Kinan hanyalah gadis biasa, dirinya mengadu nasib pergi ke kota bersama temannya setelah mendapatkan informasi kalau ada yang membutuhkan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga, demi kebutuhan dan juga ingin mengurangi beban keluarga Kinan akhirnya pergi ke kota jakarta, Di sana Kinan harus berhadapan dengan Daniel pria tampan yang bahkan tidak pernah terpikirkan dalam hidupnya. Mampukah Kinan bertahan di jakarta atau memilih pulang dan melanjutkan sekolah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon II, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertengkaran Kami
Jam 9 lagi, Kinan mengemas bajunya yang akan di bawa ke Bandung, Daniel duduk di sofa ruang tamu bersama pak Danu yang hanya diam tanpa kata menunggu Pak Yanto.
Bu Anis masuk ke kamar Kinan membuat Kinan terkejut.
"Ma," panggil Kinan lirih melihat bagaimana sang mama datang dengan derai air mata.
"Neng." Bu Anis segera memeluk Kinan begitu erat.
Kinan tersedu, merasa bahagia karena Mama nya terlihat mulai menerima kenyataan pahit itu.
"Maafin Neng, Ma, Neng minta maaf."
"Ya Allah Neng, kenapa jadi begini."
Ibu dan anak itu saling berpelukan, Kinan meminta maaf terus menerus, Bu Anis mengangguk dan berusaha menerima walaupun hatinya masih merasa berat. Tapi dirinya percaya Kinan adalah korban bukan wanita yang akan merelakan diri kepada laki-laki terlebih kepada Daniel sepupu bosnya.
"Neng jaga diri di sana, jangan membantah apa kata mertua Neng," pesan Bu Anis sembari melepaskan pelukan Kinan.
Kinan menggelengkan kepala. "Neng ga mau pergi ma, Neng mau di sini aja sama mama, sama bapak dan adik-adik. Neng ga mau pergi," pinta Kinan sembari terisak.
Kepala Bu Anis menggeleng."Ga ada pilihan Neng, kalau Neng di sini, orang kampung pasti akan membicarakan tentang semua ini," kata Bu Anis mengingatkan Kinan bahwa semua ini akan menjadi malapetaka dan bahan gunjingan tetangga.
"Neng ga perduli ma, neng mau di sini sama mama." Kinan kekeh dan terus merengek.
"Neng sayang kan sama Mama, bapak?"
Kinan mengangguk.
"Kalau begitu, Neng ikut suami Neng, Mama mau Neng pergi dari kampung ini. Mama ga mau Neng jadi bahan omongan orang kampung."
Daniel yang ada di ambang pintu kamar menghentikan langkah kakinya yang siap masuk ke dalam. Pak Yanto sudah datang menjemput. Daniel berniat menjemput Kinan tapi ada ibu mertuanya di sana, Daniel terpaku mendengar pembicaraan keduanya.
Karena ku, ibu dan anak ini harus berpisah.
Gumam Daniel penuh sesal, melihat bagaimana keluarga Kinan membuat hatinya semakin hancur.
"Kinan, Pak Yanto udah datang." Ucap Daniel pelan lalu berlalu pergi.
.
Para tetangga diam-diam memperhatikan dari jauh. Berbisik dan tertawa yang tak bisa di artikan Daniel. Dirinya hanya melirik sesaat dan memilih untuk acuh.
Di ambang pintu Daniel menunggu Kinan yang enggan melepas pelukan ibunya. Pak Danu yang ada di sana hanya diam, tadi ketika Kinan dan Daniel pamit laki-laki itu hanya merespon dengan datar, rasanya sulit untuk memberi maaf atas apa yang sudah terjadi.
Pak Yanto menunggu di ambang pintu mobil. Bunda Tata dan kedua orangtua Daniel tidak ikut menjemput karena keadaan tidak memungkinkan, pagi hari kampung Babakan Tasik sudah di guyur hujan, Sinta juga menunggu di vila alih-alih menjemput Kinan, dirinya tak kuasa melihat adegan yang saat ini tengah berlangsung. Melepas Kinan untuk kembali ke kota. Tapi kali ini tidak seperti sebelumnya, Kinan sekarang sudah menikah dan pasti tidak akan leluasa pulang untuk bertemu keluarga.
