan menangkap hasil bukti lainnya. "Setidaknya pukul 2 malam. Seseorang telah mati," lirihnya.
"Bagian leher terpotong sempurna, disayat menggunakan pedang atau bilah tajam panjang. Tidak ada bekas perlawanan, kaki juga ototnya masih segar. Dibagian paha terdapat lebam, korban sempat terjatuh. Lengan kanan dan kiri ditemukan tidak jauh dari kaki. Bagian tubuh dibelah menjadi 6 bagian. Kepala, badan, tangan kanan, tangan kiri, kaki kanan, dan kaki kiri. Organ semuanya utuh. Korban dimutilasi setelah dia meninggal." Julian maih menelisik semua bagian tubuhnya.
"Sepatunya terdapat bekas tanah liat." Clause mencari apa yang Julian cari sedari tadi. "Ada bekas jam ditangan kanan. Sedangkan jamnya tidak ditemukan di lokasi. Nyonya Jack masih belum mengatakan apa-apa sampai sekarang."
"Untuk saat ini pindahkan ke rumah sakit. Aku akan autopsi segera." Julian segera bergegas membereskan barangnya. Peti mati yang sudah disiapkan juga turut mengikuti langkahnya.
Julian percaya satu hal. Mayat tidak akan pernah berbohong tentang apa yang terjadi padanya.
Dari banyaknya kerumunan yang datang, terselip satu gadis yang sudah tersenyum sejak lama. Ada seorang gadis yang berbahagia atas meninggalnya sesorang. Ada seorang gadis yang mengepang dua rambutnya kembali. Dari kejauhan sang ayah melihat kegirangan putrinya. Malam ini akan ada anak yang kembali mendapatkan kepuasan tidurnya.
Sepasang manik hitam masih mengawasi kerumunan, Tuan Zion dengan segala pemikirannya yang unik. Sedang, Clause berdiri di sampingnya. "Clause, apakah kamu akan percaya dengan apa yang akan aku katakan?"
"Aku hanya menganggap jika dunia pantas memperlakukan orang secara tidak adil. Mereka yang memanah, dan mereka yang dipanah terdapat jarak diantara mereka yang tidak dilampaui."
Seolah tahu apa yang dimaksudkan Clause, Tuan Zion memilih untuk bungkam. Melihat lelaki yang lebih pendek darinya berjalan menuju hadapannya. "Aku itu benci kematian," bisik Clause- walau yang ada di depan mata Clause adalah kemeja Tuan Zion. Menggenggam kuat dasi menyebalkan, meluapkan amarah. "Jika seseorang membunuh seseorang hanya karena dendam maka, semua orang akan terus membunuh."
"Aku sama sekali tidak menyalahkan kata-katamu, Clause."
Sama seperti dirinya yang telah melakukan banyak hal mengerikan di dunia ini. Hidup keras dibawah tekanan bayang kematian. Beimajinasi jika apa yang dia tahu, berita mana yang mengerikan, kasus mana yang akan menjadi salah satu kematiannya? Clause selalu memikirkan itu.
"Istirahat saja." Tuan Zion meraih kepala lelaki itu, rambut dengan seliwir abu-abu sedang menangisi dunia.
Julian hanya melirik dari dalam kereta mesinnya, pemandangan dua manusia yang lelah akan indahnya dunia mewarnai matanya.
...***...
Bersambung
Meski hati terserang rindu akan rumah tapi canda teman sesama menjadi penghangat lara, namun mereka tak tau ada sesuatu yang tengah mengincar nyawa.~~ Samito.
numpang iklan thor/Chuckle/
Iklan dikit ya thor🤭