Saat acara perayaan desa, Julia justru mendapati malam yang kelam; seorang lelaki asing datang melecehkannya. Akibat kejadian itu ia harus mengandung benih dari seseorang yang tak dikenal, Ibu Asri yang malu karena Julia telah melakukan hubungan di luar nikah akhirnya membuang bayi itu ke sungai begitu ia lahir.
3 tahun kemudian, dia pergi ke kota untuk bekerja. Namun, seorang pria kaya mendatanginya untuk menjadi pengasuh anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13 - Keluarga Palsu
Ku teguk air mineral di meja, kali ini sampai penghabisan karena aku harus segera mempersiapkan segala sesuatu untuk segera pulang. Sudah jam satu siang, dan sebelumnya Pak Bima sudah mengabari ku kalau dia dan Lily sudah di jalan.
Pak Bima tadi memang sudah pulang duluan, karena cuma punya satu jam pelajaran.
Baru hendak bangkit dari kursi, seseorang mengetuk pintu depan. Aku tak mau ambil pusing jadi langsung menuju ke depan ruangan untuk membukakan pintu.
"Maaf, aku ke sini tiba-tiba. Mbak Jul sudah selesai shift kerjanya kan?" Rupanya Mas Andrean. "Nih, ketinggalan di luar."
Dia datang dengan mata berbinar-binar dan wajah malu-malu, membawakan ember yang ada di depan ruangan. Dia tersenyum, astaga ... malunya aku karena terlihat sekali lalai dan ceroboh. Tapi, untung ada Mas Andrean, kalau tidak aku bisa dimarahi kepala Janitor.
Dia menatapku dengan cara setengah menyelidik, mungkin agar aku menangkap isyarat dalam hatinya. isyarat yang paling murni dari seluruh ekspresi jiwa manusia.
"Terima kasih Mas Andre, saya tadi cepat-cepat buatkan kopi untuk Bapak Dekan, jadi kelupaan dengan ember pel. Maaf ya, jadi merepotkan Mas Andre begini." Kataku sambil menyunggingkan senyum sopan.
Jawaban itu menimbulkan gelombang tawa dari Mas Andrean, "Nah, nah benar-benar sudah capek. Kerjanya kebanyakan nih."
Saat Mas Andrean tertawa, aku menyadari bahwa dia memang se-baik itu. Suaranya yang lembut, halus sekali masuk di telingaku. Dia, memang mirip dengan Kak Jafar di kampung ku dulu, kebaikan hati dan kebesaran jiwa yang mereka miliki... menyatu begitu harmonis dalam diri mereka masing-masing.
"Tapi hebat loh, kamu masih muda tapi pandai kerja, ya?! tidak banyak gadis seumuran kamu bisa berperan baik cari uang dan mandiri seperti kamu, Mbak Jul."
"Tidak sehebat itu kok, Mas." sahutku menyela. "Namanya juga tertekan kebutuhan, Mas. Ibu di kampung sudah tua, tidak kuat lagi kerja di ladang. Jadi ya mau tidak mau kita yang gantian kerja keras." Aku tersenyum simpul dengan ekspresi malu-malu.
"Oh, ya? Nah kan, selain calon ibu yang baik, ternyata kamu juga benar-benar anak yang berbakti. Sudah cantik, mandiri, kerja keras, sederhana, aduh idaman deh Mbak Jul. Bangga aku tuh." Ucap Mas Andre ramah, memuji-muji ku sambil menaikkan sedikit bahunya. "Karena hari ini Mbak Julia sudah kerja keras, aku mau kasih hadiah ah. Ku traktir makan siang ya?"
Rupanya dia melihat sikapku yang gugup. Tapi, yang lebih mengejutkan, dia malah menawarkan hadiah, bentuk apresiasi agar aku tidak berasa lemah karena banyak kekurangan.
"Aduh Mas, bagaimana ya ... "
"Sudahlah, Mbak. Jangan malu-malu begitu. Kita kan sudah kenal lama. Jadi, santai saja."
"Bukan begitu, Mas. Tapi saya mau langsung pulang mengasuh anak."
"Makan siang sebentar, Mbak. Masa tidak diizinkan?!" Mas Andrean menaikkan nada bicaranya, berpura-pura marah.
"Tapi saya makan siangnya sama majikan, Mas. Tadi majikan saya sudah kabari duluan kalau makan siang bertiga sama anaknya."
Mas Andrean lantas mengernyit, dan tidak lama tiba-tiba tertawa kecil.
"Kenapa Mas?"
"Tidak, tidak." Katanya sambil menggosok matanya pelan. "Cuma serius majikan ngajak makan siang sama-sama? Wah, Mbak Julia mau dijadikan obat nyamuk tuh."
"Obat nyamuk?"
"Iya, Majikan Mbak tuh mau makan berdua-duaan, pasti gak mau ribet momong anak. Nah, Mbak Julia dan anak mereka jadi obat nyamuk."
Aku sempat diam sejenak, seketika aku mendapat kesan bahwa ucapan Mas Andrean mulai kejauhan soal pekerjaanku. Mengapa? dia itu berbicara dengan nada manis dan manja, seolah dia memang sedang bercanda, dan dia mulai terkekeh, padahal senyatanya tidak sedikit pun tersirat gurauan dan aku tidak nyaman sekalipun ucapannya benar adanya.
"Majikan saya tidak punya istri, Mas." Jawabku singkat.
"Oh," senyum Mas Andrean langsung hilang. "Duda ya?"
"Bukan kok, Mas."
"Lah terus apa?"
"Julia ..."
