Dunia tiba-tiba berubah menjadi seperti permainan RPG.
Portal menuju dunia lain terbuka, mengeluarkan monster-monster mengerikan.
Sebagian manusia mendapatkan kekuatan luar biasa, disebut sebagai Player, dengan skill, level, dan item magis.
Namun, seiring berjalannya waktu, Player mulai bertindak sewenang-wenang, memperbudak, membantai, bahkan memperlakukan manusia biasa seperti mainan.
Di tengah kekacauan ini, Rai, seorang pemuda biasa, melihat keluarganya dibantai dan kakak perempuannya diperlakukan dengan keji oleh para Player.
Dipenuhi amarah dan dendam, ia bersumpah untuk memusnahkan semua Player di dunia dan mengembalikan dunia ke keadaan semula.
Meski tak memiliki kekuatan seperti Player, Rai menggunakan akal, strategi, dan teknologi untuk melawan mereka. Ini adalah perang antara manusia biasa yang haus balas dendam dan para Player yang menganggap diri mereka dewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theoarrant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembantaian
...Perhatian adegan ini penuh kesadisan dan unsur seksual tidak untuk anak dibawah umur....
Jeritan memenuhi rumah kecil itu.
Bau darah yang menyengat bercampur dengan asap dari desa yang terbakar, menciptakan neraka yang tak terbayangkan.
Ayah Rai berusaha melawan dengan sebilah parang tua satu-satunya senjata yang ia miliki.
Namun, di hadapannya berdiri seorang Swordsman, Player berbaju zirah hitam dengan pedang yang masih meneteskan darah.
"Hanya segini perlawananmu?"
Swordsman itu menyeringai, mengayunkan pedangnya dengan kecepatan yang tak bisa ditangkap mata manusia biasa.
"Slash!"
Suara daging terbelah memenuhi udara.
Mata Rai membelalak lebar saat melihat kepala ayahnya terpotong bersih, terlempar ke udara sebelum jatuh dengan bunyi
"thud" yang berat.
Tubuhnya yang tanpa kepala masih berdiri selama beberapa detik, sebelum akhirnya roboh ke tanah dengan darah menyembur liar ke segala arah.
"AAAAAAHHH!!!"
Liana menjerit, tubuhnya bergetar hebat.
Rai yang bersembunyi menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan teriakannya sendiri.
Ibu Rai menjerit, namun sebelum ia bisa berlari, seorang pria berbadan besar mencengkeram kepalanya seperti mencengkram buah.
"Jangan terlalu berisik, wanita tua."
Jari-jari kekarnya menekan tengkorak ibu Rai, menyebabkan darah mengalir dari sela-sela rambutnya.
"Lepaskan dia, dasar bajingan!"
Liana, kakak Rai, mencoba menerjang, tetapi seorang Assassin wanita dengan pisau melengkung menyambar pergelangan kakinya.
Sraasssh!
Liana jatuh tersungkur, urat tendonnya terputus, membuatnya tak bisa berdiri lagi dan hanya bisa mengerang
"Lihat gadis ini, meronta seperti anak burung yang ketakutan," bisik Assassin itu dengan nada mengejek.
"Dia cantik," kata seorang pria berpakaian seperti Healer sambil menarik rambut panjang Liana, memaksanya mendongak.
"Kita harus bersenang-senang dulu sebelum membunuhnya."
"TIDAK! JANGAN!!!" Liana menjerit, berusaha melawan tetapi hanya bisa meronta karena kakinya lumpuh
Healer itu menendang perutnya keras-keras, membuatnya merintih kesakitan.
Tangan kasar Healer menarik pakaiannya dengan paksa, merobek kain yang menutupi tubuhnya.
Healer itu membuka celananya dan mulai mempermainkan tubuh kakaknya.
Rai hanya bisa melihat dengan mata yang memerah oleh air mata dan kemarahan.
Liana meronta, menjerit, menangis tetapi itu hanya membuat Healer itu semakin terangsang karena menikmati penderitaannya.
"Jangan! JANGAN!"
Ibu Rai meronta, namun tangan pria besar itu semakin kuat menggenggam kepalanya.
"Kau harus lihat semuanya," bisiknya sambil memutar tubuh ibu Rai menghadap Liana.
Dengan bersimbah air mata ibu Rai dipaksa melihat anaknya diperkosa didepan mata kepalanya.
Liana yang sudah tak berdaya hanya bisa pasrah menerima perlakuan bejad sang Healer.
Sementara itu, seorang Necromancer dengan jubah ungu mendekati tubuh ayah Rai yang tak berkepala.
Dengan senyuman sadis, ia mulai merapal mantra.
Tulang-tulang mulai bergerak.
Tubuh ayah Rai terangkat kembali, meski kepalanya telah terpenggal. Daging dan ototnya yang tersisa bergerak secara tak wajar, seperti boneka yang dikendalikan oleh tali yang tak kasat mata.
"Kita buat dia lebih berguna setelah mati," ucap Necromancer itu sambil tertawa.
