Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Murid laki-laki yang Halim tahu sebagai murid kelas XI-3 itu tidak lama berada di sana. Dia pergi meninggalkan Medina dengan motornya.
Halim semakin penasaran. Tangannya sudah siap untuk mengetik di room chat dia dengan Medina. Tapi Halim mengurungkan niatnya.
‘Ah! Aku lupa! Memang aku siapanya Medina?’
Halim menghela nafas dengan sedikit bumbu kesedihan. Dia terbuai dengan perasaan cinta, tapi melupakan statusnya yang bukan siapa-siapanya Medina.
Dia cemburu. Ya! Halim cemburu. Tapi mengingat dia dan Medina bukan sepasang kekasih ataupun suami istri, membuat Halim harus menahan rasa. Yang begitu mampu membuat dada sedikit merasa sesak.
Halim kembali melirik Medina dari kaca spion. Ternyata gadis itu sudah duduk di atas motor Nona. Motor itu melaju pelan melewati Halim.
Tin! Nona mengklakson Halim. Halim spontan menoleh. Matanya hanya terfokus pada Medina yang duduk menyamping dan tersenyum padanya.
Halim tersenyum lebar dari balik helm yang kacanya dia buka itu.
Halim buru-buru bilang hati-hati melalui chat WhatsApp. Setelah itu, dia juga agak terburu memasukkan hp ke kantung celananya. Dia berniat ingin mengejar Medina.
Ternyata Nona membawa motornya pelan sekali. Halim yang sudah ada di belakang mereka, langsung sibuk memandangi Medina yang sesekali bercengkerama dengan Nona yang sedang menyetir.
Entah hal apa yang mereka bahas, hingga Medina tertawa dengan lepas.
Halim tersenyum sendu. Perasaan untuk memiliki Medina semakin kuat saja rasanya.
“Me, kayaknya Pak Halim ngekorin kita ‘deh.”
“Ah, masa ‘sih?”
“Cie, cie! Segitunya dia suka sama elu, Me.”
“Ada-ada aja elu ‘ah. Pak Halim mungkin 1 arah sama kita.”
Nona memutar bola matanya-malas. “Ah elah, Me. Elu mau sampai kapan ‘sih nyangkal kalau Pak Halim memang suka sama elu? Elu pun pasti suka juga ‘kan sama dia?”
Medina diam sejenak. Entahlah. Dia pun tidak mengerti dengan hatinya. Prinsipnya, kalau laki-laki itu bukan siapa-siapanya, dia tidak akan menanggapi. Walaupun sejujurnya, rasa suka pada Halim sudah mulai hinggap di hati Medina.
“Elu ‘kan tahu, Na. Gue gak akan tanggapi orang yang bukan siapa-siapanya gue. Lu pasti paham maksud gue.”
Nona manggut-manggut. “Iya! Iya! Gue paham maksud elu, Me.”
“Gue Cuma takut, Na. Lu tahu ‘kan jaman sekarang gimana. Gue takut sakit hati. Gue juga takut dimanfaatin doang. Ah! Gak perlu gue jelasin panjang kali lebar sama elu, Na. Elu pasti ngerti.”
“Iya, Me. Itu juga ‘sih yang buat gue takut untuk pacaran. Ya, walaupun gak ada yang ngajakin gue pacaran. Hahaha.”
.....**.....
Halim tidak lagi mengikuti mereka berdua, karena Halim sudah sampai duluan di rumahnya.
Setelah turun dari motornya, Halim langsung masuk rumah dan secepatnya pergi mandi.
Hari ini, cuaca begitu terik. Membuat badan Halim terasa lengket.
Sehabis mandi, tak lama kumandang adzan ashar terdengar. Halim langsung menunaikan kewajibannya sebagai hamba.
“Ya Allah, restui apa yang menjadi niat hamba.”
Halim mengusapkan kedua tangannya ke wajah. Dia kemudian bangkit untuk melipat sajadah dan meletakkannya di atas meja.
Halim lalu duduk di sofa dan mencoba mendial nomor Mamanya. Tak lama, telponnya diangkat oleh sang Mama.
📱“Assalamu’alaikum, Ma. Mama sehat?”
📱“Wa’alaikumsalam. Sehat, sayang. Ada apa? Kok sepertinya lagi galau?”
Halim terkekeh. Entah kenapa Mamanya langsung bisa membaca situasi hatinya. Padahal dia belum ada bilang apa-apa.
📱“Eh, itu, Ma. Halim suka sama seseorang.”
📱“Eh, iya, kah? Alhamdulillah. Siapa dia, Nak?”
📱“Orang, Ma.”
📱“Astoge! Ya iya lah orang, masa Wewe gombel?”
📱“Hahaha. Namanya Medina, Ma. Dia anak murid Halim di sekolah.”
📱“What? Are you serious? Dia kelas berapa?”
📱“Masih kelas XI ‘sih, Ma.”
📱“Nanggung banget, sayang. Apa gak tunggu dia tamat aja?”
Halim mendengus.
