Pernikahan adalah sebuah impian bagi semua orang, termasuk Zahra. Namun, pernikahan yang bahagia kini rusak akibat kehadiran orang ketiga. Evan selaku suami, mulai membandingkan Zahra dengan gadis lain.
Suatu hari dia memutuskan untuk menjalin hubungan hingga tidak memperdulikan hati Zahra. Akankah pernikahan mereka mampu diselamatkan? Ataukah Zahra harus merelakan suaminya bersama dengan wanita lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom AL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14 Merasa nyaman
Tiga bulan kemudian, Zahra merasa sedikit aneh dengan perubahan sikap suaminya. Pria itu semakin sering pulang tengah malam dengan alasan lembur. Padahal, Zahra sudah bertanya pada salah satu karyawan dan karyawannya itu mengatakan jika Evan pulang seperti biasanya. Tidak ada lembur atau lain sebagainya.
Malam ini tepat pukul sebelas malam, Zahra mondar mandir di dalam kamar menunggu kedatangan suaminya. Hingga beberapa menit kemudian, suara deru mobil membuat Zahra menyibakkan tirai jendela dan dia tersenyum lebar karena orang yang dia tunggu-tunggu akhirnya tiba di rumah.
Zahra bergegas keluar dari kamar, dia berlari kecil menuju ruang tamu untuk menyambut suaminya. Namun, langkah Zahra terhenti ketika dia melihat Evan yang pulang dengan seseorang.
"Mas?" panggil Zahra pelan seakan tak bersuara. Hatinya merasa sesak karena Evan di papah oleh Anna, adik tiri Zahra sendiri.
"Ada apa dengan Mas Evan, Anna?"
"Kenapa kau malah banyak bertanya? Lebih baik kau bantu aku untuk mengantar mas Evan ke kamarnya." Anna berkata dengan nada ketus.
Zahra mengangguk dan dia membantu memapah Evan menuju kamar. Aroma alkohol sangat menyengat hingga tercium di hidung milik Zahra.
Saat Anna ingin keluar dari kamar, Zahra menghentikan langkah gadis itu.
"Dari mana kalian berdua? Apa yang sudah kau lakukan pada suamiku?"
Anna tersenyum sinis, dia menatap Zahra dari atas hingga bawah. "Kakak, besok jika suamimu sudah bangun, kau bisa tanyakan sendiri padanya." gadis itu pergi tanpa rasa bersalah.
Zahra menatap kepergian Anna, dia kemudian mengalihkan padangan ke arah ranjang.
"Apa yang sudah kau lakukan di belakangku, Mas?" gumam Zahra bersedih. Dia berjalan ke ranjang, membuka sepatu Evan dan menyelimuti tubuh suaminya itu.
Selesai melakukan tugasnya, Zahra berniat untuk meletakkan benda itu di rak sepatu. Namun, langkahnya terhenti saat Evan bergumam memanggil nama Anna. Zahra menggigit bibir bawahnya, gadis itu terlihat bingung.
"Ya Tuhan, kuatkan aku. Sebaiknya aku tidur dan besok aku akan menanyakan pada Mas Evan tentang hal ini." Zahra meletakkan sepatu Evan di rak, lalu dia berjalan menuju ranjang dan berbaring di samping suaminya.
Zahra menatap wajah Evan, betapa sakit hatinya mengingat gumaman Evan tadi. Wanita itu bergegas memejamkan mata.
*
*
Keesokan paginya, Zahra terbangun dan dia melihat Evan yang masih terjaga dalam tidurnya. Ada rasa kasihan, sedih, marah, bercampur aduk di dalam hatinya. Zahra menyentuh wajah Evan, pria yang sudah menemani harinya selama beberapa bulan ini. Pria yang selalu membuatnya bahagia tetapi tidak untuk belakangan ini.
Tidak ingin bersedih, Zahra pun dengan cepat pergi ke kamar mandi. Dia akan menyiapkan sarapan untuk Evan, karena sudah tidak lama membuatkannya sebab Zahra terlalu sibuk mengurus perusahaan.
Beberapa menit kemudian, Zahra yang baru saja selesai mandi mendapat telepon.
"Apa tidak bisa di undur?" tanyanya pada seseorang di seberang sana.
"Tapi—" Zahra menatap ke arah ranjang, dia mulai bingung harus melakukan apa.
