Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.
Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Canggung Tanpa Bibik
Setelah Minah pergi, suasana di rumah mendadak terasa canggung. Biasanya, Minah akan sibuk di dapur, atau mungkin di ruang tamu, membereskan sesuatu sambil sesekali bertanya apakah Rafael butuh bantuan. Namun sekarang, hanya ada Adrian dan Rafael, dua orang yang sama-sama bingung bagaimana harus bersikap satu sama lain.
Rafael duduk di sofa, tangannya sibuk mengutak-atik remote TV tanpa benar-benar menonton. Apa yang gue lakuin sekarang? pikirnya. Biasanya, dia akan cerita ke Minah atau setidaknya ada yang menyibukkan dia, tapi sekarang, semuanya terasa sepi.
Adrian duduk di seberang, menatap Rafael dengan ragu. Dia ingin mengajak Rafael bicara, tapi setiap kali membuka mulut, rasanya seperti ada tembok besar yang menghalangi. Anak ini tampaknya masih ngambek, meski Rafael sendiri berusaha keras menutupinya.
“Jadi... gimana sekolah tadi?” tanya Adrian, mencoba memulai percakapan.
Rafael melirik ke arah Adrian, tapi hanya mengangkat bahu. “Biasa aja.”
Adrian mengangguk, meski jelas dia tidak puas dengan jawaban itu. “Ada PR?” tanya Adrian lagi, dengan nada lebih ceria, tapi malah terdengar sedikit memaksa.
Rafael mendesah, lalu menggeleng. “Nggak ada,” jawabnya pelan, tapi dalam hati dia merasa situasinya semakin canggung. Ngapain sih Papa tiba-tiba perhatian? pikir Rafael, sambil memutar-mutar remote.
Keheningan pun kembali melanda, dengan hanya suara TV yang menyala tanpa ada yang benar-benar menontonnya. Rafael berusaha keras tidak menunjukkan bahwa dia merasa takut sendirian, terutama setelah apa yang terjadi dengan topeng. Tapi di sisi lain, dia juga tidak mau kelihatan butuh papanya. Ini dilematis.
Adrian, di sisi lain, merasa seperti sedang berjalan di atas kulit telur. Setiap kalimat yang dia ucapkan, dia takut salah langkah dan membuat Rafael semakin ngambek. Dia ingin lebih dekat dengan anaknya, tapi cara mendekatinya? Itu masalah besar.
“Kalau... kamu lapar, Papa bisa pesenin makanan dari luar,” ujar Adrian dengan nada lebih santai.
Rafael mengangkat alis. “Nggak, Pa. Aku belum lapar.”
Adrian mengangguk cepat. “Oke, oke... Kalau gitu, ya... Papa di sini aja kalau kamu butuh sesuatu,” ucapnya sambil sedikit tersenyum canggung.
“Papa nggak ada ke rumah sakit?” tanya Rafael, berusaha terlihat tidak peduli, padahal dalam hati, dia sedikit berharap Adrian tetap tinggal. Topeng sialan itu... pikirnya.
“Nggak. Hari ini Papa cuti,” jawab Adrian.
Rafael mengangguk pelan, tapi jelas ada sedikit rasa lega dalam hatinya. Dia takut sendirian, tapi tetap gak mau kelihatan terlalu membutuhkan. Situasi ini benar-benar aneh, membuatnya tambah canggung.
“Ada yang mau kamu ceritain?” tanya Adrian, mencoba untuk lebih ramah. Tapi Rafael hanya menggeleng.
Keduanya duduk diam lagi. Rafael memandangi TV dengan tatapan kosong, sementara Adrian menatap Rafael sambil berusaha mencari topik yang pas untuk diobrolkan. Namun, setiap kata yang terlintas di kepala Adrian terasa... salah. Terlalu formal? Terlalu tegang? Terlalu dekat?
Mereka berdua terjebak dalam keheningan yang canggung, seperti dua orang yang sama sekali tidak saling mengenal, meskipun mereka ayah dan anak.
Sampai akhirnya, Rafael bicara. “Minah balik kapan?”