📱 “Halim gak sabar kalau nunggu dia tamat sekolah, Ma. Lagi pula, apa Mama mau Halim patah hati lagi?”
📱“Loh! Loh! Memangnya kenapa? Apa banyak yang suka sama dia?”
📱“Egh, iya, Ma. Karena penampilan dia berbeda dari yang lain. Cara berpakaian dia, mirip sama Mama dan Habibah.”
📱“Masya Allah, Masya Allah. Ya udah, Nak. Nanti kamu kirim fotonya, ya? Biar Mama bicarakan sama Papa.”
Mendengar Mamanya menyebut kata Papa, membuat air muka Halim berubah.
📱“Untuk apa dia tahu, Ma? Apapun pilihan Halim, pasti dia gak akan suka.”
Mama Aisyah menghela nafas.
📱 “Ya udah, Nak? Mama pulang dulu nanti ke Indonesia, baru kita ‘ngeresek’, ya?”
Halim tersenyum lega.
📱“Terima kasih, Ma. Terima kasih sudah mengerti apa mau Halim.”
📱“Sama-sama, sayang. Paling nanti Habibah duluan yang akan ke rumah kamu. Nanti Mama kabarin, ya? Assalamu’alaikum.”
📱“Wa’alaikumsalam.”
Halim mengklik akun WhatsApp Medina. Dia men-screenshot foto profil Medina dan mengirimkannya pada Mama Aisyah.
Tak lama Mama Aisyah membalas dengan kata yang membuat senyum Halim semakin mengembang dengan sempurna.
“Alhamdulillah. Mama aja yang sesama perempuan mengakui kalau dia cantik. Pilihanku gak salah.”
Panggilan masuk berbunyi. Tertera nama ‘Habibah cerewet’ di layar hp. Halim langsung mengangkat telepon dari Adik perempuan satu-satunya itu.
📱“Assalammu’alaikum, Bang! Bang, kata Mama Abang mau nikah, ya? Nikah sama murid Abang sendiri? Masa Kakak ipar aku lebih kecil dari aku ‘sih?”
Bolak balik mulut Halim terbuka hendak menjawab pertanyaan Habibah. Belum lagi menjawab, pertanyaan lain langsung Habibah luncurkan lagi.
📱“Wa’alaikumsalam! Gak habis nafas kamu ngomong kayak jet?”
📱“Jet! Jet! Jet! Jet! Jeeeeet! Hahaha. Aku serius nanya nih, Bang? Abang betul mau nikah?”
📱“Ekhem, iya gak, ya?”
📱“Bang Haliiiim!”
Halim sontak menjauhkan hp-nya. Dia merasa kasihan dengan gendang telinganya yang sudah berdengung karena lengkingan suara Habibah.
📱“Dek! Gak usah teriak bisa?”
Cekikikan Habibah terdengar di seberang telepon.
📱 “Nanti kalau aku ada libur kuliah, aku ke rumah Abang, ya? Mama juga bilang gitu tadi. Nanti kenalin aku sama calon Kakak ipar, ya?”
Halim terkekeh. “Iya! Iya! Cerewet banget jadi orang! Heran!”
📱“Iihh diamlah, Bang! Udah lah, aku tutup dulu, ya? Assalamu’alaikum.”
📱“Wa’alaikumsalam.”
Panggilan berakhir. Dia tersenyum menatap wallpaper layar hp-nya. Wallpaper itu berupa foto Halim dan Habibah dengan gaya lucu.
Halim beranjak dari duduknya. Dia mengambil jaket dan kunci motor di gantungan dekat pintu. Rencananya, dia akan pergi untuk melihat cafe-cafe miliknya.
........*****........
“Nona? Kamu di sini?”
Nona yang baru saja membayar minuman Boba yang dia pesan, tersentak kaget. Dia segera menoleh dan lebih terkejut lagi ketika Halim berdiri di hadapannya. Note dengan jarak ya, ges.
“Eh, iya, Pak.”
Halim celingak-celinguk. “Kamu sendirian? Medina gak ikut?”
“Gak, Pak. Medi gak pernah keluar kalau udah sore-sore begini. Saya permisi dulu, ya, Pak?”
Halim mengangguk sekilas.
Nona berjalan melewati Halim dengan tubuh sedikit membungkuk. Dia ‘kan anak yang sopan. Plus cantik lagi. Tapi sayang sekali, tidak ada yang mau sama dia. Hahaha, ingin ku teriak! Ingin ku menangis! Nona kelabakan sendiri dengan isi hatinya.
“Nona!”
Nona langsung mendadak berhenti. Dia memutar badan menghadap Halim. “Iya, Pak?”
“Bisa saya bicara sebentar?”
Nona tersenyum smirk. ‘Eseh! Mau bahas Medi pasti ‘nih! Baiklah! Akan gue bahas tentang kebaikan dia! Bahkan, akan gue lebih-lebihkan! Hihi.’
........*****........
Note : Kalau udah mampir baca, harap segera di like ya. Biar Penulis semakin semangat menulis cerita ini.