Adinda Khairunnisa gadis cantik yang ceria, yang tinggal hanya berdua dengan sang ayah, saat melahirkan Adinda sang bunda pendarahan hebat, dan tidak mampu bertahan, dia kembali kepada sang khaliq, tanpa bisa melihat putri cantiknya.
Semenjak Bundanya tiada, Adinda di besarkan seorang diri oleh sang ayah, ayahnya tidak ingin lagi menikah, katanya hanya ingin berkumpul di alam sana bersama bundanya nanti.
Saat ulang tahun Adinda yang ke 17th dan bertepatan dengan kelulusan Adinda, ayahnya ikut menyusul sang bunda, membuat dunia Adinda hancur saat itu juga.
Yang makin membuat Adinda hancur, sahabat yang sangat dia sayangi dari kecil tega menikung Adinda dari belakang, dia berselingkuh dengan kekasih Adinda.
Sejak saat itu Adinda menjadi gadis yang pendiam dan tidak terlalu percaya sama orang.
Bagaimana kisahnya, yukkk.. baca kisah selanjutnya, jangan lupa kasih like komen dan vote ya, klau kasih bintang jangan satu dua ya, kasih bintang lima, biar ratingnya bagus😁🙏🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon devi oktavia_10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Adinda dan teman temannya ikut kerumah Rini untuk mengambil barang barang keluarga Rini, untuk di bawa pindah kerumah Adinda, pak Arman menuntun jalan dari depan, maklum selama ini Adinda belum pernah datang kerumah Rini.
Saat sampai di rumah Rini, Adinda menatap miris melihat barang barang di rumah Rini, dan pakaian mereka mungkin bagi Adinda baju itu hanya akan di jadikan kain lap, namun buat keluarga Rini itu adalah pakain yang sangat bearti, Adinda memang sering memberi bantuan, namun tidak pernah datang kerumah ini, baru hari ini dia melihat lansung, sungguh ada sesal bagi Adinda tidak pernah datang kerumah sahabatnya itu.
"Di tinggal aja semuanya pak, ambil yang penting penting saja, dan pakaian itu ngak usah di bawa." ujar Adinda.
"Tapi Din, klau ngak di bawa, mereka mau pakaian apa?" bingung Rini.
"Kita beli pakaian baru, maaf, aku ngak tau akan separah ini Rin, aku menyesal ngak pernah datang kerumah kamu." sesal Adinda.
"Din." Rini tercekat tak bisa melanjutkan kata kata lagi, terbuat dari apa hati sahabatnya itu, kenapa harus membantu semaksimal ini, sungguh dia merasa tidak enak hati.
"Nak, ngak usah." ujar Ibu Fatma.
"Tidak apa bu, jangan menolak rezeki, ayo kita pergi, keburu sore." ujar Adinda yang tidak mau di tolak.
"Terimakasih nak, tapi bapak ngak mau di kasih, itung hutang ya, nanti bapak cicil." ujar Pak Arman, sungguh dia tidak enak hati kepada sahabat anaknya itu.
"Iya, terserah bapak, mau utang, apalah, yang penting, aku ngak pernah bilang itu utang ya pak." ujar Adinda.
Mereka keluar dari dalam rumah pak Arman, dan menaiki mabil Adinda.
"Wiihhhj.... mau kemana nih orang miskin." ejek tetangga Pak Arman.
"Mau pindah bu." ujar Bu Fatma.
"Mau pindah kemana? ke kolong jembatan ya." cibir ibu ibu di sana.
"Bagus deh, pada pindah dari sini, biar mata kita ngak sakit melihat kalian."
"Hooh, biar kita ngak ketularan miskin kaya kalian."
"Astagfirullah, jahat banget mulut ibu ibu, emang ada orang yang ingin hidup miskin, ngak ada bu, seandainya ibu yang ada di posisi mereka, apa ibu ngak sedih di hina seperti itu." ujar Adinda kesal, kenapa ada orang seperti itu, mengolok ngolok kemiskinan orang lain.
"Walau mereka miskin, apa mereka pernah minta sama kalian, kenapa mulut kalian jahat banget sih, kaya juga belum bu, tapi mulut ibu sudah jahat, semoga aja ibu abis ini pada miskin, biar tau rasa!" pekik Lusi tidak terima temannya di hina.
"Eehhh... Anak kecil, ngak usah sok sok nyimpahin orang, ngak di ajarin sopan santun ya sama orang tuanya." cibir ibu ibu itu.
"Ibu yang ngak punya sopan santun, heran saya, pada sekolah ngak sih dulu, apa ibu sekolah cuma sampai gerbang doang." kesal Sita.
"Tau tuh, pas pembagian otak, mereka pada absen, makannya sekarang ngak punya otak." sarkas Lusi.
"Sudah nak, ngak usah di ladenin, ayo. Kita pergi." lerai pak Arman, kalau di ladeni orang orang di sana, yang ada tidak akan pernah selesai, mulut mereka barokah semua.
Mereka naik ke dalam mobil, dan pak Arman kembali memacu motornya mengikuti mobil Adinda dari belakang.
"Apa mereka setiap hari seperti itu ya Rin?" tanya Adinda.
"Iya, klau ngak ngebuli kita, hidup mereka ngak senang, di tambah aku kan sekolah di sekolah unggulan, anak mereka ngak terima di sekolah kita, jadi makin kesal mereka sama kami, di tambah hasutan dari bibi aku." ujar Rini.
Yang lain hanya bisa geleng geleng kepala mendengar ucapan Rini itu.
"Kita mau ke mall apa ke pasar?" tanya Lusi, dia yang menjadi sopir, jadi dia butuh arahan, takut salah jalan kan bisa berabe, mutar balik bakal lama lagi waktu terbuang.
"Ke mall aja, biar Rini bisa main dulu di wahana permainan." ujar Adinda.
"Benaran kak, aku boleh main di wahana?" girang Rina.
"Hmmm... Benar, abang juga boleh ikut main sama Rina." ujar Adinda.
"Iya kak, makasih." girang Roni, dia pikir cuma adiknya saja yang di izinkan bermain di wahana bermain, dia kan juga ingin seperti teman temannya.
"Iya, tapi. Kita beli kebutuhan kalian dulu, baru main." ujar Adinda.
"Siap komandan!" pekik dua adik kakak itu.
Sampai di mall tersebut, membuat Roni dan Rina terbengong bengong, karena mereka baru kali pertama datang ke sini.
"Ya ampun bang, keren banget ya, ada tangga berjalannya, itu apa lagi tuh, ada kotak kaca yang bisa naik turun." bisik Rina menatap takjub eskalator dan lift.
"Tangga berjalan itu namnya, eskalator dodol, dan yang kotak kaca itu namanya Lift." omel Roni, adiknya itu malu maluin aja klau ngomong."
"Iya iya, itu maksudnya." kekeh Rina.
Adinda dan ke dua sahabatnya terkekeh mendengar perdebatan adik kakak itu, sementara Rini jadi malu sendiri melihat kelakuan adik adiknya.
Bersambung....