NovelToon NovelToon
Can We?

Can We?

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Beda Usia / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Slice of Life
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Flaseona

Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Can We? Episode 30.

...« Senam jantung gratis »...

Jantung Devan hari ini seakan sedang menaiki rollercoaster, naik turun dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Devan yang sudah tidak bertenaga harus menggendong Arasya dan merebahkannya ke samping Gavan sesuai permintaan Kakak sulungnya itu.

Awalnya Mami dan Devan menolak, takut Arasya menangis lagi dan berujung kambuh. Itu sama sekali tidak lucu menurut mereka, apalagi melihat tempat yang mereka singgahi sekarang. Hanya saja, Gavan memohon dengan wajah pucatnya.

Gavan juga berkata bahwa dirinya sangat merindukan Arasya. Sampai-sampai membuatnya tidak bisa tidur dan berakhir pingsan. Karena itulah, Mami dan Devan luluh sebab merasa kasihan.

“Aaa...” Devan membuka mulutnya, sebuah suapan mendarat segera. Senaza dengan telaten menyuapi Devan sampai nasi bungkusnya habis.

“Hadeh, alay banget gitu doang.” Cibir Mami. Beliau duduk di kursi samping ranjang Gavan.

Gavan hanya memantau, ia lebih memilih memeluk Arasya dengan erat, kemudian membenamkan seluruh wajahnya di rambut Arasya. Menghirup rakus aroma wangi khas yang tidak pernah berubah.

“Mas makan mau? Mami suapin.” Tawar Mami. Melihat sang sulung sejak tadi hanya mendusal ke arah Arasya.

“Nanti aja, nunggu Adek bangun.” Jawab Gavan lirih.

Perasaan putus asa yang sempat Gavan alami setelah dijauhi oleh Arasya kini ditelan oleh bumi. Kehadiran Arasya di dekapannya kembali membuatnya bersemangat lagi. Meskipun itu mungkin hanya berlaku saat Arasya sedang bermimpi.

“Mi, Adek cerita sesuatu? Mas kayak ngelakuin hal yang salah ke Adek, tapi Mas gak tahu. Mami bisa tolong kasih tahu Mas?” Akhirnya apa yang semingguan ini bertaut di kepalanya, terurai juga.

Senyum Mami terbit, menatap sang anak pertama dengan bangga. “Pola pikir Adek masih pendek, Mas. Semua hal yang menurutnya baru, bikin Adek bingung. Harus bersikap kayak gimana, harus ngadepinnya kayak gimana, Adek belum tahu. Adek gak cerita sama Mami, tapi pasti ada hal baru yang Adek rasain dari Mas. Coba tebak apa?”

Devan mendengus geli. “Kalau aku sih nebaknya karena Mas punya cewek. Si Fikaya itu. Baik sih, tapi gerak-geriknya ke Adek mencurigakan. Iya ‘kan, Yang?”

Senaza mengangguk setuju, mengingat semua ini terjadi setelah Arasya, Gavan serta Fikaya pulang dari jalan-jalan.

“Fikaya? Kenapa? Mas gak ngerti. Gak ada yang mencurigakan, Dev. Fikaya suka kok sama Adek.” Denial Gavan.

“Ya itu mah tebakan aku aja, Mas. Bisa salah bisa bener. Tapi menurutku sih seratus persen bener. Iya ‘kan, Yang?” Senaza mengangguk lagi. Mendukung semua ucapan sang suami karena keduanya sudah menghabiskan waktu malam hari untuk membahas hal tersebut.

Mami terkikik geli menyimak obrolan anak-anaknya. Arasya bahkan enggan berbicara, tetapi kedua laki-laki tersebut berlagak seolah mereka tahu seluk beluk Arasya tanpa harus bertanya.

“Nanti kalau Adek bangun gak boleh paksa buat stay, ya.” Ucap Mami mewanti-wanti.

Gavan menghembuskan nafasnya perlahan, ia belum puas meskipun sekarang Arasya ada di sampingnya. Tidur dengan lengan kanannya sebagai bantalan dan meringkuk mencari kehangatan ke arahnya.

“Mmhh, Mami...” Arasya bergumam lirih.

Gavan langsung mengangkat jari telunjuknya ke arah bibir, menyuruh sang Mami untuk tidak menanggapi.

Arasya mengendus bau sekitarnya, ada bau khas rumah sakit yang bercampur dengan bau... Samar-samar Arasya bisa menebak siapa pemilik bau ini. Tetapi berusaha menyangkal karena tidak ingin bangun dari tidurnya. Mungkin bau itu muncul karena Arasya sedikit merasakan rindu pada--- Gavan.

