Kepergian Nayla menjelang pernikahannya, membuat semua orang bersedih, termasuk Laura sang kakak.
Ketika takdir membalikan kehidupan dan menulis cerita baru, Laura harus menerima kenyataan bahwa ia harus menjadi pengantin pengganti sang adik, Nayla. Untuk menikah dengan calon suaminya bernama Adam.
Namun, ketika akad nikah akan berlangsung, sang ayah justru menolak menjadi wali nikahnya Laura. Laura ternyata adalah anak haram antara ibunya dengan laki-laki lain.
Pernikahan yang hampir terjadi itu akhirnya dibatalkan. Fakta yang baru saja diterima lagi-lagi menghantam hati Laura yang masih di rundung kesedihan. Laura lalu meminta pada Adam untuk menunda pernikahan hingga dia bertemu dengan ayah kandungnya.
Bagaimana perjalanan Laura mencari ayah kandungnya? Apakah dia akan bertemu dengan ayah biologisnya itu? Dan bagaimana kisah cintanya dengan Adam? Baca kisah selanjutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Delapan
Daniel dan Laura duduk di restoran mewah, menikmati makan malam yang lezat. Mereka berdua sedang merayakan kemenangan mereka mendapatkan tender yang sangat penting.
"Aku tidak percaya kita bisa memenangkan tender ini, Pak," Laura berkata dengan suara yang gembira. "Kita telah bekerja keras untuk mencapai ini."
"Ya, kita telah bekerja sama dengan baik, " Daniel berkata dengan suara yang senang. "Aku tidak bisa membayangkan kita bisa mencapai ini tanpa kerja sama yang baik. Tapi, ini semua tak lepas dari andil kamu sebagai sekretarisku dan presentase kamu yang memang sangat baik dan meyakinkan."
"Ini juga karena Bapak yang memberikan kepercayaan padaku juga karena bimbingan Bapak, padahal aku hanya karyawan baru, sudah langsung dipercaya untuk memberikan presentasi."
"Karena aku yakin dengan kemampuan kamu, Laura!" seru Daniel. Mereka lalu mengobrol tentang proyek yang akan dijalankan itu.
Saat mereka berdua sedang menikmati makan malam, Daniel tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat Laura terkejut.
"Laura, aku ingin memberitahu kamu sesuatu," Daniel berkata dengan suara yang serius. "Kamu ingat Ariel, pimpinan perusahaan X yang tadi juga ikut presentasi, saat ini dia mengalami kecelakaan dan sedang kritis di rumah sakit."
Laura terkejut mendengar berita tersebut. "Apa? Bagaimana kejadiannya, Pak?" Laura bertanya dengan suara yang penasaran dan sedikit cemas.
"Aku tidak tahu detailnya," Daniel berkata dengan suara yang serius. "Tapi aku tahu bahwa dia membutuhkan donor darah, dan darahnya langka. Ini aku dapat dari grup wa sesama rekan bisnis
Laura terkejut mendengar berita tersebut. Dia memiliki darah yang sama dengan Ariel. Ini sudah membuktikan jika ditubuhnya mengalir darah pria itu. Apakah dia harus membantu dengan mendonorkan darahnya pada laki-laki yang tak pernah mengakui kehadirannya? Tanya Laura dalam hatinya.
"Laura ...," panggil Daniel. Laura yang sedang termenung menjadi terkejut.
"Iya, Pak." Laura menjawab pelan. Pikirannya masih tertuju pada sang ayah, walau dia tak pernah mengakuinya, tapi gadis itu masih kepikiran keadaan pria itu.
"Laura, aku ingat saat membaca biodata mu, golongan darahnya sama dengan Ariel. Apa kamu tak mau menyumbangkan sedikit, paling tidak agar dia bisa bertahan menjelang dapat pendonor yang lain!" seru Daniel.
Laura tak menjawab ucapan Daniel pikirannya langsung tertuju pada sang ayah. Teringat kemarin saat pria itu menolak mengakuinya sebagai anak.
"Ya, Allah. Apakah salah jika dihati ini masih ada rasa sakit dan rasa kecewa pada pria yang seharusnya aku panggil ayah. Bukankah dia tak mengakui kehadiranku?" Laura bertanya dalam hatinya.
Daniel memandang Laura dengan mata yang penasaran. Dia kembali bertanya karena gadis itu hanya diam, tak menjawab pertanyaannya. "Laura, apakah kamu tidak mau menyumbangkan darah untuk Pak Ariel?" Daniel bertanya dengan suara yang lembut.
Laura terkejut mendengar pertanyaan itu kembali diajukan Daniel. "Maksud Bapak?" tanya Laura.
