Ava Seraphina Frederick (20) memiliki segalanya kekayaan, kekuasaan, dan nama besar keluarga mafia. Namun bagi Ava, semua itu hanyalah jeruji emas yang membuatnya hampa.
Hidupnya runtuh ketika dokter memvonis usianya tinggal dua tahun. Dalam putus asa, Ava membuat keputusan nekat, ia harus punya anak sebelum mati.
Satu malam di bawah pengaruh alkohol mengubah segalanya. Ava tidur dengan Edgar, yang tanpa Ava tahu adalah suami sepupunya sendiri.
Saat mengetahui ia hamil kembar, Ava memilih pergi. Ia meninggalkan keluarganya, kehidupannya dan juga ayah dari bayinya.
Tujuh tahun berlalu, Ava hidup tenang bersama dengan kedua anaknya. Dan vonis dokter ternyata salah.
“Mama, di mana Papa?” tanya Lily.
“Papa sudah meninggal!” sahut Luca.
Ketika takdir membawanya bertemu kembali dengan Edgar dan menuntut kembali benihnya, apakah Ava akan jujur atau memilih kabur lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
Sepulang sekolah, janji Lily dan Luca pada Ava untuk menunggu di sekolah, diabaikan sepenuhnya.
Kedua bocah itu berlari keluar gerbang, mata mereka terpaku pada tujuan utama, gedung tertinggi di kota, markas besar Kenzo Corporation, tempat dimana Edgar akan berkunjung siang ini.
Mereka berjalan cepat, tangan mungil mereka saling menggenggam erat. Lily di depan, memimpin jalan sementara Luca mengikuti, sesekali terbatuk pelan namun tetap antusias.
Mereka akhirnya berhenti tepat di depan lobi gedung kaca yang menjulang tinggi, yang terlihat megah dan luar biasa dibandingkan kontrakan mereka.
“Lihat, Luca!” bisik Lily kagum, menunjuk ke atas.
“Papa kita pasti sangat kaya!”
“Ya dan dia pasti sangat tinggi,” jawab Luca, mendongak hingga lehernya pegal.
Tepat saat mereka hendak melangkah menyeberangi jalur masuk lobi, sebuah mobil limosin hitam mewah meluncur cepat.
Ckiiiiiiit!
Mobil itu mengerem mendadak, menghasilkan bunyi decitan ban yang nyaring dan mengagetkan.
Jarak antara bemper mobil dengan sepatu sekolah mereka hanya tinggal sejengkal.
Di kursi kemudi, Jeremy menelan ludah ketakutan.
“Maaf, Tuan Edgar! Ada dua anak kecil tiba-tiba menyeberang!”
Edgar, yang duduk di kursi belakang, sedang sibuk meninjau dokumen tentang pencurian mata berlian. Ia mengangkat wajahnya dengan kesal.
“Anak-anak? Di sini?” desis Edgar dingin. Ia menoleh sebentar, berniat memarahi siapapun yang menyebabkan keterlambatannya.
Seketika pandangannya terkunci pada dua sosok kecil yang terpaku di depan mobilnya.
Meskipun sudah tujuh tahun berlalu, wajah kecil itu, terutama mata mereka yang tajam dan mirip dengan mata Ava dan juga matanya sendiri langsung menusuk kesadaran Edgar.
Edgar ingat malam panas itu, dan wajah Ava yang kini selalu menghantui. Tanpa berpikir panjang, Edgar membuka pintu mobil dan turun.
Jeremy menelan ludah susah payah. “Jangan-jangan Tuan Edgar akan menghabisi mereka?” pikir Jeremy ngeri, mengingat betapa buruk suasana hati tuannya belakangan ini.
Ternyata dugaannya salah total. Edgar yang biasanya dingin dan tak tersentuh, kini berlutut, menyejajarkan dirinya dengan dua bocah itu.
Ia menatap mereka bergantian, gadis kecil yang chubby dan bersemangat, serta bocah laki-laki yang pucat dan pendiam.
“Hei,” sapa Edgar, suaranya jauh lebih lembut daripada yang pernah didengar Jeremy. “Kalian baik-baik saja? Kenapa menyeberang tanpa melihat? Kaliam tahu ini sangat berbahaya?”
Lily dan Luca menganga. Sosok pria yang mereka bicarakan tadi pagi, yang fotonya masih tersembunyi di saku rok Lily, kini ada tepat di hadapan mereka.