Aku lantas menoleh dan melihat ke luar pintu saat seseorang datang memanggilku. Suara bariton berat yang menggema namun sangat berwibawa, aku kenal jelas siapa pemiliknya.
"Pak Bima?" Sahutku.
Begitu mempersilahkannya masuk, aku segera mengajak Pak Bima ke tengah ruangan, tepatnya di meja besar tempat kami para petugas kebersihan bersantai. Aku tahu, Pak Bima mungkin sudah mengenal dengan baik setiap penjuru ruangan di Universitas ini, dan segera mengenalinya saat masuk. Tapi, dia sangat menghormati ku dengan terus mengikuti langkahku dari belakang.
"Lily mana?"
"Lagi buang bungkus permen."
"Loh kok dibiarkan sendirian sih Pak?" Aku cepat-cepat meletakkan air minum untuk Pak Bima biar bisa langsung menyusul Lily di luar, entahlah aku masih trauma rasanya. "Nanti hilang lagi, Pak."
"Tidak. Tenang saja." Jawabnya.
Setelah menjawab pertanyaan ku, Pak Bima mengalihkan pandangannya. Sorot matanya yang tajam dan dalam mendarat pada sosok Mas Andrean yang duduk di seberangnya.
"Terus kamu kenapa belum pulang?"
"Mau ajak Mbak Julia makan, Pak." Mas Andrean dengan tanpa ragu membalas tatapan itu. "Pak Bima sendiri, bukannya sudah pulang tadi pagi. Kenapa ke sini lagi?"
"Sama," balas Pak Bima sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. "Mau jemput Julia sekalian makan siang."
Begitulah Pak Bima menjelaskan kedatangannya ke sini. Aku sempat memperhatikan ekspresi Mas Andrean yang langsung berubah, seperti banyak pertanyaan yang hendak dia lontarkan pada kami berdua sekarang.
"Saya tidak tahu kalau Pak Bima dan Mbak Julia ternyata saling kenal." Timpal Mas Andrean sambil tersenyum. "Bahkan kelihatannya sangat dekat, ya."
"Ah, Mas. Jangan salah paham ..." Aku menyela. "Pak Bima ini majikan yang tadi saya bilang itu, Mas."
"Oh astaga!" Tanpa sadar Mas Andrean menepuk jidatnya. "Ternyata Pak Bima toh, majikan baru Mbak Julia."
"Maaf-maaf, Pak. Saya hampir lupa, padahal baru juga Mbak Julia bilang mau makan siang sama Majikan dan anak asuhnya."
Pak Bima diam saja, tidak membalas Mas Andrean. Dia cuma menyilangkan tangan di depan dada sambil sesekali melihatku.
"Mas, maaf ya. Saya belum bisa terima ajakan Mas Andrean sekarang. Tapi, saya benar-benar berterima kasih."
"Tidak masalah Mbak, aku malah berterima kasih karena Mbak Julia begitu baik menjelaskannya kepada ku. Nanti kita bisa makan siang lain kali, kok."
Aku mengagumi kebaikan Mas Andrean yang mau memaklumi penolakan ku. Dia menampakkan kedekatannya yang sudah terjalin sangat baik dan dekat dengan kurun waktu yang sangat lama denganku. Akan tetapi, sekalipun begitu... aku tetap tahu, yang namanya ditolak ya jelas tidak enak.
"Nanti biar saya kabari lagi, ya Mas."
"Tapi jangan terlalu dipikirkan, ya Mbak. Tidak apa-apa kok. Kamu kerja dulu saja yang fokus, Mbak. Nanti kalau free baru gitu." Jawab Mas Andrean agak gugup, aku menyadari dia merasa canggung dengan tindakannya sendiri. Terlebih saat ini dihadapannya ada profesor yang menjadi dosennya.
"Ya sudah kalau begitu aku pulang duluan, ya Mbak Julia. Pak Bima, maaf saya duluan ya, Pak."
Aku mengangguk untuk mengiyakan.
Tak lama setelah itu, tepat saat Mas Andrean sampai di bibir Pintu. Dia terdiam agak lama, hanya berdiri mematung sambil memegang gagang pintu, aku menyipitkan mata untuk memastikan.
"Mama .... "
Oh, Lily datang. Sepertinya dia sudah menunggu dari tadi. Cuma tidak bisa masuk, karena pintu tertutup.
"I-itu anak siapa ya? Tiba-tiba ada di depan pintu?" ucap Mas Andrean dengan nada lambat tanpa sedikit pun seringai seperti tadi.
Pak Bima tersenyum ke arahnya, "Anak saya. Kenapa?"
"Kok panggil Mbak Julia 'Mama'? Bukannya cuma pengasu---" tanyanya lagi dengan Ekspresi yang masygul.
"Karena ini Mama-nya Lily." Lily menyela di atas gendongan Pak Bima.
Mas Andrean yang tadinya bersikap sangat ramah, tiba-tiba langsung menutup diri dan mengabaikan kami bertiga. Sesudah Lily yang menjawab pertanyaannya, tangannya gemetar seraya menarik kembali gagang pintu dan keluar.
"Salah paham tidak ya?" Aku menggumam sambil menggaruk kulit kepala.
Kami pun pulang bertiga, Pak Bima menggendong Lily di depan dadanya. Sementara aku berjalan tepat di sebelah mereka.
lanjut kak uchi
bgmn skrg perasaan ibu Julia melihat cucu kandung nya yg dulu dibuang dan skrg dalam keadaan sakit ?
imajinasi penokohannya jd brubah arah /Smirk//Applaud/