"Baiklah, aku akan sampai 10 menit lagi disana."
Panggilan pun terputus, Zahra menggenggam ponselnya dan dia berjalan mendekati Evan. Tangannya terulur untuk membangunkan pria itu.
"Mas? Mas Evan bangun," Zahra menggoyangkan tubuh Evan dan berhasil membangunkan pria itu.
"Zahra?"
Zahra yang merasa Evan memanggil namanya pun hanya mampu tersenyum manis.
"Kepalaku sangat berat dan terasa pusing." ucap Evan saat dia sudah duduk.
"Apa kau ingin libur pergi ke kantor? Kesehatan lebih penting, Mas."
"Tidak! Aku akan segera mandi, setelah itu pasti terasa segar kembali."
Zahra ingin menyiapkan air mandi untuk Evan, tetapi ponselnya kembali berdering. Wanita tersebut bingung, dia mengabaikan ponselnya yang berdering berulangkali.
Beberapa menit.
"Mas, airnya sudah siap. Kau bisa langsung mandi."
"Terima kasih, Zahra."
"Em, Mas? Aku, aku ingin pamit untuk pergi ke kantor. Maaf, aku tidak sempat membuatkan sarapan karena tiba-tiba ada meeting penting pagi ini. Dan ada pertemuan juga beberapa menit lagi."
"Pergilah, Zahra. Aku sudah terbiasa melakukan semuanya sendirian."
"Mas, kenapa kau—"
"Ini masih pagi, Zahra. Jangan mengajakku berdebat. Jika kau ingin pergi, maka pergilah! Tidak perlu mengkhawatirkan aku," ucap Evan yang berbicara tanpa menatap Zahra.
"Tunggu, Mas! Aku ingin bertanya, tadi malam kau dan Anna dari mana?"
"Bukan urusanmu!" Evan kembali melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.
"Tapi aku ini istrimu, Mas. Aku berhak tau semua yang kau lakukan diluaran sana!"
Evan menghela napas kesal, dia membalikkan badannya dan menatap Zahra dengan tajam.
"Apa pun yang aku lakukan, itu semua karenamu!" Evan menunjuk wajah Zahra. "Kau paham?" pria itu masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu dengan keras hingga membuat Zahra terlonjak kaget. Wanita itu menghapus air mata yang menetes.
"Mas, maafkan aku. Aku tidak mungkin melepaskan tanggungjawab tentang perusahaan yang sudah papaku bangun mulai dari nol ini. Mama juga pasti akan kecewa jika melihat aku lebih mengutamakan pekerjaan dibanding suamiku, tapi apa yang bisa aku lakukan? Keduanya sama sama penting di dalam hidupku." Zahra merasa serba salah.
Jessica yaitu sang Mama, telah tiada satu bulan yang lalu. Dan di sanalah Zahra fokus ke perusahaan karena sang Mama menyerahkan tanggungjawab perusahaan itu padanya. Tidak ada tangan kanan, maka dari itu Zahra sangat bingung. Sementara Anna, Zahra tidak mungkin memberikan tanggungjawab sebesar ini pada Anna untuk mengurus perusahaan papanya. Entah mengapa Zahra tidak bisa mempercayai gadis itu.
Saat sedang berkhayal, tiba-tiba ponsel Zahra kembali berbunyi. Dia dengan cepat menjawab dan tenyata telepon dari sang sekretaris.
"Iya-iya, aku akan segera tiba. Katakan pada Tuan Rayden untuk menungguku sebentar."
Panggilan pun terputus, Zahra mengambil tasnya dan keluar dari kamar. Meskipun pikirannya sedang kacau, tetapi Zahra tetap berusaha bersikap profesional dalam bekerja.
Di perjalanan, Evan terus saja membayangkan tentang rumah tangganya. Dia memukul stir kemudi lalu mengambil ponselnya. Terlihat pria itu menghubungi seseorang.
"Bisa kita bertemu sekarang?"
Seketika senyum Evan pun terbit saat mendapatkan jawaban dari seberang sana. Setelah panggilan terputus, dia melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi.
"Untung saja ada dia, jika tidak, entah bagaimana nasibku. Sepertinya aku sudah mulai mencintai dia." Evan tersenyum sendiri
Bersambung