BIARKAN AKU JATUH CINTA
Ig @authormenia
Akbar diundang ke SMA dan bertemu dengan Ami yang muda dan cantik. Hatinya terasa kembali pada masa dia masih muda, bagaikan air dingin yang dituangkan air mendidih. Dia menemukan jiwa yang muda dan menarik, sehingga dia terjerumus dalam cinta yang melonjak.
Akbar menjalin hubungan cinta dengan Ami yang berumur belasan tahun.
Bagaimana hubungan dengan perbedaan usia 16 tahun akan berkembang?
Bagaimana seorang gadis yang memutuskan untuk menikah muda harus berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari keluarganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Siapa Panda?
"Teteh tau nggak, siapa owner Pulangpergi?" Ami menatap Aul dari pantulan cermin. Selepas isya, ia bersantai di kamar kakak keduanya itu. Baru sekarang peduli dan ingin tahu deretan alat kecantikan yang ada di meja rias sang kakak yang selalu glowing tiap harinya. Dan ia ingin mencoba. Karena di kamarnya hanya punya pelembab, bedak, lotion, dan lip serum.
"Punya Kak Akbar. Emang kenapa?" Aul mendongak dari fokusnya menatap layar ponsel. Menunggu balasan Panji yang sedang mengetikkan pesan. Dari atas ranjang bisa melihat jelas Ami yang menilik satu persatu skin care miliknya.
Ami memutar badan dengan raut kaget. "Teteh tau dari siapa? Sejak kapan? Kenapa aku nggak tau?" cecarnya dengan tatapan protes dan kecewa.
"Tau udah lama dari Kak Panji. Waktu tahun lalu kita liburan keluarga ke Bali, kan booking tiket sama hotel lewat aplikasi itu. Waktu kita nganter Zaky ke Singapura juga sama. Kan kata Papi Krisna dahulukan saling memajukan usaha keluarga." Jelas Aul. Ia kembali menunduk melihat ponsel begitu ada pesan lagi dari Panji. Senyuman terbit di bibirnya.
Ami memberengut melihat Aul senyum-senyum sendiri. Tentunya sudah bisa menebak itu chat dari siapa. "Teh, attention please! Nanti dulu atuh chat sama Ayangnya. Jawab dulu sampe beres."
Aul menyimpan ponsel di samping kanannya. "Mau nanya apa lagi?"
"Tadi belum dijawab. Kenapa aku gak tau? Kenapa nggak dikasih tau?" tanya Ami dengan sorot mata menuntut jawaban yang memuaskan.
"Ami kan sehari-hari di pesantren. Lagian kamu kan cuek urusan akomodasi. Tahunya tinggal duduk manis, sibuknya cuma nyiapin sesajen buat di jalan." Aul mencebikkan bibir.
Ami berubah cengengesan. Ucapan Aul tidak salah. Ia tidak lagi memperpanjang pembahasan soal Akbar. Sudah cukup rasa penasarannya terobati. Memilih kembali memutar badan menghadap deretan skin care dan alat kosmetik.
"Teh, foundation yang mana sih? Aku mau nyoba praktek. Tadi udah liat tutorial make up untuk pemula." Ami masih belum menemukan nama yang dicari di setiap botol kecil yang dibacanya.
Aul menghela nafas. Kalau belum dituruti, adiknya itu akan terus mengganggunya. Ia pun turun dari atas ranjang.
"Nggak ada foundation. Teteh nggak pernah make up berat, nggak nyaman. Mending minimalis aja biar keliatan cantiknya natural. Nih langsung pake cushion aja. Cushion itu bedak yang udah ada foundation nya. Teksturnya ringan, bisa dipakai sehari-hari. Udah pakai itu, finishing pakai bedak tabur biar gak berminyak dan tahan lama." Aul menunjukkan jenis-jenis bedak di meja riasnya itu.
"Baeklah, Neneng imut akan nyoba. Apa hasilnya makin imut atau malah amit-amit. Udah Teteh sana lanjutin chatnya," ujar Ami mengusir dengan mengibaskan tangan.
Aul kembali ke ranjang sambil tersenyum tipis. Tingkah Ami mengingatkan masa remajanya dulu. Ia pun di usia SMA mulai senang dandan. Dan alat kecantikan milik Puput suka dipinjam dan dipakainya.
"Besok Teteh mau facial. Mau ikutan gak, Mi? Biasanya suka bareng Ibu. Tapi Ibu pulangnya seminggu lagi nunggu Aqiqah Rayyan dulu." Aul menata bantal untuk menjadi sandaran punggung. Ia bersiap membalas lagi chat dari Panji.
