Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Membeli rumah baru
Pada akhirnya, Arjuna sudah memutuskan untuk membeli sebuah rumah di kawasan yang dekat dengan perusahaan Bagaskara. Kebetulan juga, perumahan itu baru saja di bangun di area lapang dan dekat dengan jalan raya. Sangat pas untuk dirinya yang harus bolak-balik ke kantor tanpa mengalami kendala macet parah.
Rumah yang saat ini dihuni bersama mama, adik, dan istri-istrinya berada dekat pemukiman warga. Jadi, kebanyakan jalan yang dilalui merupakan jalan yang lebarnya paling tiga meteran. Terlalu mepet ketika berpapasan dengan mobil lainnya.
Nadya dan Nara ikut serta melihat kondisi rumah di sana. Kebanyakan yang membeli rumah di perumahan tersebut merupakan warga negara asing. Jadi, mereka tidak perlu pusing dengan omongan tetangga.
"Apa ini tidak terlalu besar, Mas?" tanya Nara sambil memandangi rumah berlantai dua yang lumayan luas. Ada lahan untuk anak-anak bermain serta taman kecil di sudut halaman.
"Tidak. Aku harap setelah ini kalian bisa menjalin keakraban yang lebih baik lagi," jawab Arjuna dengan mata yang fokus menelisik sekeliling.
Nara dan Nadya saling lempar pandang. Hanya lima detik kemudian saling membuang muka lagi.
"Masuk yuk! Kita harus melihat ruangan-ruangannya. Kalau kalian cocok, akan Mas bayar langsung," ajak Arjuna memilih berjalan lebih dulu.
Mungkin, ketika dirinya hanya bersama Nara, dengan senang hati akan melingkarkan tangan pada pinggang istrinya, lalu mengajaknya berjalan memasuki rumah. Namun, ada perasaan Nadya yang harus Arjuna jaga.
Tidak mungkin juga Arjuna menggandeng keduanya. Walaupun Nara dan Nadya adalah istrinya, tetap saja Arjuna tidak nyaman bila melakukannya.
Ketiganya pun mengelilingi setiap ruangan untuk melihat bagaimana isi dari rumah mewah nan besar tersebut. Sejauh ini, Nara menyukai rumah tersebut. "Bagus sih, Mas. Aku ikut Mas saja," ucap Nara ketika dimintai pendapat oleh suaminya.
"Kalau kamu, Nad?"
"Aku ikut saja, Mas," jawab Nadya juga menyetujui.
"Oke. Semua sudah sepakat ya?" Pertanyaan tersebut membuat Nara dan Nadya mengangguk bersamaan.
"Aku akan beli kalau begitu. Di sini ada sekitar lima kamar dengan satu kamar untuk asisten rumah tangga. Setelah rumah ini ditinggali, akan ada yang bekerja di sini nantinya untuk membantu tugas kalian."
...----------------...
Hari ini merupakan hari terakhir jatah Nara bersama Arjuna. Mungkin tinggal beberapa jam lagi karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Nara yang baru selesai membaca Al-Quran, menatap suaminya yang masih bertahan di atas sajadah.
"Ada yang ingin kamu bicarakan?" Tiba-tiba saja Arjuna menoleh dan melontarkan pertanyaan tersebut.
Nara membuka matanya lebar. Cukup terkejut karena suaminya itu sadar bila sedang ditatap. "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Kalau Mas belum selesai, lanjutkan saja. Aku bisa menunggu," jawab Nara sambil mengulas senyumnya.
Arjuna menggeleng kemudian bangkit dari sajadah yang menjadi alas duduknya tadi. "Mas sudah selesai. Kenapa? Mengapa wajah kamu tampak tidak bersemangat?" tanya Arjuna seakan paham dengan isi hati Nara saat ini.
Nara terkekeh pelan. "Sangat kentara ya, Mas?"
"Kita sudah bersama-sama selama lima tahun. Bagaimana mungkin Mas tidak memahami istri Mas sendiri. Hanya melihat wajah kamu saja, Mas tahu apa yang sedang kamu pikirkan," jelas Arjuna yang segera mendapat pukulan pelan di lengan.
"Gombal!"
