Fitriyani Nurjannah adalah seorang guru honorer selama 15 tahun di SMA 2 namun ia tak pernah menyerah untuk memberikan dedikasi yang luar biasa untuk anak didiknya. Satu persatu masalah menerpa bu Fitri di sekolah tempat ia mengajar, apakah pada akhirnya bu Fitri akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Drama di Ruang Guru
Fitri yang sedang duduk di ruang guru dan memeriksa beberapa tugas siswa, tiba-tiba didatangi oleh beberapa anak didiknya dari kelas X A, termasuk Sandy dan Reno. Mereka terlihat sedikit lesu dan khawatir.
"Selamat siang, Bu," sapa Sandy dan Reno bersamaan.
"Siang, anak-anak. Ada apa ini? Tumben kalian datang ke sini saat jam istirahat," tanya Fitri sambil tersenyum.
Sandy dan Reno saling berpandangan, lalu Sandy mulai bercerita. "Bu, kami mau mengadu tentang Bu Vivi."
"Mengadu? Ada apa dengan Bu Vivi?" tanya Fitri dengan nada khawatir.
"Bu Vivi galak sekali, Bu," kata Reno. "Kami takut sama Bu Vivi."
"Iya, Bu," timpal Sandy. "Kami tidak paham dengan materi matematika yang diajarkan Bu Vivi. Bu Vivi cuma gebrak papan tulis atau meja saja, tidak ada penjelasan detail."
Fitri menghela napas. Ia sudah sering mendengar keluhan tentang Bu Vivi dari siswa-siswanya. Bu Vivi memang dikenal sebagai guru matematika yang galak dan tidak sabar.
"Kalian sudah mencoba berbicara dengan Bu Vivi?" tanya Fitri.
"Sudah, Bu," jawab Sandy. "Tapi, Bu Vivi malah marah dan bilang kami bodoh."
"Kami jadi takut belajar matematika, Bu," kata Reno. "Padahal, kami ingin pintar matematika seperti teman-teman di kelas lain."
Fitri mengerti perasaan siswa-siswanya. Ia pun merasa prihatin dengan mereka.
"Baiklah, anak-anak," kata Fitri. "Ibu akan coba berbicara dengan Bu Vivi. Ibu akan sampaikan keluhan kalian ini."
"Terima kasih, Bu," kata Sandy dan Reno dengan wajah lega.
"Kalian yang sabar ya," pesan Fitri. "Ibu akan berusaha yang terbaik untuk kalian."
Setelah Sandy dan Reno kembali ke kelas, Fitri segera mencari Bu Vivi di ruang guru. Ia ingin berbicara baik-baik dengan Bu Vivi dan mencari solusi terbaik untuk masalah ini.
Fitri berharap, Bu Vivi bisa lebih sabar dan memberikan penjelasan yang lebih detail kepada siswa-siswanya. Ia juga berharap, siswa-siswa kelas X A tidak lagi merasa takut dan bisa belajar matematika dengan baik.
****
Di sudut ruang guru, Bu Vivi, Bu Ida, dan Bu Nilam asyik bergunjing. Mereka memperhatikan Fitri yang sedang berbicara dengan beberapa siswa kelas X A. Bu Vivi, dengan tatapan sinis, langsung melontarkan komentar pedas.
"Lihat itu, anak-anaknya Fitri datang mengadu," kata Bu Vivi sambil tersenyum sinis. "Pasti mau cari perhatian juga seperti ibunya."
Bu Ida, yang memang tidak suka dengan Fitri, ikut menimpali. "Iya, manja sekali. Dikit-dikit mengadu. Memangnya Bu Vivi guru yang suka makan orang?"
Bu Nilam, yang selalu mendukung Bu Ida dan Bu Vivi, menambahkan, "Anak-anak zaman sekarang memang begitu. Maunya enak saja, tidak mau berusaha."
Mereka bertiga terus saja menggunjing siswa-siswa kelas X A yang datang ke Fitri. Mereka merasa kesal karena Fitri selalu terlihat dekat dan disayangi oleh murid-muridnya.
"Fitri itu terlalu memanjakan siswa," kata Bu Vivi. "Akibatnya, mereka jadi ketergantungan dan tidak mandiri."
"Betul sekali," timpal Bu Ida. "Seharusnya, guru itu tegas dan disiplin. Jangan terlalu lembek seperti Fitri."
"Iya, kalau terlalu baik, nanti siswa jadi kurang ajar," kata Bu Nilam menambahkan.
Mereka bertiga terus saja mencari-cari kesalahan Fitri. Mereka iri dengan Fitri yang selalu terlihat baik di mata siswa dan rekan-rekan guru lainnya.
"Sudahlah, biarkan saja mereka," kata Bu Vivi akhirnya. "Yang penting, kita jangan sampai seperti mereka. Kita harus tetap profesional dan tegas dalam mengajar."
Meskipun demikian, mereka tetap saja terus memperhatikan Fitri yang sedang berbicara dengan siswa-siswa kelas X A. Tatapan mereka penuh dengan rasa iri dan dengki.
****
Setelah mendapat aduan dari anak didiknya, Fitri mencari Bu Vivi di ruang guru. Ia ingin berbicara baik-baik dengan Bu Vivi dan menyampaikan keluhan dari siswa-siswanya. Fitri tahu bahwa Bu Vivi memang tidak menyukainya, tapi ia tidak ingin masalah pribadi mereka berdampak pada anak-anak.