"Mau-mau, Teh. Mau dibayarin juga sekalian. Aku gak boleh kalah cantik dong. Sebagai anak Ibu Sekar, aku tidak boleh kucel bin kumal." Narsis Ami kembali muncul. Ia sudah selesai mengaplikasikan bedak, beralih mengoleskan lip cream warna rose chic. Lalu melentikkan bulu mata dan menyisir bulu alis yang sudah hitam. Ia pun tersenyum lebar sehingga menampakkan dua lesung pipinya. Tiba-tiba kedua pipinya menjadi merona teringat pujian Akbar yang bilang makin cantik saat VC tadi.
"Segini juga udah cukup ya, Teh. Make up sesuai usia." Ami memutar tubuh menghadap Aul. Meminta penilaian.
Aul menatap wajah Ami. "Cakep. Tapi kalau ke sekolah udah cukup pake yang biasanya. Jangan lupa hapus lagi sebelum tidur!"
"Asiap, Ayangnya Pinokio." Ami kembali memutar tubuh menghadap cermin. Akan menghapus lagi riasannya. Lemparan guling dari Aul yang mengenai punggung, membuatnya tertawa saja.
***
Hari sabtu siang menjadi Me Time Aul dan Ami dengan melakukan facial di klinik skin care langganan Aul. Biasanya rutin mengajak ibunya setiap awal bulan. Kali ini Ibu Sekar absen dulu karena sedang di Jakarta.
Perawatan wajah selama dua jam pun berakhir dengan kembali melajukan mobil menuju arah pulang. Mampir dulu di toko roti atas permintaan Ami. Ponsel di dalam tas Aul terdengar berdering saat baru saja keluar dari parkiran toko roti.
"Mi, liat siapa yang nelpon!" Aul tetap fokus menyetir karena sedang berada di jalur padat merayap.
Ami menunda memakan roti yang baru disobek kemasannya. Merogoh ponsel dari dalam tas sang kakak. "Telepon dari Shahrukh Khan, Teh. Angkat jangan?" ujarnya sambil memegang ponsel yang masih berdering di tangannya.
"Serius, Ami! Dari siapa?" Aul menoleh sekilas. Kemudian dering ponsel berhenti.
"Yaah, masa gak tahu sama yang punya hidung mirip Shahrukh Khan. Tapi kalo dibilang dari Pinokio pasti kenal." Ami meledek Aul yang kini terlihat mengulum senyum.
"Udah simpan aja hapenya. Nanti teteh telepon balik." Aul tidak menanggapi ledekan Ami. Pikiran menduga-duga mungkinkah Panji akan mengajak keluar untuk malam mingguan.
Aul menghentikan mobil di bahu jalan di depan rumah. "Mi, giliran Ami masukin mobil ke garasi. Belajar parkir, ya!" Ia menyerahkan kunci mobil dan turun lebih dulu dengan menenteng tas. Mengabaikan Ami yang protes karena hanya kebagian menyetir untuk parkir.
Panji memelankan laju mobilnya begitu nama Aul tampil di layar ponselnya. Mengaktifkan headset Bluetooth dengan wajah semringah.
"Lagi dimana, Yang?" Ucap Panji usai salamnya dijawab Aul.
"Di rumah. Baru pulang abis ada keperluan bareng Ami. Tadi gak diangkat, lagi nyetir."
Panji tersenyum. Ia tak sengaja melihat Aul dan Ami keluar dari toko roti saat mobilnya melintas di jalur yang sama. Makanya tadi berinisiatif menghubungi kekasihnya itu.
Panji memutuskan menepikan mobil ke bahu jalan agar lebih fokus bertelepon. "Nanti abis magrib aku ke rumah ya!"
"Boleh, tapi harus ajak Padma. Soalnya di rumah gak ada Ibu. Takut ah..."
Panji terkekeh. Ia sudah paham maksud Aul meski ucapannya menggantung. Malah semakin bangga dengan sikap kekasihnya itu. "Oke, Yang. Jam tujuh aku datang sama Padma. See you!"
Di rumahnya, Aul sedang senyum-senyum dengan wajah memerah. Itu karena efek panggilan mesra Panji yang baru kali ini didengarnya. Membuat dadanya menghangat dan berdesir. Ia masih mendekap ponsel di dada saking senangnya. Buru-buru bersikap biasa mendengar Ami masuk sambil bernyanyi lagu India.