"Kinan, Ayo." Daniel segera menarik Kinan dan melangkah pergi. Sambil terisak Kinan berjalan menjauhi kedua orangtuanya.
"Kami permisi, assalamualaikum." Pamit Daniel.
"Waalaikumsalam," sahut Bu Anis dan pak Danu.
"Mari Den," Pak Yanto membuka pintu mobil, Daniel masuk dengan menarik Kinan.
Pak Danu dan Bu Anis melihat kepergian mobil yang membawa Kinan dengan air mata dan hati yang jelas terluka.
"Neng, Maafin Bapak," Pak Danu yang sedari kemarin tangguh kini menjadi lemah. Apalagi mobil yang membawa Kinan sudah menghilang dari pandangan.
Laki-laki matang itu terisak lalu berlari dan masuk kedalam rumah di ikut Bu Anis.
.
Di dalam mobil tak ada obrolan hangat, yang terdengar hanya suara mesin mobil dan rintikan hujan di luar yang semakin lebat.
Kinan duduk di samping Daniel yang diam membisu, sembari menatap jendela mobil yang basah dengan air hujan. Daniel meratapi nasibnya yang sekarang sudah menjadi seorang suami.
Sementara itu Kinan menunduk dengan masih terisak. Mendengar itu Daniel menoleh menatap Kinan sejenak.
"Apa kamu ga lelah dari tadi nangis terus? Semua sudah terjadi Kinan, aku juga sama ga mau ada di posisi ini, kamu tau? impianku masih banyak yang belum aku gapai. Keinginan ku untuk menikah dengan -
Daniel tercekat, Tidak melanjutkan ucapannya yang sama sekali tidak di gubris Kinan.
"Udahlah, percuma ngomong sama kamu." Daniel acuh dan kembali menatap kaca mobil.
Pak Yanto yang tengah mengemudi fokus menatap jalan berusaha tidak mendengar apa yang terjadi di bangku belakang. Dirinya hanya supir bukan siapa-siapa. Kesunyian terus berlanjut sampai mobil tiba di vila.
.
Bandung....
Satu Minggu telah berlalu..
Kinan yang sudah menjadi istri Daniel harus tinggal di kediaman Bu Tari. Beruntung mertuanya itu baik dan mulai menerima dirinya. Walaupun Kinan masih menutup diri. Kinan merasa malu dan sungkan kepada kedua orang tua Daniel. Kebaikan dan perhatian mereka belum bisa membuka hati Kinan.
Daniel sendiri sibuk dengan urusannya sebagai pengusaha, Daniel mempunyai restoran seafood dan restoran Sunda. Kedua usahanya itu sudah ia rintis dari dua tahun terkahir ini. Berbeda dengan sang ayah yang mempunyai perusahaan besar dan sukses, Daniel memilih untuk merintis usahanya sendiri. Pak Teo meminta Daniel untuk mengurus perusahaan Tapi Daniel menolak dengan alasan takut tidak bisa membawa perubahan, yang ada akan membuatnya pailit. Terlebih sang ayah masih terbilang masih sanggup untuk mengurus perusahaan.
Daniel sebagai owner tidak lalai. Sesekali Daniel datang ke restoran untuk mengecek kondisi restoran. Setiap harinya Daniel hanya melakukan itu. Seperti sekarang dirinya duduk di ruangannya, begitu fokus memeriksa data di layar laptop.
Rahangnya yang tajam begitu asik bergerak. Mengimbangi otaknya yang sibuk berpikir.
"Alhamdulillah, semua aman." Kata Daniel, menyunggingkan senyuman, merasakan lega karena usahanya mulai membuahkan hasil. Pelanggan terus berdatangan. Kedua restorannya sukses besar.
Daniel lantas tidak berpuas diri, kedua restorannya harus bisa lebih sukses lagi. Untuk itu dirinya seperti memikirkan sesuatu.
"Aku harus membuka cabang lagi, tapi di kota mana?"
.
