NovelToon NovelToon
Antara Air Dan Api

Antara Air Dan Api

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Fantasi / Kultivasi Modern / Evolusi dan Mutasi / Cinta Beda Dunia / Pusaka Ajaib
Popularitas:200
Nilai: 5
Nama Author: Ahmad Syihab

novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jejak yang Menyala dan Mengalir

Lorong bawah tanah itu sempit, cukup untuk satu orang berjalan membungkuk. Panas yang keluar dari dinding-dindingnya terasa berbeda tidak melukai, tapi menusuk seperti panas yang menuntut sesuatu. Sena berjalan tepat di belakang Raga, merasakan setiap detak api dalam tubuhnya perlahan kembali stabil.

Bukan sepenuhnya pulih, penyegel elemen tadi masih meninggalkan bekas dingin pada urat-uratnya. Tapi setidaknya, bara itu kembali bernafas. Dan dengan itu, tekadnya semakin tebal.

“Ke mana kita pergi?” tanya Sena lirih, berusaha tidak membiarkan suaranya bergema.

“Keluar dari Zona Inti Api Merah,” jawab Raga dalam bisikan. “Jinwa jarang mengawasi jalur ini. Ia menganggap tidak ada yang cukup bodoh untuk melewatinya.”

Sena menahan senyum miring. “Kenapa?”

“Karena jalur ini berada di atas sungai magma aktif.”

Sena berhenti.

Raga menoleh, seolah baru sadar. “Oh kau tidak takut magma, kan?”

Sena mendengus. “Aku prajurit Bara Lembut, bukan anak kecil.”

“Bagus,” gumam Raga. “Karena kalau salah pijak sedikit, kita jatuh.”

Sena kini memperhatikan lantai lorong. Ada retakan memanjang, mengalirkan cahaya oranye dari bawah. Suara gelembung magma terdengar jauh di dasar.

“Hentikan napas panjang itu,” bisik Raga. “Kita tidak boleh terlihat panik.”

“Terdengar seperti kau yang panik, bukan aku.”

Raga mendecak pelan. “Kau sulit diatur.”

“Prajurit Bara Lembut memang begitu.”

Raga hanya menggerutu pelan dan melanjutkan langkahnya.

 

Beberapa menit berjalan, lorong itu mulai melebar. Cahaya merah membesar, menandakan mereka hampir keluar. Namun sebelum mereka mencapai ujung, getaran kecil terasa di bawah kaki.

Sena menegang. “Itu bukan magma.”

Raga mengangguk. “Aku tahu.”

Getaran kedua datang lebih kuat. Debu halus jatuh dari langit-langit.

Raga mematikan lentera kecilnya, menahan napas. “Jinwa memanggil sesuatu…”

“Pemanggilan elemen?” Sena bertanya.

“Lebih buruk dari itu,” Raga menjawab lirih. “Ia memanggil Penjejak Bara.”

Sena memaki pelan. “Kau bercanda, kan?”

“Tentu saja tidak.”

Penjejak Bara adalah makhluk api yang hidup dari sisa-sisa panas prajurit yang kehilangan nyawanya. Mereka tidak berguna untuk bertarung terbuka, tapi mereka memiliki satu kelebihan berbahaya:

Mereka bisa mencium jejak energi seseorang dalam radius yang sangat jauh.

Jika Jinwa memanggil Penjejak Bara, itu berarti…

“Dia tahu aku bebas,” gumam Sena.

“Ya,” sahut Raga. “Dan dia akan mengurung seluruh zona untuk memastikan kau tidak keluar.”

Sena mengepalkan tangan. “Kita harus lebih cepat.”

Raga menarik lengannya. “Tidak hanya cepat. Kita harus menyesatkan jejakmu.”

“Bagaimana?”

Raga membuka ikat pinggang kecilnya dan mengeluarkan bola batu kecil berwarna biru gelap.

“Ini batu penukar jejak,” jelas Raga. “Teknologi kuno dari klan kacau tidak boleh dipakai oleh siapa pun di Dimensi Api.”

“Dan kau menyimpannya di kantongmu seolah itu permen?”

Raga menatapnya datar. “Aku tidak bercanda.”

Sena terdiam.

Raga memegang kedua bahu Sena. “Kau harus mengerti. Kau sekarang adalah target utama. Dan Cai… dia juga.”

Sena menelan ludah.

“Bola ini akan menyimpan jejak elemenmu dan melarikan diri ke arah lain. Penjejak Bara akan mengejarnya.” Raga mengusap bola itu dengan jarinya. Batu itu berkedip.

Sena berdeham. “Lalu mereka tahu itu palsu?”

“Tidak,” jawab Raga. “Batu ini mengambil energi darimu. Jejak itu akan terasa asli.”

Sena terperangah. “Kau serius?”

“Serius.”

Raga menekan batu itu ke dada Sena. Batu itu menyerap sebagian energi Sena sehingga tubuhnya bergetar sesaat suhunya turun sedikit, pertanda sebagian bara dirinya diambil.

Raga mengayunkan tangan dan melempar batu itu ke lorong bercabang.

Dalam hitungan detik, batu itu berpendar dan melesat seperti nyala api kecil yang terbang, menuju jalur lain.

Sena hanya bisa menatapnya pergi.

“Sekarang mereka akan mengejar itu,” kata Raga.

“Bagaimana kalau mereka mengejar kita juga?” tanya Sena.

“Ya… itu tetap mungkin.”

Sena memelototkan mata. “Raga!”

“Tapi kemungkinan kita bertahan hidup jauh lebih besar.”

“Kau harus memisahkannya dengan kalimat pertama tadi!”

