Judul: Bunga yang Layu di Hati Sahabat
Sasa dan Caca adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi impian, tawa, dan bahkan tangis. Sasa, yang dikenal lembut dan penuh kasih, melanjutkan hidupnya dengan menikahi Arman setelah menyelesaikan kuliah nya, pria yang selama ini menjadi cinta sejatinya. Sementara itu, Caca, yang masih berjuang menemukan cinta sejati, sering merasa kesepian di tengah gemerlap kehidupannya yang tampak sempurna dari luar.
Namun, retakan mulai muncul dalam hubungan persahabatan mereka ketika Caca diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Arman. Perselingkuhan ini dimulai dari pertemuan yang tak disengaja dan berkembang menjadi ikatan penuh godaan yang sulit dipadamkan. Di sisi lain, Sasa merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat yang paling dipercayainya adalah duri dalam rumah tangganya.
Ketika rahasia itu terungkap, Sasa harus menghadapi penghianatan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon icha14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
apakah bisa?
Sore itu, di teras rumah sederhana milik keluarga Caca, suasana hangat tercipta. Angin berembus lembut, membawa harum bunga melati dari taman kecil di halaman. Caca duduk santai di kursi rotan, menikmati teh manis hangat bersama adiknya, Tari. Gadis berusia 17 tahun itu sedang asyik bercerita tentang kesehariannya di sekolah.
“Kak, tadi di sekolah ada lomba debat. Aku sama tim menang, lho,” cerita Tari dengan penuh semangat. Lesung pipinya semakin terlihat saat ia tersenyum bangga.
“Wah, hebat banget adik Kakak! Jadi juara berapa?” tanya Caca sambil menggoda.
“Juara satu dong. Tapi ya, capek banget, Kak. Persiapannya kan cuma dua hari,” jawab Tari dengan nada bangga.
Caca terkekeh. Ia tahu betapa Tari selalu berusaha keras untuk segala hal, sama seperti dirinya dulu saat masih di bangku sekolah. “Dek, ngomong-ngomong, udah punya pacar belum? Masa sih nggak ada yang naksir anak cantik kayak kamu?” goda Caca sambil menatap Tari dengan senyum jahil.
Tari langsung merengut, tapi senyum kecil tetap terselip di wajahnya. “Ih, Kakak apaan sih. Aku nggak mau pacaran dulu, Kak. Mau fokus sekolah aja. Ntar kalau udah sukses, baru deh mikirin yang begituan.”
“Wih, mantap nih. Cita-cita kamu mau jadi apa, Dek?”
“Dokter! Aku pengen ngebanggain Ibu sama almarhum Ayah. Aku pengen ngerawat orang-orang yang sakit, biar nggak ada yang ngalamin susah kayak Ibu,” jawab Tari serius.
Mendengar itu, Caca terharu. Adiknya yang dulu ia rawat sejak kecil, kini tumbuh menjadi sosok yang begitu dewasa dan bertanggung jawab. “Kakak bangga banget sama kamu, Tari. Kalau kamu butuh apa-apa buat sekolah, bilang aja, ya. Kakak pasti bantu,” ujar Caca tulus.
Obrolan mereka terputus saat Ibu mereka, Ratna, muncul di teras sambil membawa beberapa potong kue. Wajahnya yang mulai menua tetap terlihat hangat dan penuh kasih sayang. “Wah, seru banget nih anak-anak Ibu. Lagi ngobrolin apa?” tanyanya sambil duduk di kursi di antara mereka.
Tari dan Caca kompak tersenyum lebar. “Ah, cuma ngobrol-ngobrol ringan aja, Bu. Tari cerita soal sekolah,” jawab Caca.
Ratna menatap kedua anaknya dengan penuh cinta. Meskipun hidup mereka tidak selalu mudah sejak kepergian Ramli, suaminya yang dulu seorang pensiunan tentara berpangkat mayor, Ratna merasa beruntung memiliki anak-anak yang saling menyayangi.
“Caca, jadi kamu pulang hari ini, kan? Besok kan kamu mulai kerja lagi?” tanya Ratna, memecah keheningan sejenak.
“Iya, Bu. Soalnya tugas di kantor lagi banyak,” jawab Caca sambil menyeruput tehnya.
“Kamu naik apa, Nak? Katanya temanmu yang kemarin, si Raihan itu, mau jemput?” goda Ratna dengan senyum penuh arti.
Caca mendengus pelan. “Ih, Ibu apaan sih. Dia itu cuma teman, kok,” jawab Caca, pipinya sedikit memerah.
Tari yang mendengar itu langsung menyahut, “Temen atau demen nih, Kak?” tanyanya jahil sambil terkikik.
“Dasar kamu, Tari. Udah mulai berani godain Kakak, ya?” balas Caca sambil mencubit pelan pipi Tari, membuat gadis itu tertawa keras.