Sangat tampan, benar-benar sangat tampan, pikir mereka dalam hati.
Lily, yang kembali ke mode cerewetnya, segera membalas. “Kami baik-baik saja. Tapi paman yang di dalam mobil tadi yang hampir menabrak kami, dia yang tidak melihat! Apa dia buta?!”
Edgar tersenyum tipis. Ia mengabaikan Jeremy yang melotot di dalam mobil karena dimarahi bocah kecil.
“Paman minta maaf. Apa kalian sendirian di sini? Di mana orang tua kalian?” tanya Edgar, pandangannya beralih pada Luca yang tampak pucat.
Luca, yang pendiam, tiba-tiba angkat bicara. Ia menatap mata Edgar, dengan keberanian yang mengejutkan. Ia teringat kata-kata ibunya, dan hinaan Cleo.
“Ayah kami? Dia tidak bertanggung jawab,” ujar Luca dingin. “Dia meninggalkan kami dan mama. Dia menelantarkan kami dan membuat mama harus bekerja keras sendiri.”
Ekspresi Edgar langsung berubah membeku. Ada rasa sakit dan menusuk di dadanya, meskipun ia tidak tahu siapa Luca dan wanita yang dimaksud bocah ini.
“Luca!” tegur Lily, menepis lengan adiknya. Ia tidak suka ayahnya dihina.
Lily maju selangkah, menatap Edgar dengan mata berbinar-binar. “Jangan dengarkan Luca, Paman. Papa kami pasti sedang sibuk di luar angkasa, mencari uang di bulan. Dia pahlawan! Mama bilang papa tidak penting, tapi itu pasti bohong, kan? Paman setampan ini, tidak mungkin Paman tidak penting!”
Edgar terdiam. Kata-kata konyol, ajaib, dan menggemaskan dari Lily berhasil meluluhkan hatinya yang beku. Anak-anak ini begitu jujur, begitu bersemangat.
“Kalian lucu sekali,” gumam Edgar, tersenyum untuk pertama kalinya hari itu. Ia tidak tahu kenapa, tetapi rasa sakit mendengar keluhan Luca tentang ayah yang tidak bertanggung jawab, bercampur dengan tawa kecil karena pembelaan aneh Lily, membuatnya merasa nyaman.
“Paman sedang terburu-buru,” kata Edgar, berdiri tegak. “Tapi paman akan pastikan mobil paman tidak akan menabrak kalian. Kalian tunggu di sini. Jangan ke mana-mana sampai orang tua kalian datang.”
Lily menggeleng. “Kami tidak bisa menunggu, Paman. Kami ke sini untuk mencari seseorang.”
“Siapa?” tanya Edgar, penasaran.
Lily mencondongkan tubuhnya ke depan, berbisik misterius. “Kami mencari ayah kami. Dia ada di gedung ini. Kami mau bilang, agar dia segera pulang dan mengobati Luca!”
Edgar terpaku. Jantungnya berdebar kencang. Ayah mereka ada di gedung ini?
Siapa?
Edgar menatap bocah itu bergantian. Ada koneksi tak terbantahkan yang ia rasakan. Sepertinya ia harus menyelidiki lebih lanjut.
“Baiklah,” kata Edgar. “Paman akan masuk duluan. Tapi kalian harus janji, jangan lari-lari sembarangan lagi. Dan tunggu asisten paman di lobby setelah memarkirkan mobil.” Ia menunjuk Jeremy.
Lily dan Luca mengangguk antusias. Mereka berhasil. Mereka sudah tahu bagaimana rupa ayahnya.
Edgar kembali masuk ke mobil, pikirannya kacau balau. Ia lupa sepenuhnya tentang mata berlian. Yang ada di benaknya hanyalah dua pasang mata itu, dan pertanyaan.
“Jer, menurutmu siapa bawahanku yang sudah menikah dan punya dua anak menggemaskan seperti mereka?” tanya Edgar.
Uhuk!
Jeremy tersedak ludahnya sendiri. Menggemaskan? Sejak kapan Edgar bisa memuji seorang bocah kecil? Padahal pada Cleo saja dia acuh.
lanjut kak sem gat terus💪💪💪
apa² jgn² kamu menyukai ivy...
kl iya tamat lah riwayat mu jeremy
untung edgar cocok y coba kl ava ataupun edgar tidak cocok... pastinya mereka disuruh memilik anak lagi🤔