Sore tiba, Kinan menutup jendela kamar dan menarik gorden, dirinya sudah mandi dan terlihat cantik dengan baju yang sekarang berbandrol mahal. Kinan gadis desa yang mana bajunya hanya di angka puluh ribuan, sekarang baju-baju yang di milikinya berharga ratusan. Bu Tari begitu apik membelikan keperluan Kinan menantunya itu. Kinan awalnya menolak amat keras. Tapi kedua mertuanya memaksa amat keras, beralasan kalau Kinan sudah menjadi bagian keluarga Baskara, tidak mungkin memakai pakaian sederhana apalagi murah.
"Kamu harus menyesuaikan diri mulai hari ini," Ucap Bu Tari kala dirinya pertama kali menginjakkan kaki di rumah besar itu.
Kinan menatap setiap inci kamar Daniel yang luas, kamar mandinya saja lebih besar dari kamar tidurnya di kampung. Sungguh perbedaan yang sangat jauh. Seharusnya Kinan senang bisa tinggal di rumah besar, mempunyai kamar bagus lagi mewah, pakaian mahal dan apapun yang dirinya inginkan bisa terpenuhi. Akan tetapi hatinya menolak. Rasanya berat ada di posisi sekarang.
Diam-diam Kinan menunduk, menatap perutnya yang rata.
"Usia ku baru 17 tahun, tapi aku sudah hamil, bagaimana aku melanjutkan hidup setelah semua ini terjadi?"
Kinan berbicara sendiri. Meminta sang buah hati mengerti dengan kondisinya saat ini.
Aku masih terlalu muda untuk mempunyai anak.
Di tengah pergulatan batin. Pintu kamar terbuka di susul tubuh sang suami menyembul membuat Kinan bangkit dari tepi ranjang.
"Assalamualaikum." Daniel masuk dan menutup pintu.
"Waalaikumsalam," sahut Kinan.
Daniel menenteng paper bag berukuran sedang, meletakkannya di atas meja, setelah duduk di sofa yang menghadap jendela.
"Aku bawain rujak, katanya kalau orang Hamil suka yang asem, manis kecut." terang Daniel bangga. Tadi arah pulang Daniel berhenti ketika melihat kedai yang menjual rujak, mengingat Kinan, Daniel masuk dan memesan dalam jumlah sedang. Kalau Kinan suka nanti bisa beli lagi.
Kinan masih diam di tempatnya, satu Minggu terakhir mereka memang satu kamar, tapi ranjang hanya milik Daniel, Kinan enggan satu ranjang dengannya. Melihat Daniel rasa trauma masih ada begitu membekas dan menyiksa.
Seharusnya pria ini di penjara dan di kurung dengan waktu yang amat lama. Tapi kekuasaan dan ketidak tahuan kedua orangtuanya membuat Daniel masih melenggang bebas. Kinan yang menjadi korban malah terjebak, itu yang membuat Kinan Masih menutup diri, boleh saja mereka menyebut dirinya tidak tau diri, di nikahi Daniel sebagai rasa tanggung jawab malah di sia-siakan.
"Tidak terimakasih." Tolak Kinan.
Daniel yang mendengar itu menghela napas panjang. "Kamu maunya apa sih? Aku udah beliin ini capek-capek bukannya di hargain."
"Kenapa beli, aku ga minta."
Daniel bangkit lalu menghampiri Kinan dengan wajah ketus.
Kinan melangkah mundur, tapi Daniel menarik tangan Kinan.
"Aku tanya, kamu maunya apa? Satu Minggu ini kamu selalu seperti ini, berubah dong, kamu harus terima semua ini, kalau boleh jujur, aku ga mau perduli sama kamu."
"Ya udah jangan, jangan perduli aku ga butuh."
Daniel mengangguk. "Ok, aku ga akan lagi peduli. Mau kamu mati juga aku ga perduli, asal kamu tau aku udah bertanggung jawab. keluarga aku udah Nerima kamu, bunda sama ayah bahkan baik sama kamu, aku mau satu ranjang sama kamu, tapi apa? Kamu yang ga mau dan malah tidur di sofa, mau sampai kapan Kinan? Kita sekarang itu suami istri. Suka ga suka kita suami istri, lupain yang udah terjadi,"
"Maaf, maaf, kamu belum meminta maaf sama aku, aku benci kamu, aku benci." Kinan bersuara lantang, berlari masuk ke kamar mandi setelahnya meninggalkan Daniel yang mematung.
"Maaf, cuma itu?"