Jangan lupa like dan komennya setelah membaca. Terima kasih.
Menjadi tulang punggung keluarganya, tidak membuat Zayna merasa terbebani. Dia membantu sang Ayah bekerja untuk membiayai sekolah kedua adik tirinya hingga tamat kuliah.
Disaat dia akan menikah dengan sang kekasih, adiknya justru menggoda laki-laki itu dan membuat pernikahan Zayna berganti menjadi pernikahan Zanita.
Dihina dan digunjing sebagai gadis pembawa sial tidak menyurutkan langkahnya.
Akankah ada seseorang yang akan meminangnya atau dia akan hidup sendiri selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Menuju halal
"Assalamualaikum, hai, Na," sapa Alifia yang baru datang. "Subhanallah, kamu cantik sekali!"
"Waalaikumsalam, kamu bisa saja," sahut Zayna dengan tersenyum.
"Bener tahu, kamu lebih cantik hari ini daripada kemarin."
Zayna terdiam mengingat kejadian itu. Tiba-tiba dia takut jika Ayman juga membatalkan pernikahan ini. Alifia yang mengerti perasaan calon pengantin pun segera mendekati. Dia ingin menggenggam telapak tangan Zayna, tapi takut merusak hiasan di punggung tangan itu.
"Na, kamu harus percaya bahwa tidak semua laki-laki itu sama. Ada yang baik, bahkan ada juga yang lebih kejam dari Fahri jadi, kamu jangan berpatokan pada satu orang saja. Sekarang lebih baik kamu berdoa agar acara hari ini berjalan dengan lancar."
Zayna tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Meski dalam hati gadis itu merasa khawatir, tetapi dia tidak ingin membuat sahabatnya jadi kepikiran. Lebih baik dipendam sendiri.
"Kamu datang sendiri, Al?"
"Sama mama, papa. Mereka ada di luar," jawab Alifia.
Sebenarnya orang tua gadis itu khawatir pada Zayna, takut jika kejadian kemarin terulang lagi. Mereka sudah menganggap gadis itu sebagai putri sendiri. Apalagi setelah mendengar cerita Alifia jika pernikahan mereka mendadak. Sama yang kemarin menjalin hubungan dua tahun saja kandas, apalagi ini sama sekali tidak kenal.
"Kenapa nggak diajak ke sini?" tanya Zayna. Dia juga sudah menganggap orangtua sahabatnya itu seperti orangtua sendiri. Bahkan gadis itu memanggil mereka papa dan mama, sama seperti Alifia.
"Mama nggak enak sama mama tiri kamu, takut nanti dikira macam-macam."
"Apaan sih, kita juga cuma ngobrol saja."
"Sudahlah, nanti juga bisa ketemu mama sama papa," pungkas Alifia yang diangguki Zayna.
Keduanya pun berbincang beberapa hal. Hingga tidak terasa sebentar lagi akan memasuki waktu yang ditunggu-tunggu. Namun, hingga kini calon pengantin belum menunjukkan tanda-tanda kehadirannya.
"Al, apa aku harus mengalaminya lagi?"
"Kamu jangan berpikir seperti itu. Ini belum jam delapan."
"Kemarin juga seperti ini, Al." Zayna mulai meneteskan air matanya.
Alifia yang tidak tega pun segera memeluk sahabatnya. Dia tidak tahu harus bicara apa lagi.
"Heh, kenapa nangis?" tanya Savina saat memasuki kamar dan memandang aneh.
"Tidak ada, Ma. Hanya kelilipan saja."
"Pasti kamu yang bikin nangis, ya?" tanya Savina dengan memandang Alifia.
"Tidak, Tante. Aku nggak ngapa-ngapain," sanggah Alifia.
"Sudahlah, kamu itu ngeles terus. Sekarang kamu bersihkan air matamu. Saya nggak mau nanti orang ngira saya jahatin kamu," ujar Savina. "Setelah itu siap-siap keluar."
"Memang pengantin pria sudah datang, Tante?" tanya Alifia.
"Sudah dari lima belas menit yang lalu, tapi mereka nunggu pak penghulu di luar nggak mau masuk dulu. Katanya ban mobil pak penghulu bocor terus Ayman minta salah satu kerabatnya buat jemput tadi."
Zayna dan Alifia saling pandang dan tersenyum. Keduanya merasa lega karena apa yang ditakutkan tidak terjadi.
"Kalian kenapa, sih? Seperti orang gila saja senyum-senyum," tanya Savina.
"Tidak ada apa-apa, Ma. Alifia cuma mau ketemu sama calon suamiku, dia belum lihat, kan!" jawab Zayna sambil mengusap air matanya dengan tisu.