"Mi, nanti Padma mau main ke sini sama Kak Panji, abis magrib." Aul mengkonfirmasi. Ia meminta roti yang ditenteng adiknya itu.
"Yes, Munaroh mau datang. Malam mingguan cooking or baking apa ya, Teh?" Ami terlihat antusias.
"Nanti aja liat sikon. Bisa jadi Kak Panji bawa makanan." Aul memanggil Bi Ela yang baru saja lewat ke ruang tengah. Ia memberikan satu roti untuk ART di rumahnya itu.
Ami naik ke kamarnya untuk mandi karena sebentar lagi waktu ashar. Sejenak merebahkan badan di kasur sambil memeriksa ponselnya. Sehari ini belum ada chat terbaru dari Akbar. Mungkin sedang sibuk, pikirnya.
***
"Assalamu'alaikum, Marimar!" Teriak Padma saat pintu dibuka oleh Ami.
"Wa'alaikum salam, Munaroh. I miss you." Teriak Ami. Keduanya berpelukan dan lalu beradu pinggul diiringi cekikikan.
"Astaga, duo rusuh." Aul geleng-geleng kepala. Sementara Panji mentertawakan kelakuan absurd Ami dan Padma yang kini masuk lebih dulu.
Aul mengajak duduk bersama di karpet ruang tengah karena Panji membawa pizza dan donat madu. Biar lebih santai.
"Waduh, padahal lagi diet. Gimana nih?" Ami memasang wajah nelangsa melihat Padma membuka dus pizza dan donat madu.
"Sebel deh ah, Marimar." Padma menoyor bahu Ami diiringi tawa. Ia tahu bestie nya itu sedang akting.
"Kak, mau minum apa?" Aul menatap Panji yang duduk di samping Padma.
"Terserah Ayang aja." Sahut Panji santai.
"WHAT?! AYANG?" Ami dan Padma kompak berteriak dengan mata melebar, mulut menganga.
Panji tertawa lepas. Sementara Aul wajahnya terlihat matang.
"Ish, kalian pada rese ya," ujar Aul yang memilih berlalu ke dapur. Tidak mau mendengar tawa cekikikan Ami dan Padma.
Ami menyusul Aul ke dapur dengan membawa keputusan minuman cukup teh tawar panas saja. Karena yang akan dimakan sudah mengandung banyak kalori. Ia kembali ke ruang tengah dengan membawa sepiring jeruk Medan.
Ami dan Aul duduk sila berhadapan dengan Panji dan Padma. Empat gelas sudah diisi teh yang masih mengepul. Masing-masing mulai mencicipi pizza.
Tidak suka dengan suasana yang mendadak hening, Ami mulai membuka percakapan. "Kak Panji, kata Teh Aul tadi di dapur, beli papan ke Myanmar."
"Cakep. Hihihi." Padma langsung terkikik. Padahal belum mendengar lanjutannya tapi sudah geli lebih dulu.
"Terus?" Panji menanggapi dengan menaikkan satu alisnya. Sementara Aul langsung menutup telinga.
"Kapan akan dilamar." Ami memasang wajah tanpa dosa. Anteng mengunyah pizza. Sementara Panji terkekeh dan Padma cekikikan.
"Kak, anggap aja radio butut." Aul sudah pasrah dan sudah biasa menjadi bulan-bulanan Ami.
"Eh tapi tadi Kakak udah bicara sama Bunda. Katanya, Iguana bermain di papan." Padma membalas pantun Ami.
"Cakep." Sahut Ami.
"Gimana kalau bulan depan?" Sambung Padma yang kemudian adu tos dengan Ami. Sama-sama tertawa.
"Tuh, Yang. Pertanyaan Padma jawab." Ucap Panji disela tawanya. Apel malam mingguan jadi rame oleh keabsurdan duo Ami Padma .
"Huuuuu Ayang lagi. Kipas mana kipas." Ami merobek tutup dus pizza. Mengipasi wajah Aul yang merah. Padma memegang perutnya karena terus-menerus tertawa.
Tanpa disadari Ami jika ponselnya berdering. Suara dering tertutupi kehebohan canda tawa.
Padma yang tidak sengaja melirik nakas dan ponsel Ami bergetar. Ia mengambilnya dan melihat nama penelepon. "Ami telepon dari Panda. Siapa Panda?"
Ami menerima uluran ponsel dengan raut kaget sekaligus matanya berbinar. "Sebentar ya!" Ia beranjak bangun. Setengah berlari menaiki tangga. Untung saja tadi sore iseng mengganti nama kontak 'Kak Akbar' menjadi 'Panda'.