Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cahaya Malam dan Hujan yang Aneh
Langit malam begitu jernih ketika Hana dan Ren tiba di taman pusat. Lampu-lampu taman menyala lembut, memantulkan cahaya ke danau kecil di tengah-tengah taman. Jalan setapaknya dihiasi batu halus, dan bunga-bunga malam bersinar samar seperti kunang-kunang yang tertanam di tanah.
“Waaah... masih ada!” seru Hana sambil berlari kecil ke arah bunga bercahaya di sisi jalan. “Aku kira taman ini udah nggak dirawat.”
Ren berjalan pelan di belakangnya, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku. “Jangan berlarian hana, kamu bisa saja terjatuh...”
Hana tersenyum lalu berjongkok, seolah tak menghiraukan peringatan dari ren. Ia memandangi bunga berwarna ungu dengan cahaya biru kehijauan yang menyala dari kelopaknya. “Hmmm, lihatlah ren... Sangat cantik bukan?”
Ren tersenyum hangat, "Ya, sangat cantik..." ucap nya sembari menatap gadis itu. Seolah kata-kata yang ia ucapkan tertuju pada hana.
“Dulu aku sering ke taman kayak gini nggak, ya?” gumam Hana sambil menyentuh kelopak bunga dengan ujung jarinya. “Rasanya... familiar, tapi aku gak bisa inget kapan.”
Ren mendekat. “Mungkin kamu memang pernah. Atau mungkin, kamu hanya... menyukainya.”
Hana menengadah. “Hmmm bisa jadi sih...”
Ren menoleh padanya. “Aku tahu kamu menyukai hal-hal yang bersinar di kegelapan. Mungkin itu sebabnya kamu suka aku.”
Hana pura-pura melotot. “hehhh, pede banget kamu...”
Mereka tertawa. Suasana malam yang tenang, cahaya lembut, dan suara air danau menciptakan suasana yang hampir magis. Hana berjalan lebih jauh ke bagian tengah taman, di mana terdapat bangku-bangku kecil yang menghadap danau. Ia duduk, menyilangkan kakinya, dan memandang pantulan cahaya di air.
Ren ikut duduk di sampingnya. Hening sebentar, tapi bukan hening yang canggung—lebih seperti jeda yang nyaman.
“Kamu bahagia sekarang?” tanya Ren tanpa menoleh.
Hana mengangguk pelan. “Iya... entah kenapa. Padahal gak ada hal besar yang terjadi, tapi rasanya damai.”
Ren ikut menatap danau. “Mungkin itu karena kamu sedang bersama orang yang kamu cintai hana, aku juga merasakan hal yang sama...”
Hana menyandarkan kepalanya ke bahu Ren. Ren tidak bergerak menjauh—sebaliknya, ia membiarkan Hana bersandar di sana, hangat dan tenang.
“Hmmm, kamu benar ren... Semenjak ada kamu, dunia aku udah beda banget...” bisik Hana.
Tiba-tiba, angin bertiup sedikit lebih dingin dari biasanya. Helaian rambut Hana menari pelan, dan Ren secara refleks melepas jaketnya, menyampirkannya ke pundak Hana.
“Kalau kamu masuk angin, aku yang repot,” katanya ringan.
Hana tersenyum kecil. “Ternyata kamu bisa juga ya jadi perhatian.”
Ren menatap langit. “Belakangan aku mulai banyak mikir soal hal-hal kecil. Dan... kamu.”
“Kenapa aku?”
“Karena kamu satu-satunya hal yang terasa penting.”
Hana diam. Kalimat itu terasa terlalu besar untuk dijawab dengan bercanda, tapi terlalu indah untuk diabaikan. Ia hanya menatap danau yang tampak mulai beriak... padahal tidak ada angin lagi.
“Eh... itu...” Hana menunjuk ke permukaan air.
Ren berdiri. “Hujan.”
Benar saja, butir-butir air mulai turun perlahan. Taman masih sunyi, tak ada orang lain selain mereka. Hujan turun pelan, seperti rintik yang lembut, bukan badai.
Hana berdiri juga, mendongak ke langit.
“Langitnya... tetap cerah, tapi kok bisa hujan?”
Ren ikut mendongak. “Seharusnya... tidak ada hujan malam ini. Ramalan cuaca menyatakan langit cerah penuh.”
Hana sudah lebih dulu melepas jaket dan berdiri di tengah jalan taman, membiarkan rintik menyentuh kulitnya. Ia menutup mata, tertawa kecil.
“Ahh, ini seru banget! Aku suka banget hujan kayak gini!”
Ren memandangnya dari kejauhan, tubuhnya sedikit kaku. Tangannya terangkat, seolah ingin menyentuh air hujan, tapi ia urung.
“Kamu gak ikut, Ren?” seru Hana sambil memutar badannya.
Ren akhirnya melangkah pelan ke arahnya. Air hujan menyentuh bahunya, kemudian wajahnya. Ia merasakan dingin, tapi bukan dingin biasa—lebih seperti kejutan yang mengganggu keseimbangan dirinya.
Ren menatap Hana yang sangat menikmati hujan malam itu. Air menetes dari rambut Hana, serta membasahi wajahnya yang lembut.
“Kamu selalu menyukai hujan hana... Sama seperti dulu... " ucapnya, nyaris tak terdengar.
Hana menoleh. “Apa?”
Ren menggeleng cepat. “Tidak apa hana, aku hanya khawatir... Lebih baik kita pulang.”
Hujan semakin deras, tapi tidak ada petir, tidak ada badai. Seolah hujan ini memang hanya diturunkan untuk menemani mereka malam itu.
Akhirnya, Hana berhenti menari. Ia berjalan kembali ke arah Ren, tubuhnya basah kuyup. Ia tertawa kecil, napasnya sedikit memburu.
“Kamu lucu banget, berdiri kaku gitu. Kayak robot yang error.”
Ren menghela napas. “Mungkin karena aku masih belajar. Hujan... terasa asing. Tapi sekarang... mungkin gak seburuk itu.”
Mereka berdua berjalan kembali ke arah pintu keluar taman, langkah pelan, basah, tapi hati hangat.
Sebelum mereka benar-benar meninggalkan taman, Hana menoleh sekali lagi ke arah bunga-bunga yang masih menyala, walau kini tertunduk karena hujan.
“Ren,” panggilnya.
“Iya?”
“Kalau suatu hari nanti... Kamu berubah. Entah karena waktu, atau karena kamu gak bisa inget hal-hal seperti sekarang... kamu masih akan nemenin aku, kan?”
Ren berhenti. Ia menatap Hana, lalu mengangguk.
“Aku akan tetap di sini. Selama kamu ingin aku tetap di sisimu... Dan aku tak akan pernah melupakan mu hana.. ”
Hana tersenyum. “Oke. Kalau gitu, jangan berubah jadi aneh ya. Kayak AI-AI drama yang tiba-tiba jahat.”
Ren tertawa. “Kalau aku berubah, kamu pukul aja. Biar sistemku reboot.”
Mereka keluar dari taman sambil tertawa, tangan mereka tidak bersentuhan, tapi jarak di antara mereka semakin tipis.
Dan hujan terus turun, seolah membasuh sesuatu yang belum siap untuk diingat
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.