Di khianati dan terbunuh oleh orang yang dia cintai, Nada hidup kembali di tubuh seorang gadis kecil yang lemah. Dia terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa?
"Kakak, tolong balaskan dendam ku." Pinta gadis kecil yang namanya hampir sama dengan Nada.
"Hah!! Gimana caranya gue balas dendam? tubuh gue aja lemah kayak gini."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.17
Setelah berkenalan dengan Kara, Rowman memutuskan untuk pergi ke kantor. Dan Hana mengantar Rowman ke depan.
"Hati-hati Daddy." Hana melambaikan tangannya dan tersenyum, dari belakang Hana. Kara memperhatikan mereka dan menatap Rowman tak suka.
Diana pun menyadari tatapan itu. Namun, dia tak menaruh curiga. Mungkin hanya iri begitu pikir Diana.
"Ayo masuk, kita main di dalam lagi." Ajak Diana, dijawab anggukan Hana.
"Ayo Kara." Hana pun mengajak Kara, mereka bermain bersama dan makan bersama. Lalu setelah makan siang, Kara pun pamit untuk pulang. Dia akan mengecek pekerjaan Alfa.
"Besok aku kesini lagi, Hana." Janji Kara.
"Janji ya? Jangan bohong loh!"
"Iyaa, kalau Papa aku gak jemput." Kara tersenyum.
"Memang Papa kamu kemana, Kara?" tanya Hana, kini mereka sudah duduk di tempat bermain.
"Mama dan Papaku, sudah berpisah saat aku masih kecil. Aku gak tau kenapa, tapi aku ingat saat Mama nangis karena Papa." Jelas Kara menerawang jauh.
Hana pun menatap kasian Kara, dan mengusap tangannya dengan lembut.
"Masih ada aku, Kara. Anggap saja Daddy ku adalah Papa kamu juga." Kata Hana, membuat Kara tersenyum.
"Bagaimana kalau kamu tahu, Hana. Kalau Daddy mu yang kamu banggakan adalah seorang pembunuh? Apa kamu akan senang dan bangga lagi, memiliki Ayah seperti Rowman?"
Kara menatap Hana, lalu mengajak lagi bermain.
****
Dirumah Evelin, Alfa dengan terpaksa mengerjakan semua pekerjaan rumah.
"Shit! Bodoh, kenapa juga gue nurut sama bocah sialan itu." Gerutu Alfa, dia pun melemparkan sapu yang di pegang dan memilih merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Dengan segelas kaleng soda di tangannya.
"Gue harus menghubungi dia, gue butuh bantuan dia buat melakukan sesuatu pada bocah itu." Alfa meneguk minumannya dengan pelan.
Dia memikirkan rencana untuk Kara, dan agar secepatnya menikahi Evelin. Saat bersantai dia terkejut dengan pintu yang terbuka dengan kasar, Kara melipat tangan didada dan menatap Alfa dengan tatapan horor.
"Wahh, apa sudah selesai pekerjaan rumahnya. Om Alfa?" tanya Kara dengan lembut, dia pun masuk ke dapur mengecek pekerjaan Alfa.
Bagian dapur bersih, sedangkan lantainya masih kotor. Tumpukan baju milik Alfa belum sama sekali dicuci, apalagi miliknya dan Evelin. Sebelum berbalik Kara menyeringai, dia pun masuk ke ruang laundry.
Semua itu tak luput dari perhatian, Alfa. Dia pun bernafas dengan lega karena Kara mengerjakan pekerjaan rumah, tanpa Alfa tahu setelah mencuci Kara masuk ke dapur berniat memasak dan kembali mencuci gelas.
"Jangan pernah main-main sama, Nada dan Kara. Alfa," bisik Kara tersenyum sinis.
Kara dengan sengaja memecahkan gelas dan melukai tangannya, walau sakit dia akan menahannya. Nada dan Kara pernah merasakan sakit yang luar biasa, Alfa sendiri tidak mendengar dia fokus menonton televisi.
Kara melirik jam dinding.
"Sebentar lagi, Evelin pulang."
Dia membawa peralatan untuk mengepel lantai.
"Nah gitu dong, jadi anak yang penurut nanti Om kasih kamu kenikmatan." Goda Alfa mengedipkan matanya, sementara Kara hanya menatap Alfa dengan datar.
Kara mendengar suara dari luar, dengan segera dia menjatuhkan air dan menjatuhkan dirinya sendiri. Alfa pun terkejut melihat itu, berniat menghampiri Kara. Namun, sebelum itu suara Evelin membuat Alfa panik.
"Apa yang kamu lakukan, pada Kara. Alfa?" pekik Evelin, saat membuka pintu Kara menangis dan menatap Alfa dengan takut.
"A-aku, aku tidak melakukan apapun pada Kara. Ev, percayalah ini semua bohong." Jelas Alfa.
"Jadi menurut, Om. Aku yang bohong begitu? Sejak Mama pergi Om, selalu menyuruhku membersihkan rumah, membersihkan perabotan yang kotor. Lalu mencuci baju Om. Sedangkan baju-bajuku, belum aku cuci dan baru aku cuci sekarang." Isak Kara, dia memeluk Evelin dengan erat. "Bahkan aku gak bisa main."