Mata Liana melebar saat melihat tubuh ayahnya yang telah menjadi boneka bergerak ke arahnya dengan gerakan kaku.
"A... Ayah...?" bisiknya, namun tubuh itu tak lagi mendengar.
Dan di detik berikutnya...
CRACK!
Pria berbadan besar itu menghancurkan kepala ibu Rai dengan satu genggaman, darah dan serpihan tengkorak berhamburan, membanjiri lantai kayu rumah mereka.
Liana yang sudah lemas kembali menjerit histeris.
Necromancer terkekeh, mengangkat tubuh ibu Rai yang sudah tak berkepala dan mulai mengubahnya menjadi boneka yang sama seperti ayahnya.
Kini, kedua orang tua mereka berdiri kembali, meski mereka tak lagi bernyawa.
Liana mencoba menggerakkan, tubuhnya yang gemetar.
"T-Tolong..."
Namun tak ada belas kasihan.
Healer itu menyembuhkan Liana yang sudah terkulai lemas tetapi hanya untuk dijadikan mainan oleh Player berikutnya.
"Dasar para pria cabul," kata wanita Assassin itu sambil terkikik.
Rai menggigit lidahnya sendiri hingga berdarah.
Ia ingin keluar dan membunuh mereka, Ia ingin menghancurkan semuanya Tapi... tubuhnya tidak bisa bergerak.
Ia terlalu takut.
Ia hanya bisa menyaksikan.
Mengapa ini terjadi?
Mengapa tidak ada yang datang membantu?
Mengapa Player bisa melakukan ini sesuka mereka?!
Menit-menit berlalu seperti siksaan abadi.
Dan akhirnya setelah mereka bergantian puas mempermainkan kakaknya, Player berambut merah berpenampilan seorang Mage menatap gadis itu dengan senyum bengis.
"Cukup bermain. Sekarang kita bakar dia."
Ia mengangkat tangannya, cahaya merah terang berkumpul di telapak tangannya.
Rai, yang masih bersembunyi, merasakan jantungnya berhenti sejenak.
Tidak...
Tidak...!!
"Fireball!"
Bola api besar meluncur, membakar tubuh kakaknya hidup-hidup.
Liana menjerit, jeritan yang penuh dengan rasa sakit, kepedihan, dan keputusasaan.
Api membakar rambutnya, kulitnya, dagingnya.
Bau daging hangus memenuhi udara, membuat perut Rai terasa mual. Matanya membelalak, tetapi ia tidak bisa berpaling.
Akhirnya, setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, jeritan itu berhenti.
Hanya ada tubuh hangus yang tak lagi bisa dikenali, dan tawa puas para Player.
Di dalam lemari kecil itu, sesuatu di dalam diri Rai hancur.
Dan di saat yang sama—
Sesuatu yang lain lahir.
Dendam.
Dendam yang tak akan pernah padam.
Dendam yang akan membakar dunia yang sudah rusak ini sampai ke akarnya.
******************************
Rai tidak tahu berapa lama dia tetap bersembunyi di dalam lemari itu.
Darah sudah mengering di lantai, bau busuk daging terbakar masih menyengat di udara.
Di luar, suara Player mulai mereda, mereka sudah puas dengan pembantaian mereka.
Tetapi Rai masih hidup.
Dia tidak tahu apakah itu keberuntungan atau kutukan.
Dengan tubuh gemetar, dia mendorong pintu lemari perlahan, memastikan tidak ada lagi suara langkah kaki di luar.
Begitu dia yakin mereka telah pergi, Rai merangkak keluar.
Pemandangan di hadapannya… neraka yang nyata.
Tubuh ayah dan ibunya masih berdiri tegak, bergerak dalam kegelapan dengan gerakan yang tidak wajar.
Boneka mati yang dikendalikan oleh sihir terkutuk.
Liana… hanya ada sisa-sisa tubuh yang hangus di lantai.
Jantung Rai berdetak kencang, kepalanya berdengung, tubuhnya terasa ringan.
Sesuatu dalam dirinya ingin berteriak, ingin menangis.
Tapi tidak ada suara yang keluar.
Hatinya sudah mati bersama keluarganya.
Rai mengambil langkah goyah, menyeberangi genangan darah yang dulunya milik orang-orang yang ia cintai.
Dengan tangan gemetar, dia menarik sebuah selimut lusuh yang masih tersisa, menyelubungkan dirinya agar tak terlihat.
Dia harus pergi.
Di luar, desanya sudah rata dengan tanah.
Tubuh-tubuh warga yang dia kenal tergeletak di jalanan, beberapa hangus, beberapa terpotong-potong.
Player sudah pergi, hanya meninggalkan kehancuran.
Rai berlari.
Kakinya terasa seperti batu, kepalanya berdengung, tapi dia terus berlari, menjauh dari tempat yang dulu ia sebut rumah.
Dendam menyelimuti tubuhnya.
Setiap langkah yang ia ambil, setiap tarikan napas yang ia hirup, hanya menyisakan satu hal dalam pikirannya.
Dia harus bertahan.
Dia harus menjadi lebih kuat.
Dan dia harus membalas dendam.