NovelToon NovelToon
Embun Di Balik Kain Sutra

Embun Di Balik Kain Sutra

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Cinta Terlarang / Romansa pedesaan
Popularitas:563
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.

Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.

Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.

Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 — Jarak yang Melukai

​Sudah tiga hari sejak kembalinya mereka dari batas desa, dan tiga hari sejak Rho Jian dengan dingin menerapkan jarak di antara mereka. Ruangan kecil di atas gudang rempah-rempah Nyonya Liu, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan keintiman, kini terasa seperti penjara yang dipenuhi kesepian.

​Aroma rempah-rempah yang tajam—kapulaga, adas, dan kayu manis—menjadi satu-satunya teman Mei Lan. Aroma itu seolah mencoba menutupi bau kulit dan keringat Rho Jian, yang masih tertinggal di udara, pengingat yang menyiksa akan kehangatan yang kini ditolak.

​Mei Lan duduk di bangku kayunya, mencoba menenun. Benang-benang sutra yang ia tenun untuk Nyonya Liu adalah proyek paling rumit dalam hidupnya. Pakaian itu harus memancarkan otoritas dan keanggunan. Ia harus sempurna untuk membebaskan Jian. Namun, fokusnya hilang. Setiap kali ia mencoba melewati benang pakan, tangannya gemetar.

​Ia merindukan keheningan yang nyaman, di mana Jian akan duduk di sudut, membersihkan pisaunya atau memetakan rute, dan ia akan menenun. Keheningan itu dulu terasa penuh, seperti sungai yang mengalir di bawah permukaan. Sekarang, keheningan itu kosong, diisi oleh ketegangan yang menusuk.

​Jian makan di sudut terjauh, punggungnya selalu menghadapnya. Ia berbicara hanya dalam monosilabel: “Kau butuh air?” atau “Jangan pergi keluar.” Ia tidak pernah lagi memanggilnya ‘Mei Lan’ dengan kelembutan serak yang pernah ia gunakan. Ia kembali menjadi bayangan, tidak hanya bagi dunia luar, tetapi juga bagi Mei Lan.

​Rasa sakit itu, yang tidak disebabkan oleh musuh Istana atau Kepala Desa Liang, terasa lebih tajam daripada luka fisik. Itu adalah penolakan emosional, penarikan kembali janji yang dibuat di jembatan di bawah lampion pudar.

​Mei Lan akhirnya meletakkan alat tenunnya. Kain di depannya, yang seharusnya menjadi kain harapan, kini tampak seperti kain yang dipenuhi kesedihan. Ia tidak bisa terus begini. Kehilangan fokusnya berarti gagal, dan gagal berarti Jian akan tetap terikat pada Nyonya Liu—atau lebih buruk, diserahkan kepada Istana.

​Sore itu, Jian mengambil keputusan berisiko. Persediaan air bersih mereka hampir habis, dan ia harus mengambilnya dari sumur umum yang letaknya agak tersembunyi di belakang pasar gelap. Itu adalah tugas yang berbahaya, karena Shan Bo mungkin masih mengintai, dan pelacak Istana mungkin telah memasang perangkap.

​Saat Jian bersiap, Mei Lan berdiri. “Aku ikut.”

​Jian menatapnya dengan tatapan dingin. “Tidak. Aku sudah bilang. Kau di sini. Kau harus terlihat seperti pekerja yang sibuk dan fokus, bukan gadis yang terikat pada buronan.”

​“Saya butuh udara segar,” balas Mei Lan, berdiri tegak. “Saya akan mengambil bumbu yang Nyonya Liu minta dari lantai bawah. Tidak ada yang akan curiga.”

​Jian tahu ia tidak bisa menahannya tanpa menarik perhatian, dan ia juga tahu Mei Lan adalah wanita yang keras kepala. Ia mengangguk, tetapi ia tidak menunggu. Ia langsung keluar, meluncur ke bayangan.

​Mei Lan mengikutinya, tetapi bukannya menuju gudang rempah-rempah, ia mengikuti langkah cepat Jian, menjaga jarak yang aman di antara mereka.

​Mereka mencapai sumur. Sumur itu terletak di celah antara dua gudang rempah-rempah tinggi. Itu adalah tempat yang ideal untuk penyergapan. Jian bergerak dengan kewaspadaan tinggi, matanya terus mencari jejak kaki atau bayangan yang tidak pada tempatnya.

