"ABANG HATI-HATI!!!" teriak seorang anak kecil menarik tangan Arrazi yang berdiri diatas pagar jembatan. Hingga keduanya terjatuh di alas jembatan yang berbahan beton.
"Aduh!" rintih gadis kecil yang badannya tertindih oleh Arrazi yang ukuran badannya lebih besar dan berat dari badan kecilnya. Laki-laki itu langsung bangun dan membantu si gadis kecil untuk bangun.
Setelah keduanya berdiri, si gadis kecil malah mengomel.
"Jangan berdiri di sana Bang, bahaya! Abang emang mau jatuh ke sungai, terus di makan buaya? Kalo Abang mati gimana? Kasian Mami Papinya Abang, nanti mereka sedih." omel gadis kecil itu dengan khawatir.
Menghiraukan omelan gadis kecil di depannya, Arrazi menjatuhkan pantatnya di atas jembatan, lalu menangis dengan menekukan kedua kaki dan tangannya menutupi wajah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icut Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 13 : DONGKOL
"Si Dilla *the most lucky little girl*, ya Nia." ucap Ghaniyyah sambil menatap layar HP-Nya. Daniah hanya melirik sekilas.
"Ya iyalah. Dia punya Kakak cantik, pinter, baik kek gue." ceplos Daniah malah membanggakan diri.
"Elah, napa jadi lo yang ge-er. Bukan itu maksud gue. Nih liat, nih."
Ghaniyyah menunjukkan layar HP yang sedari tadi ia pandangi. Mata Daniah membulat, melihat foto yang tertera di layar HP Ghaniyyah. Saat di kantin tadi, Ghaniyyah menyuruh Fadillah untuk duduk di salah satu bangku kantin menunggunya yang sedang membeli batagor.
Selesai mendapatkan batagor yang di pesannya. Tidak di sangka, Ghaniyyah melihat Fadillah sedang duduk di samping Arrazi. Mereka terlihat akrab, apalagi saat Arrazi dan Fadillah menautkan jari kelingking masing-masing saat itu Fadillah dan Arrazi tertawa bersama.
Timing yang tepat, Ghaniyyah langsung memotret kedekatan antara Arrazi dan Adik dari orang yang membenci Arrazi.
"Adek gue lagi ngapain sama dia?" tanya Daniah, merebut HP Ghaniyyah untuk melihat lebih jelas foto kedekatan antara Fadillah dan Arrazi. Bahkan ia men-zoom layarnya.
"Beruntung banget dia bisa akrab gitu sama Dokter Arrazi di pertemuan pertama mereka. Sampe bikin Dokter Arrazi senyum gitu. Aduuuhhh senyumnya itu mengalihkan duniaku." ucap Ghaniyyah puitis.
"Dih, Adek gue kenapa jadi genit gini kek demit itu. Mana pade banget mamerin gigi ompongnya lagi." Daniah malah mengomentari senyuman Fadillah.
"Berarti si Dilla itu udah nyaman Nia, sama Dokter Arrazi."
"........"
"Kalah lo Nia sama Adek sendiri. Dia aja udah bikin Dokter galak itu senyum. Masa lo masih aja di cemberutin sama doi. Hahahah......eh, enggak deng." Ghaniyyah langsung menggantung kalimatnya. Ia menatap wajah Daniah, ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.
"Nia." panggil Ghaniyyah merebut HP-Nya dari tangan Daniah.
"Ghaniyyah, gue bel......."
Ghaniyyah menginterupsi kalimat Daniah. Ia menempelkan jari telunjuknya di bibir Daniah.
"Sssttt........ada yang mau gue kasih tau sama lo." ujar Ghaniyyah dengan serius.
Untuk menambah keseriusannya, Ghaniyyah menyimpan HP-Nya di meja biar tidak ada yang menggangu apa yang akan di sampaikannya. Dan menghadap Daniah dengan tatapan serius.
"Dengerin gue. Dan lo harus percaya apa yang gue bilang. Paham!" perintah Ghaniyyah. Seolah sedang terhipnotis, Daniah mengangguk.
"Pastikan jantung lo aman. Dan nggak sport jantung. Ok!"
"........"
"Jangan teriak."
"........"
"Lo harus tenang dan yang lebih utama lo jangan ge-er. Sekarang ikutin gue. Tarik nafas pelan-pelan, terus buang ya Nia."
Tersadar dengan apa yang di lakukan Ghaniyyah, Daniah memicingkan mata.
"Lo lagi coba hipnotis gue, Ghaniyyah?" curiga Daniah. Ghaniyyah menggeleng.
"Ini lebih dari hipnotis, gue yakin kalo lo dengar, lo nggak akan bisa berword-word, Nia!" ujar Ghaniyyah mendramatisir.
"Apaan emang?"