Kakak laki-laki yang sedang ia hindari sepenuhnya satu minggu ini. Kalau boleh jujur, Arasya sedang dibuat bingung oleh perasaannya sendiri. Kedekatan antara dirinya dan Gavan kembali terjalin setelah sekian lama kecanggungan Arasya mengambil alih.

Hanya saja, kenapa Arasya bersikap sok tersakiti melihat Gavan tidak terlalu memanjakannya saat bersama perempuan yang tidak dikenalnya itu?

Bukankah sebelum kembali dekat, ia biasa saja meski Gavan bersama orang lain? Seperti kakak temannya, karyawan Gavan di kantor, semuanya Arasya tak ambil hati dan tidak peduli. Lalu kenapa perempuan yang itu, Arasya seperti dibuat mati?

Jantungnya berdetak tak karuan, hatinya seakan tertusuk ribuan jarum tajam, apakah hal tersebut wajar? Arasya menggeleng pada tidurnya.

Gavan sigap menepuk pelan punggung Arasya, mengira bahwa si kecil sedang bermimpi buruk.

“Mi, bangunin aja gimana? Adek belum makan soalnya.” Senaza berbisik ke arah Mami. Mengingat harusnya mereka makan setelah menemani berbelanja, tetapi ternyata tidak terlaksana.

Gavan ingin sekali tak ingin membuat Arasya terbangun, tetapi karena si kecil belum makan, maka ia harus. “Dek, bangun yuk. Makan dulu.” Bisik Gavan sambil menepuk pelan punggung Arasya.

“Mau makan nanti boleh? Masih ngantuk.”

“Jangan dong. Adek belum makan, harus makan dulu. Sama Mas, ya?” Gavan menahan perasaan bahagianya, mengira Arasya tidak lagi menghindarinya.

“Mas siapa?”

Tetapi ternyata, setelah pertanyaan itu terjawab. Mata Arasya terbuka lebar, mendongak menatap wajah lelaki di sampingnya, ia hampir akan meloncat menjauh.

Hanya saja erangan kesakitan Gavan yang berseru tentang kepalanya, langsung membuat Arasya mematung di tempat.

Mami dan Senaza seketika panik, menyerbu Gavan sambil menanyakan kesakitannya. Devan yang duduk santai di sofa sejak tadi mengernyit bingung. Membaca situasi.

“Weh, Dek! Bantuin napa itu Masnya. Belum makan tuh makanya kayak gitu.” Devan berlari mendekati Arasya, kemudian menuntun tangan si kecil ke arah kepala Gavan dan menyuruhnya untuk memijat.

“Mi, suapin, Mi. Mas laper.” Kata Devan.

Mami yang panik jelas kebingungan. “Kamu ini gimana sih, Dev? Yang sakit kepalanya kok di suruh makan?! Kamu waras apa enggak?! Mau sekalian Mami periksa ke dokter spesialis?!” semprot beliau menggebu-gebu. Anak bungsunya itu entah kenapa selalu bisa membuat kadar darahnya meninggi.

Devan yang dimarahi tak ambil hati, justru memberi isyarat agar Maminya tenang dan melihat situasi di antara Gavan serta Arasya yang berada di atas ranjang rumah sakit.

“Masih sakit, Mas?” cicit Arasya bertanya. Tangannya sudah pegal memijat kepala Gavan sesuai arahan Devan.

“Sedikit. Tolong pijat yang sebelah sini, Dek. Maaf ya Mas bikin tangan Adek capek.” Kata Gavan, menyembunyikan kemenangannya.

Sang Mami, sebagai pengasuh Gavan sejak kecil tahu bahwa Gavan merasa puas. Dan akhirnya mengerti kenapa Devan justru mengusulkan sesuatu yang berbeda dari situasi yang terjadi.

Mami memaksakan senyumnya, ingin memukul si sulung karena telah menariknya dalam drama sinetron seperti yang biasanya di lakukan oleh si bungsu. Baiklah, Mami tidak perlu melakukan tes DNA pada kedua anaknya, karena jelas sama.

“Bener kata kamu, Dev. Mami suapin ya, Mas? Laper perut Mas soalnya belum makan dari pagi. Sekalian diminum obatnya biar cepet sembuh.” Mami menyiapkan peralatan makan milik Gavan yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit.

“Adek, bantuin Mas bangun, dipegangin juga. Devan, tegakin sandarannya biar Mas enak duduknya.” Perintah Mami.

Sedangkan Senaza hanya mengusap dadanya, tidak habis pikir dirinya hari ini merasakan senam jantung berkali-kali yang disebabkan oleh sekeluarga suaminya.

...« Terima kasih sudah membaca »...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!