​Saat Jian menurunkan timba air, Mei Lan melangkah keluar dari bayangan di belakangnya.

​“Berhenti bersikap dingin padaku, Jian,” kata Mei Lan, suaranya pelan dan tajam.

​Jian tersentak. Timba air yang ia angkat bergetar, dan air memercik keluar. Ia tidak berbalik.

​“Kau seharusnya berada di dalam,” desis Jian, suaranya dipenuhi frustrasi.

​“Saya di sini karena saya harus tahu,” kata Mei Lan, melangkah mendekat. Ia merasakan lumpur basah di bawah sandal jeraminya. “Di gubuk, saat hujan, kita berbagi kehangatan, Kau berbagi luka. Kau menanggalkan perisaimu, dan Kau menciumku di jembatan itu. Sekarang, Kau kembali memasang dinding, lebih tebal dari sebelumnya. Mengapa? Apakah Kau menyesalinya?”

​Jian akhirnya berbalik. Ekspresinya adalah campuran antara kemarahan dan rasa sakit. “Kau tahu mengapa. Shan Bo telah melacak kita. Gosip tentang kepergianmu telah menghancurkan kehormatan keluargamu di desa. Dan Istana ada di kota ini. Mereka mencari seorang pria yang tidak sendiri.  Aku melakukan ini demi kebaikanmu!”

​“Kebaikan apa?” tantang Mei Lan. “Kebaikan yang membuat saya tidak bisa menenun karena hati saya sakit? Kebaikan yang membuat kita berdua menderita dalam keheningan yang dingin? Saya sudah memberitahu Kau, saya memilih benangmu! Saya memilih kehancuran yang Kau bawa. Mengapa Kau tidak membiarkan saya memilih?”

​Jian mengambil langkah ke depan, mendekat. Ia begitu dekat sehingga Mei Lan bisa merasakan panas tubuhnya, kontras dengan dinginnya udara. Wajah Jian sangat tegang, matanya berkobar-kobar, menatap mata Mei Lan seolah ingin menelanjangi jiwanya.

​“Dengar, Gadis Penenun,” desah Jian, suaranya nyaris berbisik. “Aku tidak bisa melakukan ini. Aku tidak bisa mencintaimu dan tetap menjadi bayangan yang efisien. Cinta membuatku ceroboh. Aku takut, Mei Lan. Aku takut pada diriku sendiri. Aku takut akan bahaya yang kubawa, dan aku takut bahwa aku akan merusak kesucianmu. Aku harus pergi, dan ketika aku pergi, Kau akan lebih mudah pulih jika Kau membenciku.”

​“Tapi Kau tidak pergi!” Air mata Mei Lan mulai mengalir, bercampur dengan kotoran di pipinya. “Kau di sini! Dan saya tidak akan membencimu! Saya hanya merindukanmu!”

​Jian memejamkan mata. Ia meraih dagu Mei Lan dengan jarinya yang kasar. Genggamannya lembut, menahan diri.

​“Kau harus menjaga nama baikmu, Gadis Manis,” bisik Jian, mengutip kembali alasan yang tidak jujur itu. “Kau harus terlihat tidak terpengaruh, seolah-olah aku hanyalah urusan bisnis. Jika Nyonya Liu melihat keterikatan kita, dia akan menganggap kita sebagai risiko. Aku tidak bisa membiarkan Kau terluka karena kesalahan masa laluku.”

​Ia melepaskan dagu Mei Lan dan mundur. Tatapannya tegas, tetapi Mei Lan melihat kebenaran yang mengerikan di matanya: Jian mencintainya, dan ia menggunakan rasa sakit dari jarak ini sebagai perisai, bukan untuk melindungi dirinya dari Istana, melainkan untuk melindungi hatinya dari kehilangan Mei Lan.

​Jian mengambil timba airnya yang sudah terisi dan berjalan melewatinya, kembali ke gudang rempah-rempah. Ia tidak melihat ke belakang.

​Mei Lan ditinggalkan sendirian di samping sumur. Ia membiarkan air matanya mengalir. Ia tidak peduli jika Shan Bo melihatnya. Ia tidak peduli jika pelacak Istana menangkapnya. Rasa sakit dari penolakan yang dingin itu benar-benar melumpuhkannya.

