Senja Kumala, anak kecil malang yang lahir dari seorang wanita yang tak menginginkannya. Ia lahir karena hasil pemerkosaan.
Ibunya sangat benci dirinya, ia kerap mendapatkan siksa lahir batin. Bahkan hingga ia dewasa dan menikah, penderitaan Senja belum berakhir.
Wanita malang itu hanya dijadikan istri kedua dan mesin pembuat anak untuk sang suami. Hingga akhirnya, ia bertemu dengan sosok pria yang masuk ke dalam lembah hitam. Sosok pria yang tidak percaya dengan adanya cinta dan kasih sayang.
Pria itu adalah Karang, anak yang memiliki masa lalu tak mengenakkan dan hampir merusak masa depannya. Dan masa lalu itu ternyata ada kaitannya dengan Senja dan ibunya.
Ada hubungan apakah mereka? Dan mampukah Karang menata kembali masa depannya dengan benar?
Dan siapa cinta sejati di masa depan Senja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Keputusan Besar
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, mata Bu Patmi enggan untuk terpejam. Sejak tadi beliau hanya mengubah posisi tidurnya karena tak nyaman. Wanita yang tak lagi muda dan kuat itu gelisah karena Senja tak kunjung pulang.
Saat merasakan gundah di ujung kepala, terdengar pintu kamar yang terbuka. Menampilkan Senja di belakang pintu itu.
"Nenek belum tidur?" tanya Senja kaget mendapati Neneknya yang terduduk menatap pintu.
"Belum, kamu duduk sini. Nenek nunggu kamu," jawab Bu Patmi menepuk kasur di depannya.
Jawaban Bu Patmi membuat Senja mengernyit, ada hal apa yang ingin di sampaikan hingga membuat Neneknya tak tidur demi menunggu dirinya.
"Ada apa, Nek. Apa ada masalah?" tanya Senja duduk di depan Neneknya dengan wajah penasaran.
"Ibumu, dia kembali berulah dengan menerima pinangan orang yang nggak kita kenal. Laki-laki itu datang dengan seorang teman atau entah siapa dia tadi Nenek nggak tahu. Tapi yang jelas dia mau minta kamu untuk jadi istrinya. Nenek merasakan sesuatu yang salah dengan laki-laki itu. Nenek menolak, tapi Ibumu malah memberikan lampu hijau untuk laki-laki itu biar kenal kamu lebih dekat lagi."
Mendengar itu tentu saja membuat Senja terkejut sekaligus penasaran siapa yang berani datang ke rumahnya dan meminang dirinya. Jika Ibunya memberi izin pria itu, pasti ia orang kaya. Karena hanya uanglah yang menjadi tujuan hidup Ibunya.
Disatu sisi Senja pasrah dengan nasibnya, tapi di sisi lain ada Daren yang mengisi hatinya. Membuatnya jauh lebih baik dan bahagia, sosok pria yang tulus mencintanya apa adanya. Bagaimana bisa ia menyakiti Daren begitu dalam dengan meninggalkan ia menikah dengan pria lain. Ah Senja jadi merasa ia sedang berdiri di jalan setapak yang kanan kirinya adalah jurang, baik memilih kiri ataupun kanan ia akan sama-sama terjatuh juga.
"Senja apa yang kamu pikirkan? Perasaan Nenek nggak enak sama laki-laki itu. Lebih baik kamu kabur dari rumah. Nenek nggak mau kamu menikah sama dia. Laki-laki asing yang aneh, baru kemarin dia melihat kamu di restoran tempat kamu bekerja, dengan lantangnya dia bilang kalau jatuh hati sama kamu. Sangat mustahil," sungut Bu Patmi nampak kesal.
"Kabur? Itu bukan pilihan yang baik, Nek."
"Lalu harus bagaimana? Nenek nggak mau kamu masuk lagi ke lubang penderitaan. Nenek rasa dia bukan laki-laki baik." Bu Patmi masih kekeh dengan perasaannya.
"Aku nggak mau ninggalin Nenek."
"Nenek bisa jaga diri. Nenek akan lebih sakit jika kamu menderita dan mengorbankan hidup kamu terus-terusan untuk Ibu kamu. Ibu kamu nggak akan pernah berubah sebelum tangan Tuhan turun untuk menyadarkannya. Kamu sayang sama Nenek apa nggak? Nurut sama Nenek kalau kamu sayang. Kamu harus pergi dari sini dan menentukan pilihan hidup kamu sendiri. Bahagia kamu, diri kamu sendiri yang tentukan."
"Bagaimana caraku kabur, Nek?" Akhirnya pertanyaan itu muncul dari mulut Senja.
"Besok biar di bantu sama Pakde. Tadi Nenek udah kasih tahu dia. Baju kamu sebagian udah Nenek kasihkan ke Pakde, jadi besok kamu berangkat kerja kayak biasanya. Biar Pakde yang carikan kamu kontrakan yang aman dari jangkauan Ibu kamu."