"Mas bersungguh-sungguh Nara. Saat kamu sedang sedih, marah, bahkan bahagia sekalipun, Mas tahu dari raut wajah kamu."
Nara mengangguk-anggukan kepala, memutuskan untuk mengakhiri perdebatan. "Besok sore Mas akan berangkat ke Bali. Jika diizinkan, aku ingin main ke rumah ayah. Sudah lama juga aku tidak mengunjungi ayah," ucap Nara lembut.
Arjuna terdiam menatap Nara lekat. "Kenapa harus besok? Kenapa tidak kemarin waktu jatah kamu tiba? Mas jadi tidak bisa mengantarkan kamu ke sana," cecar Arjuna mendadak murung.
Nara terkekeh pelan. "Sengaja, Mas. Agar nanti ketika kamu sedang bulan madu bersama Nadya, aku memiliki kesibukan untuk mengalihkan pikiran. Mas tahu sendiri rumah ayah dekat dengan perkebunan teh. Itu bisa membuat hatiku lebih tenang," jelas Nara mengatakan alasannya.
"Maaf ya, Ra. Mas harus membagi raga Mas dengan istri Mas yang lain. Maaf atas janji yang pernah Mas katakan, nyatanya Mas tidak bisa menjadikan kamu satu-satunya," sesal Arjuna menunduk dalam.
Helaan napas kasar pun terdengar. Sekuat apapun Nara mencoba untuk menjalani kehidupan, nyatanya masih ada sakit setiap masalah Nadya di singgung. Untuk saat ini, Nara belum benar-benar rela berbagi. Namun, entah kapanpun itu pasti ada waktunya Nara terbiasa.
"Aku hanya ingin kamu tetap adil. Boleh tidak sih Mas kalau aku meminta kamu untuk tidak jatuh cinta pada Nadya? Aku ingin egois setidaknya hanya itu yang aku punya. Karena kenyataannya, aku tidak bisa menjadi perempuan yang sempurna. Salah satunya, aku belum memiliki anak," ucap Nara mencoba menekan sesak yang tiba-tiba menghantam dadanya.
Mulut Arjuna sudah terbuka untuk menjawab pertanyaan Nara. Namun, suara azan berhasil mengalihkan perhatian Arjuna juga Nara.
"Kenapa, Mas? Berat yah kalau tidak jatuh cinta?" cecar Nara lagi dengan mata yang berkaca-kaca. Sangat berbanding terbalik dengan bibirnya yang mengulas senyum kepedihan.
"Bukan begitu, Ra. Aku—"
"Sudahlah, Mas. Aku tidak ingin mendengar apapun lagi. Ada tidaknya aku suatu saat nanti, mungkin sudah tidak penting lagi bagi Mas. Sebaiknya kita segera melakukan sholat. Kali ini aku ingin sholat sendirian, Mas," ucap Nara lalu segera beranjak menuju sajadah nya yang masih tergelar sempurna.
Nara juga tidak habis pikir dengan kata hatinya yang tiba-tiba meluap. Dia ketakutan akan hal tersebut. Ketakutan akan kehilangan Arjuna sepenuhnya. Padahal, apapun yang berada di dunia sifatnya hanya sementara.
Nara mencoba untuk tidak mengambil pusing karena setiap merasa memiliki pasti akan merasa kehilangan. Padahal, semua itu hanya titipan.
"Astagfirullah. Ampuni aku Ya Allah," gumam Nara lalu segera mendirikan sholat.
Arjuna masih bertahan dengan duduk di sisi ranjang. Dia mengamati Nara dan mencerna setiap ucapan yang dikatakan istri pertamanya itu. Jatuh cinta? Mungkinkah manusia bisa jatuh cinta kepada dua manusia sekaligus? Rasanya tidak mungkin.
Sampai saat ini, hanya Nara yang mampu menggetarkan jiwanya. Namun, Arjuna tentu mengetahui jika Tuhannya Maha membolak-balikan hati. Dia tidak akan tahu sesuatu di masa depan yang belum terjadi.
Namun satu yang bisa Arjuna pastikan, rasa sayang dan rasa hormatnya pada Nara tidak akan pernah hilang. Dia tetap menjadi wanita nomor satu di hatinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...mampir kesini juga yuk 👇👇...