"Cahaya di Tengah Hujan"
Rini, seorang ibu yang ditinggalkan suaminya demi wanita lain, berjuang sendirian menghidupi dua anaknya yang masih kecil. Dengan cinta yang besar dan tekad yang kuat, ia menghadapi kerasnya hidup di tengah pengkhianatan dan kesulitan ekonomi.
Di balik luka dan air mata, Rini menemukan kekuatan yang tak pernah ia duga. Apakah ia mampu bangkit dan memberi kehidupan yang layak bagi anak-anaknya?
Sebuah kisah tentang cinta seorang ibu, perjuangan, dan harapan di tengah badai kehidupan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 1337Creation's, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Doa dibulan Ramadhan
Bab 13: Doa di Bulan Ramadhan
Hari itu, suasana Ramadhan membawa semangat di sekitar lingkungan rumah Rini. Anak-anak tetangga terlihat bermain dengan mainan baru mereka di halaman. Ada yang membawa robot kecil yang bisa berjalan dan berbicara, ada juga yang membawa boneka besar. Nayla memandangi mereka dari jendela rumah dengan mata berbinar.
“Ibu... aku juga mau mainan seperti itu,” ujar Nayla sambil menarik ujung baju Rini.
Rini yang sedang mengemasi tasnya tertegun. Ia tahu, Nayla jarang sekali meminta sesuatu. Tapi, keadaan mereka tidak memungkinkan. Uang di dompetnya hanya cukup untuk kebutuhan berbuka puasa malam ini.
“Ibu tahu, Nak,” jawab Rini lembut sambil mengelus kepala Nayla. “Tapi, Nayla harus sabar ya. Kita belum bisa beli mainan seperti itu.”
Nayla mengerutkan dahi dan mulai menangis. “Tapi aku mau! Anak-anak itu semua punya mainan, kenapa aku nggak punya?!”
Rini menarik napas panjang, mencoba bersabar meskipun hatinya terasa berat mendengar tangisan Nayla. “Nak, ibu harus pergi kerja dulu. Aditya akan jagain kamu, ya?”
Aditya, yang sedari tadi duduk di pojok ruangan, segera mendekat. “Ibu, tenang aja. Aku bakal jagain Nayla,” katanya tegas.
Rini tersenyum kecil, mengelus kepala kedua anaknya sebelum berangkat. “Baik-baik di rumah, ya. Jangan bertengkar.”
Setelah Rini pergi, Nayla masih duduk di lantai sambil mengusap air mata. Aditya mendekatinya dan duduk di sampingnya.
“Nayla, jangan nangis lagi, dong,” kata Aditya.
“Aku mau mainan, Kak,” rengek Nayla. “Kenapa cuma aku yang nggak punya?”
Aditya menatap adiknya dengan penuh kasih sayang. Ia mengerti rasa iri Nayla, tapi ia juga tahu mereka tidak bisa memaksa keadaan.
“Nayla, dengar ya,” kata Aditya sambil merangkul adiknya. “Mainan itu cuma benda, nggak bakal bikin kita lebih bahagia. Tahu nggak apa yang bisa bikin kita bahagia?”
“Apa?” tanya Nayla sambil mengusap hidungnya yang basah.
“Doa,” jawab Aditya. “Kakak pernah dengar dari ustadz, kalau kita mau sesuatu, kita harus minta sama Allah. Nggak perlu nangis-nangis kayak gini. Yuk, kita coba berdoa sama-sama.”
Nayla menatap kakaknya ragu. “Doa? Tapi apa Allah bakal kasih aku mainan?”
Aditya tersenyum. “Kalau kita doa dengan sungguh-sungguh, Allah pasti denger. Tapi kita juga harus sabar, ya. Mungkin Allah punya rencana lain buat kita.”
Aditya mengajak Nayla ke sajadah kecil yang terletak di sudut ruangan. Ia menuntun adiknya untuk berdoa
“Gini ya, Nayla. Tutup mata, terus ikuti Kakak. Kita doa bareng-bareng,” ucap Aditya.
Dengan suara kecil, Nayla mengikuti doa yang diajarkan kakaknya:
“Ya Allah, aku ingin sekali punya mainan. Tapi kalau itu belum bisa, aku mohon beri keluargaku kesehatan dan rezeki yang cukup. Amin.”
Setelah selesai berdoa, Nayla membuka matanya dan menatap kakaknya. “Kak, kapan Allah jawab doa kita?”
Aditya tersenyum dan merangkul adiknya erat. “Allah itu selalu dengar doa kita, Nayla. Mungkin nggak langsung sekarang, tapi Allah selalu kasih yang terbaik buat kita. Jadi, kita harus sabar dan tetap bersyukur, ya?”
Nayla mengangguk pelan. “Kakak, kamu baik banget. Aku nggak nangis lagi, deh.”
Aditya tersenyum lega. Ia merasa berhasil menenangkan hati kecil adiknya. Meski mereka hidup dalam kesederhanaan, ia tahu bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari benda-benda mahal.
---