"Pergilah sejauh mungkin dan lupakan bahwa kau pernah melahirkan anak untuk suamiku!"
Arumi tidak pernah menyangka bahwa saudara kembarnya sendiri tega menjebaknya. Dia dipaksa menggantikan Yuna di malam pertama pernikahan dan menjalani perannya selama satu tahun demi memberi pewaris untuk keluarga Alvaro.
Malang, setelah melahirkan seorang pewaris, dia malah diusir dan diasingkan begitu saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Ibunya, dan Aku Berhak Atas Anakku!
Langkah Arumi terhenti sejenak di depan sebuah rumah sederhana. Pandangannya menyapu ke sekitar. Rumah tua yang satu tahun lalu ia tinggalkan itu kini tampak tak terawat dan dipenuhi sawang. Dedaunan kering berserakan di depan pintu. Hanya ada beberapa barang-barang tua yang belum sempat dibuang.
"Apa ibu sakit lagi sampai tidak sempat membersihkan rumah?" gumam Arumi sedikit heran.
Setahunya, sang ibu adalah seseorang yang selalu memelihara kebersihan. Meskipun rumah mereka kecil dan sederhana, ibu tidak pernah membiarkannya dalam keadaan kotor dan berdebu.
Arumi mempercepat langkah menuju pintu. Beberapa kali ia mengetuk sembari memanggil sang ibu. Namun, tak ada jawaban dari dalam sana.
"Hey, Arumi. Kau sudah pulang?" Sapaan itu berhasil mengalihkan perhatian Arumi. Ia membalikkan tubuhnya untuk melihat sosok di belakang. Ada Nenek Marina, tetangga lama mereka.
"Nenek, apa kabar? Lama tidak bertemu." Arumi langsung memeluk wanita renta itu. Dulu Nenek Marina kerap membantu mereka saat dalam kesulitan. Terutama saat Arumi menjalani masa-masa sulit selama ibunya didera sakit yang cukup serius.
"Kau dari mana saja selama ini? Kenapa tiba-tiba menghilang tanpa kabar?" Ia menatap Arumi dari ujung kaki ke ujung kepala. Arumi yang sekarang sangat jauh berbeda dari Arumi sebelum pergi dulu. Lebih cantik dan berpakaian bagus.
"Aku ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, Nenek," jawabnya. "Oh ya, kenapa di dalam sepertinya tidak ada orang? Ke mana ibuku?"
Dahi keriput Nenek marina berkerut dalam. Raut wajahnya menggambarkan ekspresi terkejut sekaligus bingung.
"Ibumu? Apa kau belum tahu?"
Seketika tubuh Arumi menegang. Senyum tipis yang tadi menghiasi bibirnya perlahan menghilang. Dari raut wajah dan juga ucapan ambigu Nenek Marina seolah menjelaskan bahwa sesuatu yang tidak beres telah terjadi.
"Tidak tahu tentang apa, Nenek?"
"Ibumu 'kan sudah meninggal hampir satu tahun lalu. Dia tidak bisa bertahan di rumah sakit."
Untuk beberapa saat waktu seakan terhenti bagi Arumi. Ia mematung di tempat dan merasakan lemas mulai menjalar di sekujur tubuhnya. Kenyataan pahit yang ia dengar itu memaksa sepasang bola mata indahnya melelehkan cairan bening.
Arumi mencoba untuk tidak menelan mentah-mentah ucapan yang baru didengarnya. Sepenuh hatinya berharap Nenek Marina hanya sedang bergurau.
"Apa maksud nenek? Sebelum pulang ke sini Yuna bilang ibuku baik-baik saja!"
Sudut mata sayu Nenek Marina berkerut. Dengan tubuhnya yang renta, ia berusaha memegangi Arumi yang seperti akan ambruk.
"Ibumu memang sudah meninggal, Arumi. Tapi kenapa Yuna berkata dia baik-baik saja? Padahal dia ada saat di pemakaman ibumu."
Detik itu juga Arumi merasakan sesak mengepung dadanya. Belum kering luka hatinya atas perpisahan dengan Rafli dan Aika, Yuna—saudara kembarnya yang jahat itu kembali menggoreskan luka baru dengan menipunya.
Selama satu tahun ini, Yuna menutup akses Arumi untuk berkomunikasi dengan ibunya. Sehingga Arumi tidak tahu persis bagaimana perkembangan kesehatan sang ibu. Yang ia tahu, sebelum berpisah dengan Yuna, ia berkata bahwa ibu mereka baik-baik saja.
"Kenapa Yuna membohongiku selama ini? Dia bilang padaku ibu kami baik-baik saja," lirih Arumi.
"Bersabarlah, Nak! Mungkin ini sudah jalan untuk ibumu. Ayo, kita berdoa saja untuknya."
Arumi merasa seluruh kekuatannya tercabut dari tubuhnya akibat rasa sakit yang menghantam bertubi-tubi. Mendadak segalanya terasa berputar dalam pandangannya. Lalu gelap mulai menyelimuti, hingga tubuhnya harus ambruk.
Arumi tak sadarkan diri lagi.
...*...
...*...
...*...
Arumi belum dapat membendung luapan air mata di depan pusara sang ibu. Hampir satu jam ia menangis tanpa henti. Menyesali segala hal yang terjadi kepadanya selama satu tahun ini.
Demi menyelamatkan nyawa ibunya-lah sehingga ia rela menjadi seorang ibu pengganti. Nyatanya, Yuna telah menipunya dengan begitu keji dan bodohnya Arumi percaya begitu saja.
"Maafkan aku, Bu. Seharusnya aku menemani Ibu di saat-saat terakhir."
Arumi masih larut dalam tangis saat Nenek Marina mengusap bahunya. Wanita renta itu masih setia menemani dan enggan meninggalkannya seorang diri.
"Tenanglah, Arumi. Setidaknya ibumu tidak merasa sakit lagi. Dia sudah tenang sekarang."
Berusaha meredam tangis, Arumi merasa ucapan Nenek Marina ada benarnya. Ibunya tidak perlu lagi tersiksa dengan rasa sakit yang selama ini menyiksanya. Arumi melihat sendiri betapa ibunya menderita di setiap harinya.
Dalam hitungan menit, Arumi telah mampu mengurai kesedihannya. Perlahan tangisnya mereda.
"Oh ya, aku menemukan surat ini di dalam lemari ibumu. Setelah pemakaman, aku membersihkan rumah kalian. Mungkin ini surat penting," ucap Nenek Marina.
Arumi lantas meraih sepucuk surat tersebut dan membukanya. Sepasang mata sembabnya kembali melelehkan cairan bening saat membaca kata demi kata yang tertulis di sana.
Betapa tidak, surat itu berisi lamaran yang berasal dari keluarga Alvaro yang sebenarnya ditujukan untuk dirinya, bukan untuk Yuna.
"Yuna sudah membohongi semua orang. Bukan dia yang dijodohkan dengan Rafli, tapi aku."
Arumi mengusap kedua sisi pipinya yang basah oleh air mata.
"Aku harus memberitahu Rafli tentang ini. Aku yang melahirkan Aika dan aku berhak atas anakku."
****