Suatu kesalahan besar telah membuat Kara terusir dari keluarga. Bersama bayi yang ia kandung, Kara dan kekasih menjalani hidup sulit menjadi sepasang suami istri baru di umur muda. Hidup sederhana, bahkan sulit dengan jiwa muda mereka membuat rumah tangga Kara goyah. Tidak ada yang bisa dilakukan, sebagai istri, Kara ingin kehidupan mereka naik derajat. Selama sepuluh tahun merantau di negeri tetangga, hidup yang diimpikan terwujud, tetapi pulangnya malah mendapat sebuah kejutan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miracle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bantuan
Kara ingin terbangun dari mimpi buruk saat tubuh putri kecilnya ditutup kain putih oleh suster. Masing-masing dari mereka mengucapkan belasungkawa, tetapi mereka itulah yang membuat Finola tidak bisa diselamatkan. Andai suster serta dokter itu datang lebih cepat. Andai ia punya banyak uang. Pasti Finola akan selamat.
Kara sama sekali tidak mau menoleh kepada mereka. Ia memeluk tubuh Finola dengan erat. Ketidakrelaan ini sungguh menyiksa. Baru saja mereka bersama. Lalu, kenapa harus diambil? Ia tidak dapat menerima ini semua. Terlalu menyakitkan.
"Bangun, Finola. Ini Mama," ucap Kara.
"Sabar, Sayang. Ini sudah takdir kita," ujar Elno.
"Takdir kamu bilang? Andai mereka lebih perhatian kepada Finola. Pasti semua ini tidak akan terjadi."
Elno paham betul terlukanya hati Kara. Namun, pasien bukan hanya Finola seorang. Terlebih memang pelayanan rumah sakit tidak merata terhadap keluarga kurang mampu seperti Elno. Suratan takdir. Elno berpikir mungkin ini sudah jalannya.
"Kamu tunggu di sini. Aku mau urus administrasi dulu. Kita harus bawa Finola pulang. Aku akan telepon bu Warni buat minta tolong," ucap Elno.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah susah bertambah susah. Takdir seakan mempermainkan kehidupan Elno. Tidak ada yang lancar sekalipun. Finola telah tiada, dan kini mengeluarkannya dari rumah sakit membutuhkan uang.
Elno keluar dari rumah sakit mengendarai motor. Tujuannya menuju perumahan kedua orang tuanya karena hanya mereka saja yang bisa membantu. Sesampainya di sana, Elno menatap rumah tersebut. Ia meneguk ludah sebelum memencet bel.
Dua kali ditekan, pintu dibuka oleh sang ibu. Elno langsung memeluknya. Ia sungguh merindukan wanita paruh baya itu. Namun, suara bariton yang menyapa membuat Elno menarik dirinya.
"Sudah sadar! Sakit hidup di luar sana? Tau arti cari uang sendiri tanpa pengalaman, kan?" ucap Sanjaya.
"Elno datang karena perlu bantuan. Tolong Elno, Pa. Elno butuh uang buat biaya rumah sakit."
"Nak, kamu sakit?" tanya sang Ibu.
Elno menggeleng. "Cucu Mama sudah tiada. Putri Elno sudah meninggal, Ma. Finola sakit dan tidak bisa diselamatkan."
"Jadi, kamu minta uang kemari?" sembur Sanjaya.
"Sekali ini saja, Pa. Elno juga anak kalian."
"Tolongin saja, Pa. Elno anak kita," ucap sang Ibu.
"Papa akan bantu, tapi kamu harus kembali ke rumah ini. Ceraikan istrimu itu!"
"Mana bisa Elno melakukan itu. Kami baru saja berduka. Kasihani Elno, Pa," ucapnya memohon.
"Pintu keluar di depan. Pergi dari sini!" ucap Sanjaya.
"Kasih saja, Pa," ucap sang istri.
"Kalau dikasih, dia bakal minta lagi. Susah dikit minta kemari."
"Elno pinjam saja, Pa. Tolongin. Motor Elno yang jadi penjaminnya."
"Baik! Papa kasih kamu uang dan motormu Papa sita," ucap Sanjaya.
Elno mengangguk pasrah. Padahal motor itu bisa mempermudah ia ke mana-mana. Jika pun harus digadai untuk biaya rumah sakit, Elno ikhlas.
Uang senilai lima juta didapat. Elno segera pergi menumpang taksi online menuju rumah sakit. Ia bisa mengeluarkan Finola dengan uang itu sekaligus biaya pemakaman.
Biaya administrasi rumah sakit telah diselesaikan. Elno, Kara menumpang mobil ambulan membawa putri mereka ke rumah sewa. Sampai di bilik kecil keduanya, pelayat sudah berdatangan. Sahabat Elno juga datang karena saat di perjalanan pulang dari rumah orang tuanya, Elno mengabarkan kabar duka itu.