Adrian mengerutkan dahi sedikit, berusaha menebak maksud pertanyaan itu. “Minggu depan, kalau gak ada halangan.”
Rafael hanya mengangguk lagi, tapi dalam hati dia berpikir, Seminggu terasa lama banget. Gimana gue bertahan tanpa Bibik?
Situasi ini mungkin akan terus canggung, tapi di saat yang sama, ada sedikit kehangatan yang perlahan mulai tumbuh di antara kecanggungan mereka. Rafael sesekali melirik jam dinding, berharap waktu berlalu lebih cepat, atau ada sesuatu yang bisa memecah keheningan aneh ini. Namun, sebelum dia sempat memikirkan lebih jauh, bel pintu tiba-tiba berbunyi.
Rafael langsung bangkit dari sofa. “Aku bukain, Pa,” ujarnya singkat sambil bergegas menuju pintu.
Ketika dia membuka pintu, yang muncul di hadapannya adalah Tristan, dengan senyuman lebar dan wajah ceria seperti biasa. “Raf! Gimana kabar lo?” sapanya, langsung melangkah masuk tanpa menunggu undangan.
Rafael mengangkat alis, sedikit terkejut dengan kedatangan mendadak Tristan. “Ngapain lo tiba-tiba datang?” tanyanya, meski dalam hatinya merasa lega melihat sahabatnya ini.
“Ada deh. Gue mau nginep, boleh, kan?” Tristan menjawab dengan nada sok asyik sambil melihat sekeliling rumah, seolah-olah dia sudah sering ke sana.
Rafael tertawa kecil, merasa sedikit lebih santai dengan kehadiran Tristan. “Nginep? Ya udah, masuk aja dulu.”
Mereka berdua masuk ke ruang tamu, dan tak lama kemudian Adrian muncul dari ruang tengah. Dia tersenyum melihat Tristan. “Oh, Tristan. Kamu mau nginep di sini ya?”
Tristan mengangguk antusias. “Iya, Om. Kalau boleh.”
Adrian mengangguk, terlihat senang dengan kedatangan Tristan. “Boleh, tentu. Sekalian aja kita makan bareng. Om pesenin makanan ya?”
Mata Tristan langsung berbinar. “Boleh banget, Om! Kebetulan dari rumah belum makan, nih.”
Rafael yang mendengar itu langsung meledek. “Ah, dasar lo, Tris. Datang-datang mau nginep, sekarang numpang makan.”
Tristan hanya tertawa sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Yah, namanya juga tamu, harus diservis dong!”
Adrian ikut tertawa, suasana yang tadinya canggung pun terasa lebih ringan. “Oke, kalau gitu Om pesenin sekarang, ya. Kamu mau makan apa?”
Tristan tersenyum santai. “Apa aja boleh, Om. Saya mah yang penting makan.”
Adrian tertawa kecil, mengangguk sambil mengambil ponselnya untuk memesan makanan. Tapi tiba-tiba, Tristan menambahkan dengan nada yang jauh lebih serius, “Tapi kalau bisa, Om... ayam bakar boleh tuh, terus sate juga enak sih. Eh, kalau ada, tongseng sapi boleh juga. Sama jangan lupa bakwan jagung, hehe…”
Rafael langsung menatap Tristan, nyaris melongo. “Tadi katanya apa aja, loh. Sekarang lo nyebutin menu segambreng gitu.”
Tristan cengengesan, mengangkat kedua tangannya seolah tidak bersalah. “Yah, kan Om yang nawarin. Gue cuma ngasih saran aja. Gak mungkin dong nolak rezeki?”
Adrian tertawa, melihat betapa spesifiknya permintaan Tristan. “Oke, Om catat semuanya. Jangan kaget ya kalau besok berat badan kamu naik lima kilo.”
Rafael ikut tertawa sambil menggeleng. “Dasar lo, Tris. Nginep satu malam aja udah kayak mau pindah rumah.”
Suasana pun semakin cair, dan obrolan mereka menjadi lebih hangat dan penuh tawa.