Ghaniyyah memajukan badannya, bibirnya mendekat ke arah telinga Daniah.
"Dokter Arrazi yang gendong lo, pas lo pingsan di bangsal tadi, Nia. Doi nolongin lo." bisik Ghaniyyah.
"........"
Dua pasang mata itu saling menatap tanpa suara.
".........."
Ghaniyyah memperhatikan wajah Daniah yang terdiam menatapnya. Lalu dia kaget saat Daniah tertawa.
"Ahahah.....lucu banget lawakan lo, Ghaniyyah!" seru Daniah.
Ghaniyyah mengerjapkan mata mendapatkan respon tidak biasa dari Daniah.
"Sumpah Nia, ni beneran. Gue nggak lagi ngelawak. Lo bisa tanya ke Mbak Fadiyah, Mbak Fahimah, Dokter Ghaliya, Dokter Emre, sama semua orang di RS yang liat kalo lo di gendong Dokter Arrazi!" Ghaniyyah menyebutkan orang-orang yang ada saat kejadian untuk meyakinkan Daniah.
"........."
"Sumpah Nia, ini keajaiban yang ke depan versi on the sport! Mana tadi pas lo pingsan, Dokter Arrazi teriak manggil nama lo dan dia keliatan khawatir banget sama lo. Bahkan dia yang ngobatin luka lo. Dia juga......."
"Sssttt....Ghaniyyah, please. Lo dapat inspirasi ngehalu dari mana?"
TUK!
Ghaniyyah menjitak kepala Daniah.
"Mana ada gue ngehalu sama yang jelas-jelas gue liat sama mata kepala pundak, lutut, kaki gue sendiri!" kesal Ghaniyyah, karena Daniah masih tidak mempercayainya.
"Jadi, lo serius?" tanya Daniah mulai percaya.
"Demi keberlangsungan hidup gue di dunia! Gue serius Daniah Hanania Eqbal!" ujar Ghaniyyah dengan sungguh-sungguh.
"Ohh....." ucap Daniah, ia tak bisa membayangkan kalau dirinya benar-benar di gendong oleh Arrazi. Bahkan Dokter galak itu yang mengobati lukanya.
"*Masa iya sih dia gendong, apa se-khawatir itu dia sama gue?" gumam Daniah dalam hati*.
Ia merasa jantungnya tiba-tiba berdegup tak wajar. Badannya merinding dan tanpa di sadari ada semburat merah yang muncul di wajahnya.
"Gila! Hari ini dua gadisnya Pak Dhiau kegaet Dokter Arrazi!" cibir Ghaniyyah. Daniah masih terdiam. Ia masih belum bisa mengendalikan pikirannya.
***
"Nia." panggil Ghazalah yang baru saja masuk ruangan. Membuyarkan lamunan Daniah.
"Kenapa, Za?" tanya Daniah segera ia menoleh ke arah Ghazalah yang menghampirinya.
"Tadi Dokter Ghaliya nanyain lo ke gue, coba lo samperin ke ruangannya deh. Kali aja ada yang penting." ujar Ghazalah yang saat itu sudah duduk di kursi samping Ghaniyyah.
"Nia, kalo lo masih nggak percaya tanyain aja ke Dokter Ghaliya." bisik Ghaniyyah. Daniah mengabaikannya. Tanpa di suruh, Daniah akan melakukannya juga. Tentu tidak langsung pada intinya. Mau dong!
Daniah beranjak dari kursinya, lalu pergi ke ruangan Dokter Ghaliya. Sedangkan di dalam ruangan istirahat koas tempatnya tadi dan Ghaniyyah, Ghazalah berteriak kaget mendengar cerita Ghaniyyah tentang kejadian Daniah dan Dokter Arrazi di bangsal tadi. Karena saat Ghazalah sedang bertugas di bangsal yang berbeda.
"Apa mereka ada hubungan yang di rahasiakan dari kita ya?" tanya Ghazalah. Ghaniyyah menautkan alisnya.
Ghazalah mendekatkan bibirnya di telinga Ghaniyyah.
"Kayanya diam-diam mereka udah pacaran atau......mereka udah nikah?"
"Ada-ada aja lo, kagak mungkinlah."
Sampai di depan ruangan Dokter Ghaliya dan setelah di beri izin untuk masuk, Daniah membuka pintu, lalu masuk. Namun pergerakannya terhenti ketika melihat sosok manusia bernama Arrazi yang beberapa menit lalu di pikirannya dan apa yang di lakukan manusia itu terhadap dirinya.
Ada di dalam ruangan dan sedang berbicara dengan Ghaliya. Mata Daniah dan Arrazi sempat bertemu. Namun laki-laki itu memalingkan wajahnya dengan ekspresi datarnya. Kalau boleh di putar ke belakang, lebih baik Daniah tidak mendengar apa yang dikatakan Ghaniyyah mengenai kejadian itu. Atau Daniah tidak tahu sekalian. Daripada tahu kan jadi malu, canggung juga sama makhluk Tuhan yang satu itu.