Pelayat menyambut kedatangan mereka. Finola berpindah ke tangan seorang pria paruh baya yang lekas membawa jasad sang bayi ke dalam rumah. Kara bersimpuh di depan sang putri kecil. Bu Warni, Sari serta tetangga lain mencoba untuk menguatkan. Sore ini juga Finola akan dimakamkan.
"Yang sabar, El," ucap Ilmi.
"Kamu yang tabah, Sob," sambung Tedi.
Elno mengangguk. "Terima kasih sudah datang. Aku tidak sanggup. Kara begitu terpukul."
"Semoga dia diberi ketabahan." Ilmi menatap lekat Kara yang menangis tersedu.
"Kamu harus tetap bersamanya, El," ucap Tedi.
"Iya. Aku akan selalu bersamanya."
...****************...
Proses pemakaman dilakukan. Kara semakin menitikkan air mata ketika Finola masuk ke liang lahat. Ketika tanah menyiram tubuh kecilnya. Rasanya tidak sanggup. Sungguh. Namun, itu semua adalah kenyataan yang harus diterima.
"Sabar, Kara," ucap Sari
"Finola, Sar. Aku ingin bersamanya."
"Aku tau rasanya. Finola sangat disayang. Itu sebab ia diambil begitu cepat. Di sana Finola akan mendapat tempat yang paling terindah," tutur Sari.
"Amin," ucap Kara.
Satu per satu pelayat pergi dari pemakaman. Kara menabur bunga di sekitar makam, lalu mendoakan putrinya termasuk Elno serta ketiga sahabatnya.
"Kita pulang duluan, ya," pamit Ilmi.
"Terima kasih kalian mau datang," ucap Elno.
"Pasti kami datang. Kalian sahabat kami," sahut Tedi.
"Kalian yang tabah," ucap Sari.
"Terima kasih," balas Kara.
Ketiganya berlalu dari makam. Elno dan Kara masih di sana meratapi kepergian putrinya. Tidak henti telapak tangan Kara mengusap nisan yang bertuliskan nama Finola.
"Semoga kamu tenang, Nak," ucap Kara lirih.
"Sayang, kita pulang, yuk," ajak Elno.
Kara menganggu, lalu bangkit berdiri. Elno mengulurkan tangan yang disambut oleh Kara. Keduanya berjalan keluar dari tanah kusir. Namun, Kara bingung mereka pulang naik apa. Tidak ada kendaraan di sekitar.
"Motormu mana?" tanya Kara.
Elno tersenyum. "Motornya digadai, Sayang."
"Untuk biaya rumah sakit?"
"Iya," jawab Elno.
"Kita jalan saja. Setelah sampai luar, kita naik taksi."
Elno merangkul Kara. "Kita jalan bersama."
...****************...
Dibalik kesusahan, Tuhan akan memberi kemudahan. Elno tidak tahu apakah ini yang dinamakan keajaiban yang ia dapat setelah nasib malang yang menerpanya.
Uang sumbangan yang ia dapat dari pelayat serta teman kampus berjumlah delapan juta rupiah. Elno bisa mengembalikan uang orang tuanya dan sisa uang itu dibisa untuk membayar uang kuliah. Elno bisa sejenak bernapas untuk enam bulan kemudian dari membayar uang semester.
"El, aku ingin kerja. Aku bisa bantu kamu," ucap Kara.
"Sebenarnya aku enggak ingin kamu kerja. Tapi, kalau itu sudah keinginan kuat-mu, aku tidak bisa menolaknya," sahut Elno.
"Mungkin akan butuh waktu lama. Cari pekerjaan juga enggak gampang."
Elno mengusap puncak kepala istrinya. "Pelan-pelan saja. Aku masih bisa memberimu makan."
Kara mengangguk. "Iya. Aku akan mulai besok. Dapat kerja jadi pelayan juga enggak apa-apa. Daripada diam di rumah."
"Kalau kamu rajin dan enggak cepat putus asa, pasti akan dimudahkan. Semua butuh proses. Cepat atau lambatnya itu tergantung sama yang di atas."
"Kamu makin bijak," ucap Kara.
"Aku sudah membuktikannya. Kalau malas, banyak gengsi, enggak bakalan dapat duit. Setiap usaha pasti akan ada hasil. Jika usaha itu belum berkembang, maka kita harus usaha lebih giat lagi," tutur Elno.
"Aku mencintaimu, El." Kara mengecup pipi suaminya.
"Kalau aku jangan ditanya. Pasti aku sangat mencintai istriku ini."
Bersambung
penuh makna
banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari cerita ini.
sampai termehek-mehek bacanya
😭😭😭😭🥰🥰🥰
ya Tuhan.
sakitnya