Satu persatu teror datang mengancam keselamatan Gio dan istri keduanya, Mona. Teror itu juga menyasar Alita, seorang anak yang tidak tahu apa-apa. Konon, pernikahan kedua Gio menjadi puncak kengerian yang terjadi di rumah mewah milik Miranda, istri pertama Gio.
“Apakah pernikahan kedua identik dengan keresahan?”
Ada keresahan yang tidak bisa disembuhkan lagi, terus membaji dalam jiwa Miranda dan menjadi dendam kesumat.
Mati kah mereka sebagai tumbal kemewahan keluarga Condro Wongso yang terus menerus merenggut bahagia? Miranda dan Arik kuncinya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Kutukan Istri Pertama ¹⁴
Bel berbunyi nyaring. Alangkah terkejutnya Bibi Darmi yang sedang mengeluarkan nasi dari magic jar.
“Kiriman Non Mira sudah datang itu.” Wajahnya mengisyaratkan kelegaan, dan dengan segera dia pergi ke halaman rumah untuk membuka pintu gerbang.
Mobil bak terbuka dan satu mobil katering memasuki halaman. Senyum-senyum Bibi Marni menyambut mereka.
Ada lima orang yang ditugaskan Miranda, semuanya lelaki dan mereka tidak menduga jika pesanan yang amat nyentrik itu untuk diberikan kepada suami dan selingkuhannya.
“Pokoknya saya minta kalian mengerjakan permintaan Non Mira tanpa menyebut namanya ya.” Bibi Darmi menasihati dengan pelan.
“Takutnya nanti ketahuan Mas Gio, ini katanya suprise.” Jari telunjuknya berada di depan mulut dengan sorot mata was-was.
Peringatan darurat itu sudah di tambal dengan bayaran dua kali lipat dari harga normal oleh Miranda. Tiga pegawai gorden dan wallpaper dinding itu tahu dan segera menurunkan tangga bambu setinggi empat meter yang dibawa dengan susah payah ke tempat yang disebutkan Bibi Darmi.
“Saya buatkan kopi dulu.” Bibi Darmi beralih ke pegawai katering spesial aqiqah. “Mas... mari ikut saya masuk ke dapur.”
Sambil membawa hidangan dalam baki dan ditutupi tudung stainless, dua orang pria berpakaian koki mengikutinya melewati dinding-dinding yang dipenuhi lukisan-lukisan kaya warna koleksi Miranda.
Pintu terpentang, meja makan besar dengan sepuluh kursi itu tampak seperti candle light dinner. Lilin-lilin merah belum menyala, buah-buahan segar tertata, tapi satu baskom jadul itu mengusik tatapan sang koki seolah merusak estetika meja makan.
“Ini juga perintah Non mira.” ucap Bibi Darmi seolah mengerti tatapan aneh itu, langkahnya mendekat ke koki. “Non Mira pesan makanan apa?” tanyanya penasaran.
“Gulai kepala kambing dan balado torpedo.”
Mulut Bibi Darmi hampir ternganga, tapi secepat mungkin dia berusaha tersenyum.
“Ya sudah, taruh saja di meja! Terus pulang, hati-hati. Slalu berdoa di jalan.”
Selalu berdoa di jalan adalah pengingat untuk melindungi diri dari marabahaya. Baik bahaya berkendara dan bahaya tak kasat mata yang di pasang oleh orang-orang licik yang mencari tumbal secara abstrak.
“Ingat pesan simbah, doa!”
Dua koki muda tersebut mengangguk saja seraya pergi dari rumah Miranda, meninggalkan kesibukan para pegawai gorden yang menyita atensi Gio.
Pria itu keluar kamar dengan langkah amat pelan.
“Mona barusan tidur, Bi. Apa mereka nggak bisa kerjanya nggak berisik?” ucapnya ketus. Lelah membuatnya sensitif, belum lagi pekerjaan yang bertumpukan membuatnya stres berat.
“Aku butuh istirahat! Kasih tau mereka, tunda dulu atau kerja pelan-pelan.”
Belum juga Bibi Darmi meresponnya, Gio sudah melenggang kembali ke kamar. Bersanding lagi dengan Mona di ranjang bersama pikiran yang menderanya bertubi-tubi dalam lamunan panjang seolah langit-langit kamar tak ubahnya layar pembuat dongeng yang melenakan.
Gio tak keruan. Selama hidupnya yang mujur seperti desingan peluru, baru kali ini kewibawaan dan ketampanannya tak berharga.
-
Gio keluar kamar sembari memapah Mona. Keduanya terlihat segar dan wangi setelah mandi di penghujung sore yang lebih baik dari sebelumnya. Tidur mereka yang nyenyak melepas beban sejenak.
Bibi Darmi tersenyum, menyambut mereka di tengah perasaan gusar yang tiada henti. Gulai kepala kambing dan balado torpedo itu agaknya bukan panganan yang pas untuk sejoli itu sekarang—dia belum menemukan alasan kenapa harus makanan itu. Tapi bagaimana pun pilihan Miranda dengan harga istimewa itu ialah hak istri pertama yang kecewa.