"Darah kamu dan Pak Ariel sama-sama langka, " Daniel mencoba menjelaskan. "Jika kamu tidak menyumbangkan darah, maka Pak Ariel mungkin tidak akan bisa selamat."
Laura merasa seperti ada yang mengganjal di hatinya. Dia tidak bisa memahami mengapa dia harus menyumbangkan darah untuk Ariel, orang yang telah membuatnya merasa tidak nyaman.
"Tapi, mengapa aku harus menyumbangkan darah untuknya, Pak?" Laura bertanya dengan suara yang pelan, nyaris tak terdengar. Dia tahu tak seharusnya pertanyaan itu diajukan. Dia hanya tak tahu harus berkata apa. Yang pertama tentu saja karena dia masih syok mendengar sang ayah mengalami kecelakaan.
Daniel memandang Laura dengan mata yang serius. "Seperti kataku tadi. Mereka sangat membutuhkan golongan darah itu. Dan kamu memiliki darah yang sama dengan Ariel. Mungkin sekantong darah darimu bisa membantunya bertahan, Laura," Daniel menjelaskan. "Dan kamu memiliki kesempatan untuk menyelamatkan nyawanya."
"Akan aku pikirkan dulu, Pak. Maaf, Pak! Apa aku boleh pamit duluan. Ada teman yang mau berkunjung. Takut dia menunggu lama," ucap Laura.
"Baiklah. Aku antar kamu pulang," ucap Daniel.
"Jangan, Pak. Aku masih ada mau mampir ke suatu tempat dulu," ujar Laura.
"Akan aku antar kemanapun kamu mau mampir," balas Daniel.
"Terima kasih, Pak. Tapi maaf, aku mau pulang sendiri aja."
"Baiklah, kalau memang begitu. Terima kasih atas kerja kerasmu tadi. Bonus untukmu pasti akan aku berikan."
"Sudah menjadi kewajibanku sebagai karyawan untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan," balas Laura.
Setelah itu Laura pamit. Dalam perjalanan menuju kos, pikirannya kembali pada sang Ayah. Ketika taksi hampir sampai ke tujuan, dia meminta putar balik menuju rumah sakit tempat ayahnya di rawat.
Setelah setengah jam perjalanan, sampailah Laura di rumah sakit itu. Laura berjalan masuk ke dalam rumah sakit, merasa sedikit gugup. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi dia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk membantu Ariel, ayahnya.
Saat dia berjalan di koridor rumah sakit, Laura melihat seorang wanita yang sedang duduk di bangku, menunggu. Wanita tersebut memiliki wajah yang lelah dan khawatir.
Laura mendekati wanita tersebut dan melihat bahwa itu adalah Tante Ratna, istri Ariel, ayahnya. "Tante Ratna," Laura berkata dengan suara yang lembut.
Ratna terkejut saat melihat siapa yang memanggil "Laura, apa yang kamu lakukan di sini?" Tante Ratna bertanya dengan suara yang penuh penasaran.
Laura merasa sedikit gugup. "Aku ... aku mendengar tentang kecelakaan yang dialami Om Ariel," Laura berkata dengan suara yang lembut. "Dan aku juga mendengar saat ini Om Ariel sangat membutuhkan darah B negatif. Sepertinya aku bisa membantu, Tante. Aku memiliki golongan darah yang sama dengan Om Ariel," ucap Laura dengan suara pelan.
Tante Ratna memandang Laura dengan pandangan yang tak percaya. "Laura, apa kamu serius?" tanya Tante Ratna.
Laura mengangguk. "Ya, Tante. Aku serius. Aku memiliki golongan darah yang sama dengan Om Ariel, dan aku mau membantu mendonorkan darahku untuknya."
Tante Ratna terkejut. Dia tidak bisa memahami bagaimana Laura bisa memiliki golongan darah yang sama dengan Ariel. Kecurigaannya mengenai Laura adalah putri sang suami kembali terngiang. Namun, dia segera menepisnya. Yang terpenting saat ini adalah keadaan Ariel. "Bagaimana ..kamu bisa memiliki golongan darah yang sama dengan Ariel?" Tante Ratna bertanya dengan suara pelan.
Laura merasa sedikit gugup. "Aku ... aku, tidak tahu, Tante. Aku hanya tahu bahwa aku memiliki golongan darah yang sama dengan Om Ariel, dan aku mau membantu mendonorkan darahku untuk Om Ariel."
Tante Ratna tak tahu harus berkata apa lagi. Perasaannya saat ini campur aduk, antara bahagia dan sedih. Bahagia karena darah yang dibutuhkan sang suami akan dapat terpenuhi. Sedih karena, dengan persamaan golongan darah antara Laura dan suaminya telah menjawab jika gadis itu adalah putri sang suami.