Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecurigaan
"Selamat malam! Saya Hendra, dokter yang diminta Ibu datang ke sini untuk memeriksa Zafran. Boleh saya masuk?"
Lita terkesima melihat sosok tinggi dan putih berkacamata di teras. Matanya berkedip-kedip, bibir terbelah hingga membuat celah yang tidak sedikit.
"Hallo! Mmm ... di mana Bu Sei? Bisa saya bertemu dengannya?" tanya dokter itu lagi sambil mengibaskan tangan di depan wajah Lita.
"Eh?" Lita sadar ia tertunduk dengan wajah bersemu merah. Melirik malu-malu pada laki-laki di hadapannya itu.
"Mari masuk, Dokter. Mas Zafran ada di kamarnya," ucap Lita sembari membuka lebar-lebar pintu rumah tersebut.
Dokter itu melirik bingung, menatap jalan yang akan dilaluinya seraya berkata, "Maaf, bisa izinkan saya lewat?"
Suara yang terdengar syahdu di telinga Lita itu kembali mengalun. Menggetarkan hatinya yang sedari tadi pun bertalu-talu karena emosi.
Sadar posisinya memang menghalangi jalan, ia menyingkir dengan kepala tertunduk. Rambut diselipkannya di belakang telinga, mengurangi gugup yang melanda.
Dokter Hendra melangkah, memasuki rumah besar itu. Lita berbalik sambil menggigit bibir memandangi punggung tegap yang kian menjauh dari posisinya berdiri.
Dia sempurna banget, ganteng terus keren. Mana wangi lagi. Hmm ... kayaknya aku mau pindah hati aja sama dia.
Bunga-bunga cinta yang baru, mulai bermekaran kembali dalam hatinya. Dorongan hasrat untuk memiliki menjadi kuat, semakin kuat disaat suara itu mengiang di telinga.
Lita tersentak disaat dokter tersebut tiba-tiba berbalik menatap dingin pada sosoknya.
"Bawakan segelas kopi panas juga susu jahe panas. Ingat! Tutup yang rapat agar panasnya nggak ke mana-mana," titahnya dengan cepat berbalik lagi dan melangkah lebar-lebar.
Hati Lita mencelos lemas, ia pegangi jantungnya yang semakin berdebar-debar.
"Jantung aku ... kenapa rasanya kayak mau copot begini?" gumamnya tersenyum senang hanya karena ditatap laki-laki berkacamata itu.
Teringat akan perintahnya, bergegas Lita pergi ke dapur. Membuatkan apa yang tadi dimintanya, kopi panas juga susu jahe.
"Duh, di mana kopi sama susu jahenya?" Ia berjinjit di depan sebuah lemari, mencari-cari keberadaan kopi juga susu jahe kemasan yang hanya tinggal seduh, dan beres.
Sementara Lita sibuk dengan pencariannya, dokter muda itu terus melangkah menuju kamar Zafran. Ia hafal betul seluk beluk rumah itu lantaran di sana adalah tempat bermainnya dulu bersama Zafran disaat mendinga ayah saudagar beras itu masih hidup.
"Assalamualaikum, Bu!" sapa Hendra sembari mengetuk pintu kamar yang terbuka sedikit.
Ibu menoleh, raut gelisah dan cemas tak dapat disembunyikannya. Wajah keriput itu menatap sedih sekaligus lega pada dokter muda yang sudah ia anggap anak sendiri.
"Wa'alaikumussalaam, Hendra. Cepat kamu periksa Zafran," sambut Ibu yang dengan cepat beranjak dari tepi ranjang membiarkan dokter Hendra memeriksa keadaan putranya.
"Kenapa lagi, Bu? Kehujana lagi, ya?" tebaknya tepat.
Tak perlu jawaban karena ia sudah tahu kenapa Zafran terbaring tak sadarkan diri.
"Aku nggak liat Sei, Bu. Emang ke mana dia? Terus ada perempuan itu ... siapa, Bu?" cecar Hendra sembari memeriksa keadaan Zafran tanpa menoleh pada Ibu.
Terdengar helaan napas berat dari arah wanita yang berada di belakangnya. Hanya dengan begitu saja dokter muda itu tahu sedang terjadi masalah di rumah tersebut.
"Ada apa, Bu? Apa ada masalah?" Bertanya lagi sambil memeriksa denyut nadi dan detak jantung Zafran. Ia menggeleng, keduanya terasa lemah.