Ratna hanya tersenyum menyaksikan keakraban mereka. Namun tiba-tiba, ia teringat sesuatu. “Oh ya, Caca. Sasa gimana kabarnya sekarang? Udah lama banget dia nggak main ke sini.”
Wajah Caca langsung berubah. Nama itu membawa ingatan tentang masa lalu yang masih menghantuinya—tentang perasaan terlarang yang ia miliki untuk Arman, suami Sasa, sekaligus sahabatnya sendiri. Meski hubungan itu tidak pernah terwujud, rasa bersalah tetap membekas dalam hatinya.
“Dia baik, Bu. Lagi mengandung sekarang, malah katanya kembar,” jawab Caca, berusaha menyembunyikan kegelisahan dalam suaranya.
Ratna tersenyum lembut. “Kapan-kapan ajak dia ke sini, ya. Ibu kangen sama Sasa. Udah lama banget nggak ngobrol sama dia.”
“Iya, Bu. Nanti kalau ada waktu, aku ajak dia ke sini,” jawab Caca, sambil termenung sejenak.
Obrolan mereka terhenti saat suara mesin mobil terdengar dari halaman. Sebuah sedan hitam memasuki pekarangan rumah, dan Caca tahu siapa yang datang. Raihan, pria yang selama ini selalu sabar dan penuh perhatian padanya, turun dari mobil dan berjalan ke arah mereka.
“Assalamu’alaikum,” sapa Raihan sambil tersenyum ramah. Ia langsung menyalami tangan Ratna dengan takzim.
“Wa’alaikumsalam. Sehat, Nak Raihan?” tanya Ratna.
“Alhamdulillah, sehat, Bu. Ibu gimana kabarnya?” balas Raihan dengan sopan.
“Sehat juga. Ayo masuk dulu, Nak,” ujar Ratna, mempersilakan.
“Ah, nggak usah, Bu. Di sini aja ngobrol-ngobrol santai,” jawab Raihan sambil melirik Caca yang berdiri di sampingnya.
Tari langsung masuk ke rumah untuk membuatkan minuman, meninggalkan mereka bertiga di teras. Percakapan ringan terjadi, dengan Raihan menunjukkan perhatian tulus kepada keluarga Caca.
Setelah hampir satu jam, Raihan mengingatkan Caca bahwa mereka harus segera berangkat karena perjalanan ke kota tempat Caca bekerja membutuhkan waktu sekitar empat jam.
Ratna menatap putrinya dengan mata penuh kasih. “Caca, jaga kesehatan, ya. Jangan terlalu capek kerja. Ingat, istirahat itu penting,” pesannya lembut.
Caca mengangguk. “Iya, Bu. Caca pasti hati-hati.”
Ratna kemudian berpesan kepada Raihan, “Tolong jaga Caca, ya, Nak. Hati-hati bawa mobil. Perjalanan jauh, jangan sampai kelelahan.”
“InsyaAllah, Bu. Saya akan hati-hati,” jawab Raihan dengan penuh keyakinan.
Setelah berpamitan, Caca masuk ke mobil Raihan. Tari melambai dari teras, sedangkan Ratna menatap mobil itu hingga menghilang di tikungan.
--
Di dalam mobil, suasana awalnya terasa canggung. Caca sibuk memandangi jalan, sementara Raihan sesekali meliriknya, mencoba mencari topik pembicaraan.
“Caca, ada yang mengganggu pikiran kamu?” tanya Raihan akhirnya, memecah keheningan.
Caca menoleh, menatap pria di sampingnya. “Aku... cuma banyak hal yang kupikirin belakangan ini,” jawabnya pelan.
“Kalau kamu mau cerita, aku selalu siap dengerin,” ujar Raihan, suaranya penuh perhatian.
Caca terdiam, hatinya bergejolak. Ia tahu Raihan tulus, tapi membuka diri sepenuhnya bukanlah hal yang mudah baginya. Ia hanya berharap, suatu hari nanti, ia benar-benar bisa melupakan masa lalu dan memberi pria itu kesempatan."ca kok ngelamun?" tanya Raihan sambil menepuk pelan lengan Caca,Caca pun tersadar dati lamunan nya dan lalu menjawab"gak papa kok Han" jawab caca sambil tersenyum tipis,"kapan pun kamu butuh teman cerita atau butuh bantuan aku akan selalu ada untuk kamu ca kata Raihan sambil memandang lurus ke jalanan.selama 2 jam mereka berkendara samar samar mereka mendengar adzan Maghrib ber kumandang, Raihan dan Caca pun memilih menepih kemasjid di sekitar daerah yang mereka lewati untuk melaksanakan ibadah sholat magrib."kita sholat magrib dulu ya ca ajak Raihan,"iya Han jawab caca sambil mengangguk dan tersenyum kepada Raihan.