“Makanan sudah siap, Pak. Terus Bibi izin keluar sebentar, cari gas, sudah habis.”
Gio mengangguk sambil menarik kursi. “Uang bulanan masih?”
“Masih banyak, Pak!” Bibi Darmi buru-buru pamit pergi ke dapur, bohong dia, gas belum habis, dia hanya ingin kabur dari rumah sementara waktu. Tak kuat mental mungkin beliau ini melihat Gio dan Mona membuka tudung stainless itu dan terkejut melihat isinya.
Mona memiringkan kepala. Tertatih-tatih Bibi Darmi mengangkat gas biru keluar dari ruang makan.
“Mau bantu Bibi kamu?” celetuk Gio.
Mona memalingkan wajah dan menatapnya. “Kenapa gak telepon penjualnya biar diantar ke rumah? Berat itu gasnya.”
Pemikiran itu dengan gampang Gio pahami, Mona yang biasa membeli produk secara online atau via wa dengan alasan praktis dan tidak capek jelas berbeda dengan Bibi Darmi yang serba guna.
“Nggak perlu mikirin Bibi Darmi, duduk kamu.”
Mona mengangguk, wajahnya tenang dan matanya penuh pemahaman. Meskipun begitu, ada sesuatu yang tersemat begitu cepat di sana. Lilin-lilin merah yang baru saja Gio nyalakan membuatnya menutupi wajahnya. Tubuhnya merinding.
Gio meliriknya. “Kamu kenapa?”
“Aku takut... Aku takut.”
“Takut apa?” Gio cepat-cepat meniup seluruh lilin merah yang ia nyalakan. Cara yang tepat untuk memperkecil stress yang meningkat. “Ini cuma api, Mona. Nggak perlu berlebihan lah. Udah mati ini, buka matamu.”
Mona geleng-geleng kepala. Dalam benaknya, api itu seperti mata si kambing kurus yang menyala-nyala semalam. Begitu merah dan seram.
Gio membelai rambutnya dengan tekun, membujuk Mona agar tenang sementara dirinya sudah tak tahan dengan aroma sedap yang muncul dari balik tudung stainless.
“Percaya sama aku, segalanya yang kamu lihat itu cuma halusinasi Mona, bohongan, dokter bilang kamu kebanyakan obat jadi efeknya ke mana-mana!”
Mona Alexandria merasa semua sangat rumit, tapi saat ini rupanya sentuhan Gio menjadi prioritas dalam benaknya.
“Apinya hilang? Tidak ada?”
Gio mencium puncak kepalanya seolah pertemuannya dengan Miranda semalam tidak ada maknanya, termasuk ucapan permintaan maaf Miranda.
“Buka matanya.” bujuk Gio mesra.
Dari cara mengatakannya, tak ada keraguan bagi Mona untuk membuka matanya perlahan-lahan. Dia tersenyum lemas sambil memandangi Gio.
Lilin-lilin itu sudah mati meski berikutnya mereka menderita juga. Tudung saja dibuka, Gio mendelik tajam dan buru-buru mengambil baskom kosong untuk memuntahkan isi perutnya. Tanduk kambing dan kuah gulai yang berwarna merah langsung membuat tidak nyaman. Rasa mual begitu dahsyat di tubuhnya.
Gio meludah, ada sensasi ketakutan dan amarah di wajahnya atas semua yang terjadi di waktu itu, sementara Mona nyaris kejang-kejang dengan bibir berkedut gemetar menyaksikan gulai kepala kambing itu bukan halusinasi. Kepala kambing itu nyata, menjijikkan. Amat menjijikkan sampai-sampai dia tergesa-gesa berdiri dan gegas menjauh dari meja sampai terjatuh di lantai.
“DARMI!” Gio menyambar semua yang ada di meja dengan berang. Bunyi kelontong-klontang dari baki stainless dan tutupnya begitu meriah setelah membentur lantai.
Bibi Darmi menoleh ke belakang, suara itu seperti alarm. Pertanda eksekusinya berhasil. Dia meninggalkan gas biru di halaman rumah seraya tergopoh-gopoh keluar rumah. Cari aman, begitu pesan Miranda selagi pembalasannya sedang di mulai.
“Bibi Aman?”
Bibi Darmi buru-buru menjelaskan meski napasnya masih ngos-ngosan. “Aman, Non. Aman. Ayo cepetan pergi dari sini.”
Miranda menoleh ke belakang, memandangi rumahnya sambil tersenyum jenaka.
“Aku sudah memasang pagar gaib, mereka tidak bisa keluar!”
-
next
👍 great...
menegangkan, seru
say Miranda
duh punya berondong manise disanding terus, alibi jadi sekretaris pribadi nih...
next
jgn2 miranda jd tumbl bpknya sndri. krn thu miranda sdg skit hati.