Pagi di hari pernikahannya, Arnita mendapati dirinya tak hanya tidur sendiri. Karena di kamarnya yang sudah dihias khas kamar seorang pengantin, ada seorang pria yang sampai mendekapnya dan juga sama-sama tak berbusana layaknya dirinya. Lebih fatalnya lagi, Pria itu bukan Juan—calon suami Arnita, melainkan Restu yang tak lain suami dari Azelia, sahabat Arnita!
Arnita dan Restu dinikahkan secara paksa. Keduanya tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan apalagi membela diri walau keduanya yakin, mereka korban. Lebih parahnya lagi, Azelia yang meminta Restu menikahi sahabatnya itu, malah berniat balas dendam kepada Arnita. Tak kalah menyakitkan, Juan—calon suami Arnita justru memilih melanjutkan pernikahan dengan Sita—adik tiri Arnita, di hari itu juga.
Tepat ketika Arnita mengetahui dirinya hamil, Azelia yang memergoki malah mengusirnya, memaksanya pergi dari kehidupan Restu untuk selama-lamanya. Namun siapa sangka, lima tahun berlalu, Arnita yang sudah melahirkan seorang putra bernama Devano, kembali bertemu dengan Restu dalam keadaan mereka yang sudah berbeda. Restu merupakan CEO baru di perusahaan fashion Arnita bernaung.
Restu langsung tertarik kepada Devano, terlebih Restu yakin, bocah itu darah dagingnya. Demi Davano, Restu dan Arnita sepakat memperbaiki pernikahan mereka. Namun, benarkah pernikahan mereka murni demi Devano, padahal rasa ingin memiliki terus saja hadir, membuat Arnita apalagi Restu tidak bisa menahan lagi?
🌿🌿🌿
Lalu, bagaimana dengan kisah mereka? Ikuti kisahnya di novel ini. Jangan lupa subscribe, like, komentar, sama votenya, ya! Follow juga IG aku di : Rositi92 ❤
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14 : Sidang Dan Keadilan (Bagian 2)
Pak Maman selaku bapak Arnita, meminta semuanya bahwa mereka akan menyelesaikan perkara yang ada secara kekeluargaan. Namun dengan tegas Arnita menolak. Termasuk juga dengan Juan yang langsung menjatuhkan talak kepada Sita.
“Kamu diem dulu!” kesal Arnita kepada Juan yang duduk di hadapannya. Juan duduk di sebelah sang bapak. “Biarkan aku selesein kasusku dulu, satu-satu. Urusanmu dan Sita, kamu urus secara pribadi saja. Toh, kamu juga yang kemarin langsung pilih Sita kemudian langsung menikahinya. Bukan Sita atau pihak lain yang meminta ke kamu! Jadi laki-laki yang punya pendirian dikit kenapa? Kayak enggak punya harga diri blas!”
Tidak ada yang menegur apalagi melawan pada apa yang Arnita lakukan barusan. Semuanya kompak diam termasuk pak kades yang sampai menahan sebelah tangan Juan, membimbing pria itu untuk tetap duduk tenang dan tak jadi berdiri.
Sadar semuanya sudah siap kembali menyimak, Arnita berkata, “Mulai detik ini juga, saya ingin nama baik saya dan Mas Restu kembali walau ini tidak mungkin sepenuhnya terjadi apalagi untuk saya. Namun terlepas dari semuanya, saya juga memohon, tolong bantu saya agar Juan berhenti meneror saya!”
“Meneror bagaimana? Aku tulus sayang ke kamu, Nit!” protes Juan tidak terima, membuat sang bapak makin erat menahan sebelah tangannya agar ia tetap duduk dengan tenang.
“Kalau kamu tulus ke aku, keadaan enggak akan begini. Malahan gara-gara kamu juga, keadaan ini terjadi! Kamu yang terlalu emosional dan terlalu melebih-lebihkan. Coba sekarang kamu ingat, siapa yang membuat kasus ini jadi besar? Siapa yang memaksa, menikahkan paksa aku dan Mas Restu? Siapa juga yang memutuskan melanjutkan pernikahan dengan Sita? Orang itu masih kamu!” sergah Arnita dan sukses membuat Juan menggeragap. Juan tampak jelas tidak bisa menjawab dan malah menunduk malu.
“Ayo jawab lagi, ... bukankah dari tadi, kamu selalu berucap lantang?!” tantang Arnita. “Kamu bilang tulus ke aku, tapi kamu sengaja membuatku kehilangan pekerjaanku. Kamu bahkan membuatku kehilangan beasiswa yang aku dapatkan susah payah. Yang paling enggak bisa aku terima, kamu menyamakanku dengan pela-cur bahkan kamu berusaha mele-cehkan aku. Berani kamu mengulanginya, aku enggak segan go-rok leher kamu! Mending aku mendekam di penjara daripada hidup cuma buat dile-cehkan sama kamu!” Tak lupa, Arnita juga berkata, “Hanya karena kamu anak pak kades bukan berarti kamu berkuasa dan seenaknya mempermainkan kehidupan orang!”
Jujur, Restu sudah sangat ingin menga-muk Juan. Saking muaknya ia kepada Juan, ia sampai menandai pria itu di ingatannya dan juga relung hidupnya. Juan tinggal di ruang berlabel khusus dendam.
Setelah kembali ditenangkan oleh pak kades yang juga sampai meminta maaf khususnya kepada Arnita, pak Maman kembali memohon agar semuanya pergi karena ia akan menyelesaikan urusan keluarganya sendiri. Namun, Arnita dengan tegas menolak. Apalagi ketika akhirnya polisi yang Restu panggil datang. Arnita menyerahkan kasus mereka kepada Restu yang Arnita yakini jauh lebih paham.