Raga mengangkat tangan. “Maaf.”

Sena menutup wajah.

 

Ketika mereka mencapai ujung lorong, udara panas segar menyambut mereka seperti tamparan keras. Pemandangan terbentang: sungai magma mengalir deras di bawah platform batu. Di seberang, ada terowongan sempit menuju zona luar.

“Bagaimana kita menyeberang?” tanya Sena.

“Kau lompat,” jawab Raga singkat.

“Rada?”

“Maksudku, kita lompat.”

Sena menatap jurang magma itu.

“Beberapa langkah terlalu jauh.”

Raga tersenyum kecil. “Itu kalau kau tidak pakai panasmu.”

Sena menghela napas. “Panas dalamku belum sepenuhnya pulih.”

“Dan kalau tidak dicoba, kita mati.”

“…benar,” gumam Sena, ingin membanting wajah sendiri.

Raga menunjuk ke tepi platform. “Kau duluan.”

Sena mundur beberapa langkah, menarik napas, dan memfokuskan bara ke telapak kaki. Bara itu merespons masih lemah, tapi cukup untuk memberikan dorongan.

Sena berlari.

Lalu melompat.

Angin panas menyambar wajahnya. Di bawah, magma bergolak seperti mulut raksasa yang siap menelan. Sena mendorong bara di kakinya, mengirimkan lompatan tambahan kecil.

Ia jatuh dengan keras di ujung seberang. Tubuhnya berguling, tapi stabil.

“Sena!” teriak Raga. “Kau hidup!?”

“Ya,” Sena meringis. “Cepat!”

Raga bersiap. Ia tidak melompat sekuat Sena, tapi sesuatu berubah dari tubuhnya garis-garis merah di kulit Raga menyala samar, memberinya dorongan jarak.

Sena buru-buru menahan lengannya di ujung platform.

Mereka jatuh bersama, nyaris meluncur kembali ke magma, tapi Sena mengerahkan panas di tangannya untuk mencairkan batu dan membuat lekukan sebagai pegangan.

Raga terengah. “Itu… gila.”

“Kau yang menyuruh aku mencoba,” Sena mendesah.

Mereka bangkit, saling menopang.

Namun sebelum mereka sempat bergerak lagi, suara jeritan melengking terdengar dari ujung lorong.

Sena membeku.

Itu suara Penjejak Bara.

Dan suaranya semakin dekat.

“Cepat!” Raga menariknya masuk ke terowongan sempit.

 

Terowongan ini lebih dingin faktanya, semakin jauh mereka masuk, semakin tidak normal suhunya. Udara terasa lembap.

Sena menoleh. “Ini bukan zona Api.”

Raga mengangguk cepat. “Kita semakin dekat dengan garis batas Dimensi Air.”

Sena tertegun. “Kau… membawa kita ke arah sana?”

“Ya. Kalau kau ingin selamat, satu-satunya cara adalah bersembunyi di celah bawah. Tidak ada makhluk Api Merah berani masuk ke zona lembap tanpa persiapan khusus.”

Sena kembali merasa getaran di lantai.

Getaran yang sama seperti di ruang tahanan.

Ia mengerti.

Itu Cai.

Itu jejak energi air Cai.

Tapi mengapa begitu kuat di sini?

Sena menahan diri agar tidak mempercepat langkah. Fokus dulu pada pelarian.

Raga berhenti di depan tembok batu hitam. “Bantu aku.”

“Apa ini?”

“Tembok tipis. Di baliknya, ada lorong pelarian lama. Tapi harus dilelehkan sedikit.”

Sena memfokuskan panasnya. Api kecil muncul di telapak tangannya, masih belum normal, tapi cukup untuk melunakkan batu.

Tepat ketika tembok itu retak, suara menggelegar terdengar di belakang.

Penjejak Bara muncul di ujung lorong bayangan merah menyala, tubuh kurusnya seperti asap panas, mata kosong berwarna kuning menyala.

Sena dan Raga menegang.

Penjejak Bara mengeluarkan suara seperti decitan besi terbakar.

“Lari!” Raga mendorong Sena masuk ke dalam celah saat tembok hancur.

Penjejak Bara melesat seperti angin panas.

Sena menarik Raga dan memaksa masuk. Lorong kecil itu gelap, lembap, dan hawa air mulai terasa kuat.

Penjejak Bara mencoba masuk, tetapi tubuhnya terbakar saat menyentuh kelembapan.

Makhluk itu menderu marah namun tidak bisa mengejar lebih jauh.

Raga terengah, duduk bersandar. “Jika ia memanggil makhluk lain… kita habis.”

“Tapi untuk sekarang, kita aman,” Sena menatap ke dalam lorong lembap itu.

Dan di sana, jauh di depan, cahaya biru redup berdenyut…

Seperti detak jantung air.

Seperti panggilan.

Seperti Cai.

Sena berdiri.

“Aku harus pergi ke sana.”

Raga ikut berdiri. “Aku ikut.”

Sena menatapnya heran. “Kau tidak harus melakukannya, Raga.”

“Aku tahu.” Raga tersenyum kecil. “Tapi Cai menyelamatkan kakakku. Sekarang aku akan bayar hutang.”

Sena balas tersenyum.

Mereka mulai berjalan menuju cahaya biru itu.

Langkah demi langkah…

semakin dekat pada batas antara Api dan Air.

Semakin dekat pada kebenaran.

Semakin dekat pada Cai.

Dan Sena tahu:

Pertemuan mereka berikutnya tidak akan mudah. Tapi ia akan menemui Cai, apa pun yang harus ia hadapi di antara dua dimensi ini.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!