Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
“Hem… Mau ke mana, Nes?” suara Fajar memecah keheningan, membuat Agnes yang sedang membawa bantal berhenti di depan pintu.
Agnes tersentak kaget, matanya membelalak. Ia yakin tadi langkahnya cukup pelan agar tidak terdengar, terutama setelah memastikan suaminya sedang mandi. Namun, tetap saja, Fajar berhasil memergokinya.
Dengan kikuk, Agnes menjawab sambil menghindari tatapan Fajar, “Aku dengar Nenek lagi vertigo, Pak. Jadi, sebagai cucu menantu berbakti, aku mau jagain.”
Fajar tersenyum tipis, mengangguk pelan sambil menyilangkan tangan di dada bidangnya yang basah akibat sisa air mandi. “Oh, aku baru tahu kalau istriku yang sholehah sekarang juga bisa jadi cucu menantu berbakti.”
Nada sindiran itu membuat Agnes menarik napas panjang, mencoba mengabaikan komentar Fajar. Namun, matanya tanpa sadar tertuju pada dada suaminya. Tubuh Fajar yang hanya ditutupi handuk terlihat begitu tegap. Agnes buru-buru menelan ludah, hatinya berdebar tak karuan. Kenapa dia harus muncul seperti ini? pikirnya panik.
“Lho, kok malah bengong?” suara Fajar yang kini lebih dekat membuat Agnes tersadar. “Nggak jadi jagain Nenek, nih?” lanjutnya dengan nada menggoda.
Agnes mengalihkan pandangan cepat, mengeratkan pelukan pada bantalnya. “Eh… iya! Mau pergi sekarang,” gumamnya gugup.
Namun, langkahnya terhenti ketika Fajar melangkah mendekat. Agnes mundur refleks hingga punggungnya menempel di pintu. Wajah Fajar berada begitu dekat, senyumnya tipis, namun tatapannya tajam seperti sedang membaca pikiran Agnes.
“Atau sebenarnya, kamu cuma cari alasan biar nggak tidur di kamar ini?” tanyanya pelan, suaranya rendah namun menusuk.
Wajah Agnes memerah seketika. “B-bukan! Aku serius mau jagain Nenek!” jawabnya cepat, namun nada suaranya bergetar.
Fajar terkekeh, suaranya rendah namun memikat. “Serius? Tapi mukamu merah, tuh. Mau aku temenin ke kamar Nenek?” godanya lagi, matanya menatap lurus ke mata Agnes.
Agnes menggigit bibir bawahnya, gugup. Tangannya tanpa sadar meremas bantal yang ia peluk. “Nggak usah, aku bisa sendiri kok!” katanya terburu-buru, berharap bisa segera pergi dari situ. Ia takut kalau Fajar akan menagih janji tentang malam pertama mereka. Demi apa pun, ia belum siap.
Namun, ketika Agnes mencoba melarikan diri, Fajar dengan cepat meraih pinggangnya. Tubuhnya langsung bertemu dengan dada Fajar yang hangat. Wajah Agnes memerah semakin hebat, jantungnya berdetak seperti genderang perang. Beruntung ada penghalang bantal jadi tidak terlalu menempel tubuh mereka.
Fajar menundukkan wajahnya, menatap Agnes yang kini membeku. “Nes,” bisiknya, suaranya pelan namun penuh arti, “kamu mau seperti ini terus? Atau aku harus bertindak?”
Agnes langsung mendorong Fajar, wajahnya semakin merah. “Pak Fajar, jangan ngerjain aku!” protesnya setengah mati-matian.
Fajar tertawa kecil, menyipitkan mata. “Ngerjain? Aku cuma kasih terapi suami-istri sedikit biar kamu lama-lama terbiasa.”
“Pak Fajar!” Agnes setengah berteriak, wajahnya penuh protes namun tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya.
“Kamu lucu kalau lagi marah begini,” balas Fajar sambil terkekeh.
“Tapi Bapak aneh kalau lagi seperti ini,” balas Agnes, berusaha menutupi rasa malunya.
“Seperti ini? Maksudnya seperti apa?” Fajar menatapnya lebih dekat, seolah menikmati setiap detik kehebohan istrinya.
“Pak Fajar! Kamu ngeselin!”
“Tapi kamu suka kan?” balasnya penuh percaya diri.
Agnes hanya bisa terdiam, kehabisan kata-kata. Rasa malunya sudah mencapai puncak. Ia pun melampiaskan kekesalannya dengan menginjak kaki Fajar sekuat tenaga.
“Ini baru terapi, Pak!” ucapnya dengan nada menang, lalu buru-buru kabur dari kamar itu sambil memeluk bantalnya erat-erat.
Fajar meringis kecil, namun senyumnya tak hilang. “Dasar istri ngeselin, tapi lucu,” gumamnya sambil tertawa pelan, menikmati momen itu.
***
Agnes menyembulkan kepalanya di balik pintu kamar Nenek Grace. "Nenek," sapanya pelan, agak ragu.