Evelin menatap Alfa dengan tajam.
"Ev, percayalah semuanya aku yang mengerjakan dia..."
"Mama lihat, tangan aku berdarah karena memungut gelas yang pecah. Dan Om Alfa memarahiku karena gak sengaja memecahkan gelas," Kara menunjukan tangan yang berdarah.
"Sayang Kara." Mata Evelin berkaca-kaca, melihat tangan sang anak terluka.
"Ma, aku capek aku mau kerumah Papa saja kalau begitu." Lirih Kara.
"Engga sayang, kamu tetap sama Mama aja. Mama gak rela kamu sama Papa," tolak Evelin, dia pun menatap Alfa.
"Tega kamu sama anak aku, selama ini aku selalu menuruti apapun yang kamu mau. Tapi kenapa kamu menyakiti anakku." Marah Evelin, membuat Alfa terdiam dia melirik Kara dan yang tersenyum mengejek. Namun, saat Evelin berbalik Kara memasang wajah sedih.
Alfa mengepalkan tangannya, dia kalah oleh anak kecil.
"Mama sakit." Rengek Kara, membuyarkan lamunan Alfa.
"Sebentar Mama ambilkan kotak obat dulu, lebih baik kamu duduk ya!"
"Tapi, Ma. Gimana sama pekerjaan rumah?" tanya Kara.
"Gak papa, biar Mama yang mengerjakannya." Kata Evelin, dia pun berjalan mengambil kotak obat.
"Jangan pernah main-main dengan aku, Alfa. Ini baru permulaan," bisik Kara, walau begitu Alfa masih mendengarnya.
"Kamu ..."
"Mama." Isak Kara. Namun, wajahnya tersenyum dengan dingin.
Evelin pun datang dengan kotak obat di tangannya, dia membersihkan luka di tangan Kara dengan pelan. Sementara Alfa menjauh dari Ibu dan Anak tersebut, dia masih tidak menyangka dengan perubahan Kara.
"Sudah, sekarang kamu istirahat ya! Pasti capek, maafkan Mama sayang." Ucap Evelin dengan lembut.
"Gak papa, aku mau bantuin Mama ngerjain semuanya. Terus kita makan di luar, gimana Ma?" tanya Kara.
"Boleh, udah lama kita gak makan di luar." Balas Evelin, Kara dan Evelin pun membersihkan kekacauan yang Kara buat.
Kara sendiri dia menjemur baju yang sudah dicuci, setelah selesai dia memilih membersihkan diri karena sudah lengket.
Saat masuk ke dalam kamar, dia menatap Alfa yang memperhatikannya dari jauh dan tersenyum.
Senyum yang mengandung arti, membuat Alfa merinding seketika.
****
Samudra menatap laptop didepannya, kejadian beberapa tahun lalu terpampang nyata di depannya. Dimana Nada tersenyum manis, saat memasuki kawasan rumah susun tersebut. Sisanya dia tidak tahu, karena dulu rumah susun tersebut sangat minim cctv.
"Nada, tolong berikan kakak petunjuk." Gumam Samudra, dia juga sudah menyuruh orang untuk menyelidiki lebih lanjut.
Dan katanya mereka janji akan memberi kabar sore ini. Namun, Samudra sudah tak sabar. Dulu, dia tidak menyelidiki lebih lanjut karena percaya pada ucapan Salsa bahwa Nada keracunan makanan. Dan Samudra tidak percaya, dia akan membuka kasus ini kembali.
Lalu Rowman memberitahu, semua harga peninggalan orang tuanya Nada sudah dialihkan menjadi milik Rowman. Ingin menuntut, tapi Nada mencintai Rowman. Bahkan pernah berselisih dengan Ibunya Julia.
"Sam." Panggil Julia, yang sengaja datang ke kantor untuk menemui Samudra sekalian suaminya.
"Mom." Samudra memeluk Julia dengan erat, mencoba mencari ketenangan dalam setiap sentuhan hangat Ibunya.
"Gimana, udah ada kabar?" tanya Julia.
"Belum, mereka masih menyelidiki penyebab kematian Nada. Tapi, aku yakin Nada bukan keracunan seperti yang dikatakan Salsa." Jelas Samudra, kini mereka sudah duduk.
Julia adalah adik dari Ibunya Nada, sedangkan Ayahnya Samudra juga masih memiliki ikatan kerabat jauh dari pihak Ayahnya Nada.
Rowman juga sulit untuk diminta keterangan, dan dia lebih percaya pada Embun yang dulu mengatakan bahwa Nada dibunuh Rowman. Namun, tidak ada bukti yang mengarah pada kekasih Nada tersebut.
"Semoga semuanya cepat selesai, dan Mommy harap jiwanya Nada tenang di alam sana." Doa Julia penuh harap, Samudra pun mengaminkan doa Ibunya.
Mereka berbincang sebentar, sebelum Julia pamit untuk bertemu sang suami.
Bersambung ...
Maaf typo
Komen guyss ~~