Kepergian Nayla menjelang pernikahannya, membuat semua orang bersedih, termasuk Laura sang kakak.
Ketika takdir membalikan kehidupan dan menulis cerita baru, Laura harus menerima kenyataan bahwa ia harus menjadi pengantin pengganti sang adik, Nayla. Untuk menikah dengan calon suaminya bernama Adam.
Namun, ketika akad nikah akan berlangsung, sang ayah justru menolak menjadi wali nikahnya Laura. Laura ternyata adalah anak haram antara ibunya dengan laki-laki lain.
Pernikahan yang hampir terjadi itu akhirnya dibatalkan. Fakta yang baru saja diterima lagi-lagi menghantam hati Laura yang masih di rundung kesedihan. Laura lalu meminta pada Adam untuk menunda pernikahan hingga dia bertemu dengan ayah kandungnya.
Bagaimana perjalanan Laura mencari ayah kandungnya? Apakah dia akan bertemu dengan ayah biologisnya itu? Dan bagaimana kisah cintanya dengan Adam? Baca kisah selanjutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Tiga
Ayah, Ibu, aku tak pernah meminta dilahirkan. Aku tak pernah meminta untuk hidupku yang seperti ini. Tapi mengapa ...? Mengapa disaat aku dilahirkan aku dijadikan perasa pahitnya dunia. Aku sering bertanya pada Tuhan, mengapa harus aku Tuhan? Bahkan aku tak tau alasannya. Aku selalu mencintai realita'ku. Tapi mengapa semuanya terasa berat. Aku juga ingin seperti mereka, merasakan kebahagiaan yang sama. Namun, alam berkehendak lain. Tapi tak apa, aku akan belajar menikmati dan mensyukurinya. Dan kalian tidak akan pernah tau, betapa sakitnya di posisiku. Kalian tak akan pernah tau betapa susahnya aku menyemangati diriku sendiri.
Laura berjalan masuk ke dalam kamar kosnya, merasa sangat sedih dan lelah. Dia tidak bisa memahami mengapa ayahnya, Ariel, tidak bisa menerima dan mengakuinya sebagai anaknya, walau dia telah mendonorkan darah untuknya.
"Jika memang ayah tidak bisa menerimaku, baiklah. Mulai detik ini, aku tak akan pernah lagi datang dan mengemis pengakuanmu lagi. Aku akan anggap diriku ini anak yatim piatu. Tiada ayah dan ibu. Mungkin ini sudah menjadi jalan hidupku!" ucap Laura pada dirinya sendiri.
Laura membuka lemarinya dan mengambil beberapa lembar baju. Dia memasukan ke koper. Besok akan ke luar kota dengan sang bos. Setelah semua selesai, dia kembali termenung. Duduk dekat jendela dan memandangi jalanan. Hujan sedang membasahi bumi, seakan ikut merasakan kesedihan hatinya.
Bu, sejujurnya aku sangat lelah. Banyak beban pikiran yang harus aku pendam sendiri. Banyak juga keluh kesah yang sulit aku ceritakan. Rasanya ingin menyerah. Kadang aku merasa tak sanggup lagi berpura-pura kuat terus . Seandainya ibu tau, saat ini aku sedang tidak baik-baik saja. Aku butuh pelukanmu, Bu. Tapi itu mustahil aku dapatkan. Kau terlalu jauh untuk aku raih dan rangkul. Gak ada yang tau aku capek, gak ada yang tau aku berusaha sekuat itu. Gak ada yang tau aku takut, aku sedih. Semua cuma tau aku senang, aku egois, aku marah. Padahal aku mati-matian bertahan waras ditengah pukulan dari segala arah.
Cukup lama Laura termenung, akhirnya memutuskan tidur. Agar besok bisa pergi dengan keadaan fit.
**
Adam berdiri di depan gedung tinggi yang mencerminkan langit cerah, jantungnya berdegup kencang. Di atasnya, huruf besar bertuliskan nama perusahaan di mana Laura bekerja berkilau di bawah sinar matahari. Selama ini, dia hanya mendengar cerita tentang tempat Laura bekerja, tapi kini, dia ada di sini, menunggu untuk bertemu.
Dengan langkah mantap, dia memasuki lobi yang megah. Bau kopi yang baru diseduh dan suara klakson mobil dari luar menyambutnya. Adam melihat sekeliling, berusaha mengenali suasana .
“Permisi, ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang resepsionis wanita dengan senyum ramah, memecah konsentrasinya.
“Selamat pagi. Saya Adam, teman Laura. Bisa saya bertemu dengannya?" tanya Adam dengan sedikit gugup. Dia takut gadis itu menolak bertemu dengannya.
“Oh, tunggu sebentar ya,” kata resepsionis itu sambil mengangkat telepon untuk menghubungi Laura.
Setelah beberapa menit menunggu, resepsionis itu mengangguk. “Silakan naik ke lantai tiga, ruang 302. Laura sedang di sana.”
“Terima kasih,” Adam membalas sebelum melangkah ke lift. Lapisan kebimbangan menyelimuti hatinya. Dia sebenarnya tak mau mengganggu gadis itu sesuai permintaannya. Namun, dia juga tidak bisa mengabaikan keinginan mamanya yang ingin bertemu dengan Laura.
Begitu tiba di lantai tiga, Adam berjalan di koridor. Dia melihat beberapa karyawan berlarian, sibuk dengan urusan masing-masing. Di dekat sebuah kaca besar, dia berhenti sejenak untuk memperbaiki penampilannya. Semangatnya mulai meredup seiring rasa cemas yang menyergap. Namun, dia menyadari dia tidak bisa mundur sekarang.