"Eh... Nes, ada apa, sayang?" sahut Nenek Grace, yang tengah duduk di ranjang dengan sebuah album foto terbuka di pangkuannya.
"Aku, boleh masuk?" tanya Agnes dengan suara lembut, matanya melirik ke arah album di tangan Nenek.
Nenek Grace mengangguk sambil tersenyum tipis. Agnes segera melangkah masuk, mendekat ke ranjang sambil membawa bantal kecil yang dipeluknya erat. "Aku dengar Nenek lagi vertigo. Kok malah lihat album foto?"
"Kalau tiduran terus, Nenek malah tambah pusing," ujar Nenek Grace, jemarinya membelai lembut salah satu foto. "Lihat album ini bikin pikiran Nenek jadi lebih tenang."
Agnes duduk di sisi ranjang, matanya tertuju pada foto-foto usang di halaman album itu. Wajah-wajah yang sama sekali belum pernah ia lihat, "Ini siapa Nek?"
"Oh, ini ayah dan ibu-nya Fajar," Grace tersenyum hangat saat melihat foto itu, "Hidup ini terlalu singkat, Nes, mereka pergi di saat kita tidak siap, tapi kita dipaksa untuk melepaskan."
Agnes terdiam, menatap foto itu lebih lama. Dalam gambar, sepasang suami istri muda tersenyum bahagia, memeluk seorang bayi kecil yang pasti adalah Fajar. "Ayah dan Ibu, Pak Fajar kelihatan bahagia banget, ya, Nek..." ucapnya pelan, mencoba memahami beban dalam suara Nenek Grace.
Grace mengangguk, senyumnya melunak meski matanya tampak menerawang jauh. "Bahagia, Nes. Tapi hidup seringkali tidak berjalan seperti yang kita inginkan. Mereka kecelakaan waktu Fajar masih berusia sepuluh tahun. Nenek harus mengasuh dia sendirian. Berat, tapi Nenek harus kuat. Untuk dia..."
Agnes menggigit bibir, hatinya tersentuh oleh cerita itu. Ia tak pernah benar-benar tahu sisi ini dari Fajar atau neneknya. "Pak Fajar tahu banyak soal Ayah dan Ibunya, Nek?"
Grace menggeleng perlahan. "Harusnya tahu, Nes. Sayangnya karena trauma dan membuat ia jatuh sakit, banyak kenangan orang tuanya yang hilang. Tapi Nenek selalu ceritakan kenangan-kenangan indah tentang mereka. Biar dia tahu, walaupun mereka pergi, cinta mereka tetap ada dalam hidupnya."
Agnes menatap foto itu lagi, hatinya sedikit melembut, mungkin karena ini juga lelaki itu kini punya julukan dosen killer.
"Nes, kamu masih panggil suamimu dengan sebutan Pak?"
Agnes menggaruk rambutnya yang nggak gatal menyembunyikan sikap canggungnya, "Heheheh, kebiasaan Nek. Lagian di kampus dia dosen, Agnes takut keceplosan sama yang lain kalau aku kebiasaan panggil yang aneh-aneh."
"Loh... memang kenapa?"
"Gak apa-apa sih Nek. Cuma Agnes kan sudah semester akhir tinggal skripsi dan mengejar SKS yang kurang, Agnes cuma mau menjalani kuliah sampai lulus dengan tenang aja Nek. Jadi nggak mau ada masalah lain, ya karena itu Agnes dan Pak Fajar setuju untuk tidak mempublikasikan pernikahan kami," terang Agnes dengan jujur meskipun takut.
"Nenek paham, kalau alasan kamu seperti ini, Nenek malah dukung. Ya sudah, kalian yang jalani pernikahan, Nenek tidak ingin banyak ikut campur, hanya saja Nenek berdoa semoga kalian segera mendapatkan momongan."
Agnes langsung nyengir kuda, ia mengalihkan topik itu ke foto kembali, Agnes menunjuk foto anak kecil berusia 10 tahun tengah menggunakan gaun pengantin, "Nek, ini siapa?"
"Kamu nggak ngenalin suami kamu?"
"Hah? Apa?"
"Kejadiannya ini, saat itu Fajar rindu sama ibunya jadi dia pakai baju pengantin ibunya, kadang kalau ingat ini Nenek juga geli," sahut Nenek Grace.
"Hehehe, Nenek aku boleh ambil foto ini?" tanya Agnes.
"Boleh, sayang."
Kali ini, Agnes tersenyum, ternyata ada kartu truf untuk bisa mengecam Fajar. Tanpa sadar Agnes tertawa geli sendirian membayangkan ekspresi Fajar.
"Nes, kamu kenapa tertawa, jangan-jangan kamu mau pakai foto ini untuk..." Nenek Grace berbicara sambil menarik kembali foto yang hampir sampai di tangan Agnes.
Agnes membulatkan matanya apa jangan-jangan Nenek Grace tahu isi kepalanya dan tidak jadi memberikan foto itu?