"Daniah ayo masuk, ngapain diam disitu?" ujar Ghaliya membuyarkan lamunan Daniah. Membuatnya salah tingkah. Sempat Daniah melirik ke arah Arrazi, namun Arrazi mengabaikannya.
"Tolong di pertimbangkan kembali." ucap Arrazi mengakhiri obrolannya dengan Ghaliya.
Ghaliya mengangguk paham. Kemudian Arrazi pergi dari ruangan, Daniah berpindah tempat saat Arrazi hendak keluar dari ruangan agar tidak menghalangi jalan keluar.
"Daniah, silahkan duduk." ujar Ghaliya. Daniah mengangguk, lalu menuruti perintah Ghaliya. Ia langsung duduk di kursi yang sebelumnya di tempati Arrazi.
"Gimana keadaan kamu, Nia?" tanya Ghaliya memperhatikan Daniah yang saat ini kondisinya terlihat lebih baik. Meskipun ada perban di pelipis kananya.
"Alhamdulilah, sudah lebih baik, Dokter."
"Lebih cantik juga kamu, Nia." ucap Ghaliya memuji kecantikan Daniah yang bertambah karena style rambut yang baru pertama kali ia lihat dari Daniah.
"Terimaksih, Dokter."
"Mengenai Bu Farida, saya benar-benar nggak nyangka, traumanya kambuh saat itu. Padahal baru setengah jam saya dari sana buat ngecek keadaanya. Kebetulan banget, kamu yang disana jadi korbannya, Nia." ujar Ghaliya dengan prihatin.
Daniah terdiam, telinganya memang mendengar penuturan Ghaliya. Namun pikirannya masih tentang cerita Ghaniyyah mengenai kejadian Arrazi yang menolongnya.
"Nia...."
"......."
"Daniah."
"E......eh i.....iya Dokter." ucap Daniah gelagapan, terciduk sedang melamun.
"Kamu kenapa Nia?" tanya Ghaliya sambil memperhatikan wajah Daniah.
"E....enggak Dokter, saya baik-baik aja."
"Seriously?"
Daniah mengangguk.
"Tapi muka kamu mengatakan kamu nggak baik-baik aja, Nia." ucap Ghaliya masih mencoba mendapatkan jawaban dari ekspresi wajah Daniah.
Daniah menelan salivanya. Ia lupa orang yang di hadapannya saat ini adalah seorang psikiater yang bisa membaca raut wajah orang yang sedang berhadapan dengannya. Namun Daniah masih ragu, apakah harus mengkonfirmasi kebenaran cerita Ghaniyyah kepada Dokter Ghaliya?
Malu nggak sih? Beda di pikiran beda di mulut, Daniah menjawab pertanyaan Ghaliya mengenai dirinya.
"Maaf Dokter, saya lagi kepikiran Bu Farida. Sekarang beliau gimana keadaannya?"
"Bu Farida akan di pindahkan ke RSJ sore ini Nia, Karena beliau harus di tangani secar khusus. Ternyata trauma yang di derita cukup parah." ujar Ghaliya.
Mendengarnya, Daniah pun ikut iba dan prihatin mengenai Bu Farida.
Drrrttt.........
"Nia sorry. Sebentar ya suamiku telepon." ujar Ghaliya mengacungkan HP-Nya. Daniah mengangguk mempersilahkan.
Ghaliya terlihat bahagia mendapat telepon dari suaminya, sedangkan Daniah hanya diam dengan pandangan mengitari sekitarnya. Tak sengaja netranya melihat ada sebuah buku catatan yang hardcovernya berwarna hitam dan bagian sisi kanan ada tiga garis vertikal yang berbeda tingginya di atasa meja Ghaliya.
Daniah langsung mengenali buku catatan itu. Kalau tidak salah, itu milik Arrazi. Karena Daniah pernah melihat buku itu ada di meja Arrazi, saat ia sedang konsultasi dengan Arrazi mengenai tugasnya.
"Nia, sorry banget, kayaknya kita lanjut obrolannya nanti ya. Suami aku udah di depan." ujar Ghaliya. Paham dengan yang di maksud, Daniah segera pamit dari ruangan. Namun sebelum ia benar-benar pergi. Ghaliya meminta tolong kepadanya.
"Ini buku Dokter Arrazi. Tolong kasih ke orangnya ya Ni." Thanks."
***
Daniah menghela nafas pelan, netranya menatap ke arah pintu yang ada tertera nama Dr. Arrazi. Tangan kiri Daniah memeluk buku milik Arrazi yang akan ia kembalikan, sedangkan tangan kanannya mengepal hendak mengetuk pintu.