Alifia seketika melotot, bagaimana bisa sahabatnya ini berbohong seperti itu? Bohongnya juga nggak masuk akal. Namun, Zayna hanya tersenyum kearahnya tanpa rasa bersalah.
"Tidak apa-apa kalau dia ingin ketemu calon suamimu, asal jangan ada kegagalan pernikahan lagi karena calon suamimu lebih memilih temanmu ini."
"Tante, tenang saja. Saya bukan pelakor, kok! Lagian saya juga masih punya hati dan pikiran. Mana mungkin saya merebut milik orang lain, apalagi milik orang terdekat," sahut Alifia sekaligus menyindir.
"Apa maksud kamu bicara seperti itu? Kamu menyindir saya!"
"Tidak, Tante, tapi kalau Tante merasa tersindir, syukur, deh."
"Al," tegur Zayna. "Maafin Alifia, Ma, dia tidak ada maksud apa-apa."
"Kamu jangan banyak bergaul dengan dia. Ka—"
"Ma, kenapa lama sekali manggil pengantinnya? Penghulu sudah datang, cepat!" panggil Zivana di ujung pintu.
"Ini gara-gara kamu, saya jadi lupa tujuan saya datang ke sini," ucap Savina pada Alifia.
"Emang udah umurnya," gumam Alifia yang langsung mendapat tarikan dari Zayna pada lengannya.
"Ayo, Na! Kita keluar, jangan pedulikan dia. Semua orang sudah menunggu." Savina segera menarik tangan Zayna agar segera ke ruang tamu, tempat terjadinya akad nikah.
Zayna menoleh ke belakang dan menganggukkan kepala pada sahabatnya. Alifia yang mengerti pun tersenyum. Dia tidak ingin membuat keributan di hari bahagia ini. Biarlah gadis itu mengalah pada nenek sihir (kata salah satu pembaca sih begitu).
Savina menggandeng pengantin menuju tempat diadakannya akad nikah. Perlahan, tapi pasti, Zayna melangkah dengan anggun. Antara deg-degan dan takut. Telapak tangannya mulai mendingin, jantungnya pun berdetak lebih cepat. Dia terus saja menundukkan kepalanya.
Pengantin pria sudah duduk di depan pak penghulu yang baru datang. Tidak jauh berbeda dengan Zayna, Ayman juga merasakan hal yang sama. Sejak tadi dia berusaha mengatur napas agar tidak mengacaukan acara. Pria itu takut jika konsentrasinya pecah dan membuat calon istrinya kecewa.
Terdengar suara bisik-bisik dari para tamu membuat Ayman menoleh, seketika dunianya seperti berhenti. Calon istrinya tampak sangat cantik dengan kebaya putih pilihannya. Meski Zayna menunduk, tapi pria itu masih bisa melihat wajahnya dengan begitu jelas.
'Masyaallah, sungguh indah ciptaan-Mu. Aku bersyukur pilihanku tidak salah, kuharap dia memang Engkau takdirkan untukku,' batin Ayman dengan terus memandang calon istrinya.
"Jaga pandangan anak muda, belum halal," tegur pak penghulu.
"I–iya, Pak," sahut Ayman gelagapan.
"Wah, pengantinnya cantik sekali."
"Iya, berbeda dengan biasanya."
"Dia memang jarang ber-make up, makanya sekali pakai, dia seperti bidadari."
"Iya, dia sangat cantik. dekorasinya juga bagus banget, pasti mahal, tapi aku dengan calon suaminya cuma tukang ojek lalu, darimana uang sebanyak ini?"
Banyak lagi yang para tamu bicarakan. Akan tetapi, Ayman tidak peduli. Baginya hanya Zayna dunianya saat ini.
Pengantin wanita duduk di samping pengantin pria dengan mengambil jarak. Ini pertama kalinya mereka berdekatan. Sudah tidak bisa digambarkan lagi perasaan mereka. Senang, gugup, takut, dan perasaan lainnya menjadi satu.
Seorang ustaz mengawali acara dengan doa agar acara pagi ini berjalan dengan lancar. Semua orang juga sudah mulai tenang, tidak lagi terdengar bisik-bisik dari mereka. Hingga acara pun berlanjut dengan ijab kabul.
"Di sini tertulis jika mas kawinnya berupa cincin seberat tiga gram, apa benar?" tanya pak penghulu.
"Benar, Pak," jawab Ayman kemudian beralih menatap calon istrinya. "Sebenarnya itu bukan saya yang beli, itu cincin nenek. Beliau berkata untuk memberikannya pada istriku kelak dan itu kamu. Nggak papa, kan?"
.
.
.