"Iya, Nenek beneran jaga diri. Nenek tunggu aku sampai aku ke sini lagi, ya." Senja memeluk Neneknya sedih.
Bukan keputusan yang mudah bagi Senja untuk meninggalkan Neneknya. Meskipun hal besar ini ia ambil dalam waktu yang sangat singkat, bukan berarti ia tak sayang dan peduli lagu dengan Neneknya.
Entahlah, Senja sudah lelah dengan apapun yang ia alami dari kecil. Rasanya penderitaan yang ia terima tak ada habisnya. Selalu datang silih berganti dan tak ada henti.
Terbesit dalam kepalanya, Senja akan menjadi anak durhaka jika meninggalkan rumah. Tapi jika ia tak menuruti Neneknya, maka pernikahannya dengan pria asing itu sudah pasti akan terjadi. Jika sudah begitu, ia bukan satu-satunya orang yang akan merasakan patah hati begitu dalam. Tapi juga kekasihnya, rasa sayang yang Daren berikan membuat hati Senja merasa ingin menjaga hatinya juga.
***
"Kamu dulu marah sama aku ketika aku lebih mementingkan meeting dari pada anak. Sekarang kamu sendiri melakukan hal itu. Apa susahnya nurutin anak, sih Mas?" pekik Clara tertahan. Ia bicara dengan nada marah tapi memelankan suaranya, ia tak mau Karang mendengar pertengkarannya dengan sang suami. Baru kali ini Clara mementingkan perasaan Karang dari pada egonya.
"Aku akan turutin Karang, kita akan pergi liburan. Tapi tidak untuk berhari-hari. Aku juga ada kewajiban yang harus aku urus. Aku akan antar kalian ke Bali besok habis itu kalian Liburan sendiri. Weekend aku susul ke sana. Udah pas, kan? Udah sama-sama enak, kan? Kenapa hal sekecil ini kamu ributkan?"
"Terserah." Clara menyerah dengan keributan yang ia mulai sendiri.
Sudah selarut ini dan mereka bukannya tidur nyenyak di bawah selimut yang sama, justru mereka adu argumen perkara liburan.
Karang benci hal ini, entah kenapa ia merasa Tuhan selalu menunjukkan pertengkaran Ayah dan Ibunya. Kenapa ia selalu saja tahu saat-saat kedua orang tuanya sedang menunjukkan bahwa mereka tak ada kasih sayang.
Karang melipir dari depan kamar Ayah dan Ibunya setelah di rasa mereka sudah tenang. Dengan membawa segelas air putih, Karang melangkahkan kakinya dengan gamang ke arah kamarnya berada.
"Seharusnya aku sudah biasa mendengar mereka bertengkar. Hal ini sudah terjadi sejak saat aku kecil, tapi kenapa semakin ke sini justru aku semakin sakit mendengar teriakan dari mereka." Karang duduk merenung di lantai dengan bersandar pada tepian ranjang.
Disaat anak seusia Karang sedang merasakan masa remaja yang akan datang, ia justru sudah merasakan pahitnya kehidupan. Karang tak tahu bagaimana rasanya di sayangi sepenuh hati, tidak tahu bagaimana cara menyayangi orang lain dan bagaimana cara memperlakukan orang lain dengan rasa sayang. Hal yang seharusnya ia dapat dari kedua orang tuanya, hal yang ia pelajari dari kedua orang tuanya sama sekali tak ia dapatkan.
Haruskah Karang tumbuh menjadi manusia seperti mereka? Saling menyakiti, mempertahankan ego sendiri, tidak bisa menyanyangi orang terdekatnya, tidak menghargai pasangan. Apakah hal itu yang ingin mereka ajarkan pada Karang? Karena memang hanya itu yang Karang dapat dari mereka.
"Jangan tumbuh seperti mereka Karang! Kamu tahu itu tidak baik bagi orang di sekeliling kamu, kan? Kamu nggak mau orang di sekeliling kamu merasakan apa yang kamu rasakan, bukan? Tumbuhlah menjadi manusia penyayang. Agar orang di sekeliling kamu tidak merasakan sakit yang kamu rasakan."
"Persetan dengan itu semua Karang! Apa yang kamu pelajari dari orang tau kamu, harus kamu terapkan dalam kehidupan kamu. Kamu harus punya tempat untuk melampiaskan sakit yang kamu rasakan. Jangan jadi manusia lemah!"
"Jangan Karang!
" Lakukan!"
"Berhenti!" teriak Karang terjatuh dari duduknya.
Karang menatap sekeliling, rupanya ia tertidur di lantai saat memikirkan kedua orang tuanya yang tak pernah memberikan kebahagiaan di hari Karang.
next up