"Bu Vivi, bisa bicara sebentar?" sapa Fitri dengan sopan.
Bu Vivi menatap Fitri dengan sinis. "Ada apa? Mau cari muka lagi di depan saya?"
"Saya hanya ingin menyampaikan keluhan dari siswa-siswa kelas X A," kata Fitri. "Mereka bilang tidak paham dengan materi matematika yang Ibu ajarkan."
"Oh, jadi mereka mengadu ke kamu?" tanya Bu Vivi dengan nada mengejek. "Mereka pikir kamu itu guru yang paling baik dan paling pintar?"
"Saya tidak tahu apa maksud Ibu," jawab Fitri dengan tenang. "Saya hanya ingin mencari solusi terbaik untuk masalah ini."
"Solusi apa?" tanya Bu Vivi dengan ketus. "Mereka saja yang malas belajar. Saya sudah jelaskan semuanya dengan jelas."
"Tapi, Bu," kata Fitri, "siswa-siswa itu bilang Ibu hanya menggebrak papan tulis atau meja saja. Tidak ada penjelasan yang detail."
"Itu cara saya mengajar!" bentak Bu Vivi. "Kalau tidak suka, silakan saja lapor ke kepala sekolah!"
Bu Nilam dan Bu Ida yang mendengar keributan itu langsung menghampiri mereka. Mereka berdua memang selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkan Fitri.
"Ada apa ini?" tanya Bu Ida dengan nada pura-pura khawatir.
"Fitri ini loh, Bu," jawab Bu Vivi dengan sinis. "Dia bilang saya tidak becus mengajar matematika."
"Oh, ya?" tanya Bu Nilam sambil menatap Fitri dengan tatapan mengejek. "Memangnya kamu guru yang paling hebat?"
"Saya tidak pernah bilang begitu," jawab Fitri dengan sabar. "Saya hanya ingin mencari solusi terbaik untuk siswa-siswa kita."
"Sudahlah, Fitri," kata Bu Ida. "Jangan sok jadi pahlawan kesiangan. Semua guru juga tahu kok bagaimana kamu itu."
"Maksud Ibu apa?" tanya Fitri dengan bingung.
"Sudah, tidak usah pura-pura tidak tahu," jawab Bu Nilam. "Semua orang juga tahu kalau kamu itu tukang drama dan cari muka."
Fitri menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha untuk tidak terpancing emosi.
"Saya tidak mau berdebat dengan kalian," kata Fitri. "Saya hanya ingin menyampaikan keluhan dari siswa-siswa saya. Saya harap kita bisa mencari solusi terbaik untuk masalah ini."
Fitri kemudian meninggalkan mereka dengan perasaan kecewa. Ia tidak menyangka bahwa rekan-rekan kerjanya akan bersikap seperti itu padanya.
****
Bu Asri, yang sejak tadi menyaksikan perdebatan antara Fitri dan ketiga guru senior itu, akhirnya tidak bisa lagi menahan diri. Ia merasa kasihan dan marah melihat Fitri diperlakukan seperti itu.
"Kalian ini sudah keterlaluan," kata Bu Asri dengan nada tegas. "Kalian sudah menyakiti perasaan Fitri."
Bu Vivi, Bu Ida, dan Bu Nilam langsung menoleh ke arah Bu Asri dengan tatapan sinis. Mereka tidak menyangka Bu Asri akan ikut campur dalam masalah ini.
"Kamu ini kenapa ikut-ikutan?" tanya Bu Vivi dengan nada mengejek. "Mau jadi pahlawan kesiangan juga seperti Fitri?"
"Saya hanya tidak mau kalian bertindak tidak adil," jawab Bu Asri. "Fitri itu orangnya baik, dia tulus ingin membantu siswa-siswanya."
"Tulus apanya?" sahut Bu Ida. "Dia itu cuma cari muka saja."
"Iya, dia itu tukang drama," timpal Bu Nilam. "Semua orang juga tahu kok bagaimana aslinya dia."
Bu Asri menggeleng-gelengkan kepala. Ia sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya menyadarkan ketiga guru senior itu. Mereka sudah terlalu dibutakan oleh rasa iri dan dengki pada Fitri.
"Terserah kalianlah," kata Bu Asri akhirnya. "Tapi, ingat, jangan sampai kalian menyesal nanti kalau sudah menyakiti hati Fitri."
Bu Asri kemudian meninggalkan ruang guru dengan perasaan kesal dan kecewa. Ia tidak habis pikir mengapa ada orang yang begitu jahat dan iri pada orang lain yang berbuat baik.
Sementara itu, Bu Vivi, Bu Ida, dan Bu Nilam masih terus saja membicarakan Fitri dan Bu Asri. Mereka merasa puas karena telah berhasil membuat kedua guru itu kesal.
"Lihat saja nanti," kata Bu Vivi. "Saya akan buktikan bahwa Fitri itu tidak sebaik yang kalian kira."
"Saya juga tidak akan tinggal diam," timpal Bu Ida. "Saya akan cari tahu apa maksudnya dia selalu mendekati siswa-siswa itu."
"Kita harus berhati-hati dengan Fitri dan Bu Asri," kata Bu Nilam. "Mereka berdua bisa saja bersekongkol untuk menjatuhkan kita."
Mereka bertiga pun bersepakat untuk terus mengawasi Fitri dan Bu Asri. Mereka sudah tidak menyukai kedua guru itu sejak lama karena mereka selalu terlihat lebih baik dari mereka di segala hal.