Dia menghampiri pintu ruang 302 dan mengetuk ringan. Suara dari dalam memberi izin untuk masuk. Ketika pintu terbuka, Adam dapat melihat Laura sedang berbenah. Dia terlihat anggun dengan blazer formalnya, dan senyum yang selalu membuat jantung Adam berdegup lebih cepat.
“Laura!” seru Adam dengan senyuman lebar.
Namun senyuman itu segera sirna ketika di samping Laura, berdiri seorang pria berperawakan tinggi yang tampak karismatik. “Adam, masuklah!" ucap Laura.
Adam berjalan masuk dengan ragu. Matanya terus mencuri pandang ke arah pria yang bersama Laura. Setelah dekat, gadis itu lalu memperkenalkan Daniel.
Adam tentu sangat mengenal Daniel. Pebisnis muda yang sering dibicarakan para pengusaha.
Adam merasakan kilatan cemburu di hatinya saat melihat kedekatan Laura dan Daniel. “Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu,” Adam mulai bicara, suaranya sedikit bergetar.
"Ada apa, Dam?" tanya Laura.
"Mamaku ingin bertemu," jawab Adam.
“Oh, Adam. Maaf, sebenarnya aku sedang terburu-buru. Kami akan pergi ke luar kota untuk urusan kerja,” Laura menjelaskan dengan nada penuh permohonan.
“Ke luar kota?” tanya Adam, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan. “Sampai kapan?”
“Cuma dua hari,” jawab Laura cepat, tampak ragu. Lalu, dia menambah, “Maaf, aku tidak bisa bertemu dengan mamamu. Mungkin lain kali?”
“Ya … ya sudah tidak apa-apa,” jawab Adam, meskipun hatinya terasa berat. “Mungkin aku bisa .…”
“Adam.” Daniel menyela, perhatiannya dialihkan ke Adam. “Laura sangat sibuk, jadi jika tidak ada yang mendesak, mungkin lain waktu saja.”
Ada rasa tidak suka meluap di batin Adam. “Aku paham. Aku hanya mau bilang kalau mamaku ingin bertemu,” Adam mengucapkan kata-kata itu sambil menahan rasa cemburunya yang mulai menjalar.
“Aku … maaf, Adam. Mungkin bisa di atur setelah perjalanan ini. Sampaikan maafku untuk Tante Ratna."
Adam memaksakan senyumnya, tetapi di dalam hatinya bergemuruh rasa kecewa. Di saat dia membutuhkan Laura, dia justru sedang berkumpul dengan Daniel.
“Baiklah, kalau begitu, aku pamit,” kata Adam, mengucap kata-kata yang terasa pahit di lidahnya. Dia berbalik untuk pergi. Langkahnya berat, setiap langkah menjauh dari Laura seperti mengiris jiwanya sendiri.
“Adam!” suara Laura memanggil. Dia menoleh, tetapi tidak melawan keinginan untuk berbicara. Hanya ada secercah harapan di dalam tatapan Laura.
“Ya?” tanyanya tak bersemangat.
“Aku … aku pasti akan menemui Tante Ratna. Tapi nanti setelah perjalanan ini, kita bisa atur waktu,” Laura berkata, dan Adam merasakan ketulusan dari pandangannya.
“Ya, pasti,” jawab Adam, meskipun rasa cemburu masih menyengat. “Selamat jalan.”
Adam akhirnya melangkah pergi, matanya tak lepas dari Laura yang masih berdiri di ambang pintu, bersama Daniel yang tampak acuh. Adam merasakan bahwa, tanpa disadari, rasa cemburunya bisa menjadi duri dalam hubungan mereka.
Ketika dia keluar dari gedung, udara di luar terasa lebih dingin dari sebelumnya, seakan menggambarkan hatinya yang beku. Adam tahu, perasaannya pada Laura mulai tumbuh. Bukan hanya sekedar permintaan Nayla saja jika dia ingin tetap melanjutkan pernikahan ini.
Dia meraup napas dalam-dalam, mencoba menyeimbangkan emosi sebelum beranjak pergi. Dia juga tak mungkin memaksakan hubungan ini, karena mengerti jika gadis itu masih kecewa dengan sikap papanya.
Malam itu, Adam duduk di halaman rumah sakit, menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip. Dia mengambil ponselnya, dan tak ada yang lebih ingin dia lakukan selain menghubungi Laura. Namun, jalur pikirnya terhenti. Apa yang bisa dia katakan setelah saat Laura mengangkat gawainya nanti?
“Dia sibuk,” batin Adam.
Dia mendalami pikirannya, membayangkan Laura yang sedang bercerita dengan semangat tentang proyek yang dikerjakannya. Adam tertawa tipis, membuat hatinya bergetar. Rindu yang mendalam itu menjalar ke setiap sudut jiwanya.
Pikirannya kembali berbicara, “Apakah Daniel memiliki perasaan lebih padamu?" Adam berusaha menepis rasa cemburunya. Dia yakin Laura bekerja secara profesional tanpa campur dengan urusan pribadi.
Adam menyalakan ponsel dan membuka aplikasi pesan. Dia menarik napas, mengetik sebuah pesan pendek untuk Laura: “Nanti kita bisa bicara setelah kamu kembali. Jaga diri di luar kota.”
Setelah mengirim pesan tersebut, dia menatap ponselnya, menunggu balasan. Semoga semuanya baik-baik saja.Berharap Laura masih tetap pada keinginan untuk menikah dengannya walau mungkin tidak delam waktu dekat ini.
yang dl gak setuju sama Laura
Daniel kah
atau bapak nya?
gantian jd pengganti