​Ia tidak kembali ke gudang rempah-rempah selama satu jam. Ia hanya duduk di samping sumur, membiarkan tubuhnya menggigil, memikirkan setiap kata Jian.

​Aku takut pada diriku sendiri. Aku takut akan bahaya yang kubawa.

​Jian tidak ingin meninggalkannya. Ia hanya ingin Mei Lan membencinya agar kepergiannya nanti akan lebih mudah. Itu adalah pengorbanan terbesarnya.

​Mei Lan bangkit. Ia mengusap air matanya dan kembali ke gudang Nyonya Liu.

​Ketika Mei Lan kembali, ruangan itu kosong. Jian ada di lantai bawah, bernegosiasi dengan Nyonya Liu tentang pengiriman logistik.

​Mei Lan berjalan ke alat tenunnya. Ia menatap kain sutra yang kacau itu. Ia tidak bisa membiarkan pengorbanan Jian sia-sia. Jika Jian memilih untuk menjadi dingin demi keselamatannya, ia harus membalasnya dengan kekuatan.

​Ia mulai menenun lagi, tetapi kali ini, emosinya diarahkan pada benang. Setiap sentakan benang, setiap tarikan pakan, adalah pengakuan atas rasa sakit dan cintanya. Ia menggunakan kesedihan dan kemarahannya sebagai energi, mengubahnya menjadi presisi yang luar biasa.

​Ia tidak merindukan percakapan mereka, tidak merindukan perhatian kecil Jian. Ia merindukan kehangatan sederhana dari berbagi tikar, kehangatan yang kini telah digantikan oleh jarak yang menyakitkan.

​Ia ingat ketika Jian berbagi roti kering dengannya, mematahkan bagian yang paling besar untuknya. Ia ingat bagaimana Jian selalu mengambil posisi di dekat pintu, membiarkan Mei Lan memiliki sisi ruangan yang lebih aman. Ia merindukan Jian yang lembut, bukan Jian si prajurit yang dingin.

​Mei Lan menenun hingga larut malam. Kain sutra itu mulai menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Desain yang rumit, yang sempat kacau di pagi hari, kini menjadi tajam dan fokus. Ia akan menyelesaikan kain ini dalam tiga minggu. Ia harus. Karena inilah satu-satunya cara untuk membebaskan Jian dari Nyonya Liu, dan satu-satunya cara untuk membuktikan kepada Jian bahwa cinta mereka lebih kuat daripada rasa takutnya.

​Ketika Jian kembali larut malam, ia menemukan Mei Lan tertidur di bangku tenunnya, diselimuti aroma rempah-rempah dan sutra yang belum selesai. Ia melihat ke kain itu. Itu sangat indah. Bahkan dalam tidur, gadis itu memegang potongan kain sutra itu, seolah takut kehilangannya.

​Jian tidak membangunkan Mei Lan. Ia hanya berdiri di sana untuk waktu yang lama. Ia melihat bekas air mata di pipi Mei Lan. Rasa sakit itu merobek-robek bentengnya.

​Ia tahu, ia telah menyakiti Mei Lan demi keselamatannya. Tetapi ia juga tahu, ia tidak akan bisa bertahan jika ia membiarkan dirinya jatuh cinta sepenuhnya.

​Sambil mengutuk dirinya sendiri, Jian dengan sangat hati-hati mengangkat Mei Lan dan memindahkannya ke tikar tidur. Ia menyelimutinya dengan jubah kasarnya. Jubah itu, yang pernah berbagi kehangatan mereka di gubuk, kini menjadi pengakuan diam Jian: bahwa jarak yang ia ciptakan adalah kebohongan, dan bahwa ia juga menderita dalam kesunyian yang dingin itu.

​Jian tidur di sudut ruangan yang dingin, membelakangi cahaya bulan yang menembus terali besi. Ia tahu Mei Lan telah melihat kebenaran di matanya. Dan itu membuatnya semakin takut. Karena benang takdir mereka telah terjalin terlalu erat, dan pemotongan yang akan datang akan melukai mereka berdua.

1
Rustina Mulyawati
Bagus ceritanya... 👍 Saling suport yuk!
marmota_FEBB
Ga tahan nih, thor. Endingnya bikin kecut ati 😭.
Kyoya Hibari
Endingnya puas. 🎉
Curtis
Makin ngerti hidup. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!