Daniah begitu nervous akan bertemu Arrazi. Karena cerita Ghaniyyah selalu tergiang di telinganya. Ia tidak menyangka Dokter yang begitu galak kepadanya, mau menggendong dan mengobati lukanya. Ah, ada rasa malu di hatinya. namun Daniah harus berterimakasih kepada Arrazi.
TOK! TOK!
Daniah mengetuk pintu dengan memejamkan mata, karena ia tak siap untuk langsung melihat wajah Arrazi. Alis Daniah mengerut dengan mata yang masih terpejam. Ia merasa aneh dengan apa yang barusan ia rasakan dari tangannya saat mengetuk kedua kali.
"Kok pintunya jadi aneh ya?" gumam Daniah.
"Saya manusia bukan pintu!" suara ketus itu membuat Daniah kaget.
Saat matanya terbuka, ia langsung melihat badan Arrazi yang tinggi sedang berdiri tepat di hadapannya. Daniah langsung menarik tangannya yang sempat mengenai dada Arrazi yang di lapisi baju jas putihnya.
Ia mundur dua langkah, lalu mendongakkan kepalanya untuk melihat wajah Arrazi. Karena tubuhnya begitu kecil di bandingkan tubuh Arrazi, mahkluk di hadapannya sedang melototnya.
"Apa liat-liat!" kerusnya lagi. Daniah menelan salivanya.
"M.....maaf Dokter......." cicit Daniah.
"Berikan." ujar Arrazi dingin. Sambil mengulurkan tangannya. Daniah mengerutkan keningnya.
"Buku saya!" ketus Arrazi kesal dengan ekspresi wajah Daniah.
"O...oh...i....ini...." Daniah langsung memberikan buku yang di pegangnya kepada empunya.
"Tunggu Dokter!" seru Daniah saat Arrazi hendak menutup pintu ruangannya.
"Apa?"
"Maaf Dokter, saya ingin bicara. Sebentar saja." ucap Daniah dengan ragu.
"Masuk, waktu kamu cuma 5 menit." ucap Arrazi, lalu ia melangkah kembali dan duduk di kursinya.
Daniah mengikutinya dan duduk di kursi depan Arrazi yang berjarak karena meja.
"Sebelumnya saya meu berterimakasih kepada Dokter karena sudah menolong......"
"Tidak perlu."
Mata Daniah membulat kearah Arrazi yang menginterupsi ucapannya. Namun segera ia netralkan.
"M......maksud Dokter?"
"Seharusnya kamu tau diri Daniah, seberapa kapasitas kamu untuk menangani pasien. Jangan bertindak gegabah." ujar Arrazi dengan sarkasnya.
Daniah lagi-lagi menelan salivanya. Apa salahnya kalau Daniah membantu menangani pasien seperti Bu Farida? Kan itu bagian dari bahan pembelajarannya juga. Apalagi menangani orang yang sedang depresi, stress, bahkan yang sedang nyaris bunuh diri sudah pernah dialami Daniah dalam hidupnya.
"Saya cuma berusaha untuk....."
"Kamu masih belajar. Tidak perlu bertindak seolah kamu paling paham untuk menangani pasien yang mengalami PTSD!" ujar Arrazi dengan dingin. Itu menjadi kalimat terkahirnya, di waktu 5 menit yang di berikan Arrazi kepada Daniah.
Kemudian Daniah keluar dari ruangan Arrazi dengan hati yang dongkol. Padahal sebelumnya ia ingin berterimakasih kepada Arrazi karena sudah menolongnya dan akan memaafkan segala sikap buruk Arrazi terhadapnya selama ini.
Karena Daniah itu cepat sekali tersentuh hatinya dengan sebuah kebaikan yang orang lain lakukan untuknya. Namun kenyataannya, Daniah harus menelan pahit kalimat sarkas di mulut Arrazi. Yang membuatnya kesal, dongkol, marah, aaahhh semua emosi rasanya berkumpul di diri Daniah saat ini.
Yang tadinya Daniah malu-malu kucing untuk menemui Arrazi dan sempat berbunga-bunga hatinya karena tahu, dirinya di tolong Arrazi, kini rasanya Daniah sedang di jatuhkan dari ketinggian 8 meter leh laki-laki berwajah tampan tapi galak luar biasa.
Ia bahkan jalan sambil menghentakkan kaki dan tangan yang menggenggam erat.
"Liatin aja kalo gue punya kekuasaan di sini, gue bakal tendang Dokter Razong itu! Sebelum itu, gue bakal potong lidahnya supaya nggak bisa lagi ngomong seenak jidatnya! Gue congkel mata belonya yang suka melotot itu, gue kasih buat empan hiu sekalian! Aaarrrggghhh!!!" geram Daniah, rasanya jiwa psikopatnya meronta-ronta saat ini.
ha..ha...ha