Tentu hadirnya polisi di sana membuat suasana heboh. Sita dan ibu Misya sampai meraung-raung ketakutan, memohon kepada pak Maman untuk menolong.
“Saya serahkan kasus ini kepada Bapak karena ulah mereka sangat merugikan!” ucap Restu. Di sebelahnya, Arnita yang sudah berdiri juga mengangguk setuju.
“Nita, ... kalau kamu terus melanjutkan semua ini, mulai sekarang kamu bukan anak bapak lagi. Bapak pastikan, Bapak akan mencoret kamu dari kartu keluarga karena kamu beneran bikin malu!” tegas pak Maman menatap marah Arnita, sang putri semata wayang dari istri pertamanya yang sudah meninggal.
Restu yang mendengar sekaligus menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri, langsung geram. Darahnya seolah langsung mendidih, sedangkan kedua tangannya mengepal kencang di sisi tubuh.
“Enggak apa-apa, Pak. Aku ikhlas. Urusan itu, biar jadi urusan Bapak dengan Tuhan. Di sini, aku hanya menuntut keadilan. Toh, apa yang Sita dan ibu Misya lakukan memang salah. Malahan, Bapak juga bisa ikut terseret kalau Bapak menghalang-halangi keadilan ini. Biar kalian jera! Bapak berani menelantarkanku pun, ada pasal yang bisa menyadarkan Bapak!” Arnita menatap sang bapak penuh keseriusan. Di tengah sikapnya yang masih berusaha tenang, dari kedua matanya, butiran bening tak hentinya berlinang.
Sadar Arnita yang keras kepala tetap tidak mau mengubah keputusan, Sita dan ibu Misya berbondong-bondong mendatangi Arnita, bersimpuh memohon. Keduanya bahkan sampai menci-um kaki Arnita.
Pada akhirnya keadilan yang Arnita perjuangkan berakhir dengan penangkapan Sita dan ibu Misya, selain Arnita yang langsung diusir oleh sang bapak. Tanpa memohon karena menjelaskan pun tak digubris oleh sang bapak, Arnita memilih pergi tak lama setelah mobil polisi dan sampai disertai suara sirine yang membawa Sita dan sang mamah, pergi.
Arnita melangkah tanpa Restu yang turut wanita itu tinggalkan. Namun, Restu yang mengemudikan mobilnya terus mengikuti.
“Cepat naik. Kamu mau ke mana?” ujar Restu sengaja berseru dari jendela kaca pintu kemudinya yang ia turunkan sempurna.
Di tengah bulak yang kanan kirinya merupakan hamparan sawah dan memang jauh dari pemukiman, Arnita menghentikan langkahnya.
“Urusan kita sudah selesai. Jadi sekarang juga, aku mohon talak aku. Karena bebas dari Mas juga bagian dari keadilan yang aku perjuangkan!” tegas Arnita. Ia sadar mengatakannya karena itulah yang ia harapkan. Ia tak mau menjadi istri dari suami orang terlebih itu suami dari sahabatnya sendiri. Walau hubungannya dan Azelia sudah jauh dari baik, Arnita yakin, mengakhiri dari sekarang jauh lebih baik daripada bertahan. Ia tak mau andai ia benar sampai hamil, anaknya juga harus menanggung serangan dari Azelia.
“Mas,” tagih Arnita lantaran selain tak kunjung merespons, Restu yang bungkam malah mematikan mesin mobilnya.
“Aku tidak akan melakukannya sekarang sebelum aku memastikan, kamu hamil anak aku. Tunggu sampai jangka waktu itu,” ucap Restu berat. Seberat tatapan dan juga apa yang ia rasakan sekarang.
“Kalau aku sampai hamil, dan kalau aku tidak hamil,” ucap Arnita tak kuasa melanjutkan ucapannya.
“Kalau kamu hamil, aku tidak akan pernah menceraikan kamu. Aku akan ... aku akan menceraikan Azelia karena aku yakin, sampai kapan pun aku tidak mungkin bisa adil dengan versi setiap istri. Aku akan membiarkan Azelia mendapatkan kebahagiaannya dari laki-laki lain.”
“Aku tidak akan mengorbankan anakku karena anak hanya punya sekaligus bergantung kepada orang tua. Sedangkan istri atau suami, mereka sudah dewasa dan mereka bisa mencari kebahagiaan sendiri.” Kali ini, Restu tak kuasa menahan emosi sekaligus air matanya. Di hadapannya, Arnita juga sudah kembali berlinang air mata.
“Lia memang melarang aku bercerai dari mas Restu, tapi maksudnya agar aku tersiksa melihat kemesraan mereka. Beda dengan mas Restu yang tidak mau menceraikan aku jika aku sampai hamil karena mas Restu enggak mau menjadikan anak sebagai korban,” batin Arnita berat. Dadanya sampai terasa sangat sesak.
“Aku ... aku merupakan salah satu dari sekian banyak anak yang kurang beruntung di kehidupan ini. Aku korban dari keegoisan orang tua, jadi aku tahu bagaimana rasanya harus berjuang sendiri. Seperti yang kamu rasakan sekarang, dibuang oleh bapakmu sendiri. Enggak ada yang lebih menyakitkan dari sakitnya anak yang dibuang oleh orang tuanya sendiri,” ucap Restu yang kemudian menyeka sekitar matanya.
“Andai aku benar-benar hamil ...,” batin Arnita yang mendadak seperti dipaksa menelan buah simalakama. Ada anaknya maupun Azelia yang akan dipertaruhkan dalam hubungan mereka.