"Yah, begitulah, Hen. Namanya kehidupan pasti ada aja masalah," ucap Ibu dramatis.
Hendra mengerutkan dahi, ia melirik wanita tua yang duduk di sofa tempat biasanya Seira menunggu sepanjang pemeriksaan.
"Masalah apa emangnya? Selama ini, kan, mereka baik-baik aja. Nggak pernah ada masalah, kenapa tiba-tiba ada masalah?" selidiknya.
Dokter Hendra berbalik sembari melepas stetoskop dari telinga. Menghadap Ibu dengan segudang pertanyaan yang memancar dari sorot matanya.
"Seira pergi dari rumah, dia udah nggak mau lagi tinggal di sini. Dia juga minta cerai sama Zafran tadi sore sewaktu baru pulang. Ibu nggak tahu ada masalah apa? Seira nggak ngomong apa-apa, cuma minta bagian harta gono-gini aja," ucap Ibu berdusta.
Hendra menatap intens kedua manik berkabut milik wanita tua itu. Ibu menunduk menghindar dari bersitatap dengan mata tajam sang dokter muda. Laki-laki itu selalu tahu jika lawan bicaranya sedang berbohong.
Hendra berpaling, menatap sebuah figura kecil di atas nakas gambar Zafran dan Seira. Terlihat bahagia seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua. Biasanya di sana sudah teronggok dua gelas minuman yang dia pinta.
"Bu, kenapa minuman yang saya minta nggak datang-datang, ya?" celetuknya melirik Ibu dengan ekor mata. Mencari pengalihan topik.
"Sebentar, biar saya lihat dulu," ucap Ibu yang langsung saja berdiri meninggalkan kamar Zafran.
Hendra mengikuti arah kepergian wanita tua itu dengan ekor matanya. Kecurigaan muncul di hati, praduga tentang kepergian Seira. Wanita itu adalah gadis yang amat dicintai Zafran. Mereka berdua bahkan pernah bersaing memperebutkan hatinya, tapi Zafran yang memenangkan.
Ia bangkit dan berjalan menuju almari, hanya ada pakaian Zafran yang tersisa. Seira benar-benar pergi.
"Apa bener mereka udah cerai? Tapi kenapa? Terus itu siapa perempuan yang di dapur tadi?" Bergumam lirih seraya menutup pintu lemari kembali.
Ia berbalik dan duduk di sofa menatap laki-laki yang masih setia tak sadarkan diri. Rasanya ada yang berbeda dari rumah itu, ketiadaan Seira di dalamnya membuat hatinya sunyi. Biasanya, wanita itu akan mengajak berbincang sambil menunggu Zafran sadar.
"Aku yakin masalahnya bukan di Seira, pasti ada sangkut pautnya sama perempuan yang di dapur tadi." Lagi-lagi ia bermonolog seorang diri.
Kakinya dibentur-benturkan pada dipan berharap laki-laki itu akan dapat merasakannya dan terbangun dari tidur. Sayangnya, dia bukan Seira. Wanita cantik itu dapat dengan mudah membangunkan Zafran sekalipun dalam keadaan pingsan. Bukan mudah sebenarnya, tapi sabar dan rela menunggu.
Meninggalkan Hendra dengan segala kecurigaan di hatinya, Ibu mempercepat langkah menuju dapur. Tak ingin berlama-lama mengobrol dengan dokter muda di kamar Zafran.
Dahinya mengernyit kala tiba di dapur melihat Lita yang sedang mengobrak-abrik lemari penyimpanan.
"Kamu nyari apa?" Suara Ibu yang tiba-tiba mengejutkannya.
Lita tersentak, berdiri tegak dengan kesal. Dihirupnya udara cukup rakus lalu kemudian dibuangnya dengan kasar. Masih sangat kesal dengan wanita tua yang hobinya mengatur itu.
"Kamu pasti diminta buat kopi sama susu jahe, ya?"
Wanita itu menoleh seraya menganggukkan kepalanya.
"Kamu nggak bakal nemu di sana, kopi ada di meja. Susu jahe ... ya, bikin sendiri. Seira juga suka bikin bukan pake yang instan. Itu di sana susu, itu di sana jahe merah. Ingat, ya, jahe merah," papar Ibu yang membuat Lita meneguk ludah basi dengan susah payah. Tangannya dengan gesit menunjuk tempat-tempat keberadaan benda yang dia sebutkan.
Lita mengumpat dalam hati.