Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 31 Jangan Terlalu Berharap
Makan malam kali ini tidak ada suara. Semuanya fokus pada makanan masing-masing. Tidak ada Della juga yang turut bergabung. Wanita itu masih di rumah sakit. Kemungkinan, larut akan kembali.
Alan sendiri terlihat lelah dengan aktivitasnya belakangkan ini.
“Oh, ya. Besok ada peresmian di rumah sakit, Inara, sebaiknya kau datang. Sebagai wakil dari Argha juga. Soalnya, suamimu besok sibuk sekali,” ucap Alan yang memecah keheningan.
Artha tersenyum. Pada akhirnya sang papa mulai angkat bicara. Untuk mengingatkan Inara.
Wanita cantik itu menoleh pada Argha. Tentu ia akan pergi, jika suaminya mengizinkan.
“Em, apa boleh, Mas?” izin Inara dengan hati-hati. Sejak tadi suaminya itu mendiaminya.
“Pergi saja,” jawa Argha yang kemudian tersenyum lembut.
Namun, entah mengapa hal itu justru membuat Inara ketakutan. Pasalnya, Argha bisa tersenyum jika di hadapan keluarganya saja. Saat berdua, pria itu kembali mendiaminya. Jujur, Inara merasa bingung diperlakukan seperti itu.
“Iya, Pa. Besok aku datang.”
Artha melempar senyuman lembut. Ia tak mau menimpali, karena takut akan mengubah pikiran Inara.
“Artha selesai. Artha ke kamar dulu, Pa, Kak, Nara,” pamit Artha.
Inara mengangguk. Argha cuek saja, sementara Alan memberikan anggukan kecil. Inara juga menyelesaikan makannya, namun ia menunggu suaminya itu selesai makan. Seperti biasa, Inara akan membersihkan bekasnya. Membantu pekerjaan pelayan, karena ia tak suka terlalu menganggur.
“Gha, data yang papa kasih tadi apa sudah akurat?” tanya Alan yang juga baru menyelesaikan makannya.
“Sudah, Pa. Tapi aku akan memeriksanya sekali lagi,” jawab Argha yang kini telah selesai makannya.
Inara mulai mengemasi piring kotor di meja. Tak mau terlalu banyak tahu mengenai pekerjaan suaminya. Ia juga kecewa dengan sikap Argha yang acuh tak acuh.
Argha telah kembali ke kamar, begitu juga dengan Alan. Sementara itu Inara masih berkutat di dapur.
“Nona, biarkan saja. Anda istirahat saja,” ucap salah satu pelayan.
“Tidak apa-apa, Mbak. Aku juga menganggur.”
Dua pelayan itu saling tatap. Tak tahu lagi bagaimana menghentikan Inara. Setelah selesai, ia mengambil alih pekerjaan dengan mengelap piring yang telah Inara cuci.
“Oh, ya. Biasanya Mas Argha suka makan buah apa?” tanya Inara berinisiatif untuk memotongkan buah untuk suaminya.
“Pak Argha suka makan buah apel dan juga pir, Nona.”
Inara mengulum senyuman. Ia akan memotongkan buah suaminya, supaya senang. Ya, berharap, tindakannya ini bisa merayu suaminya.
“Nara.”
Inara berlonjak saat Artha memanggilnya. Pria itu tersenyum kecil. Dua pelayan berusaha untuk kembali melanjutkan pekerjaan, mereka tidak mau ikut campur mengenai urusan majikannya.
“Kenapa, Mas Artha?”
Artha mengeluarkan sekotak coklat dari tas kartonnya. “Aku lupa, kalau semalam temanku baru pulang dari Swiss dan memberikan oleh-oleh ini. Untukmu.”
Inara menyukai coklat. Ia tidak akan menolak pemberian itu. “Makasih, ya, Mas Artha.”
“Sama-sama. Kalau begitu, aku ke kamar dulu.”
Inara menganggukkan kepala. Ia membuka kotaknya setelah Artha pergi. Coklat yang menggugah selera.
“Mbak, sini!” panggil Inara pada kedua pelayan yang sedang mengelap piring.
“Iya, Nona?”
“Em, ini untuk kalian.” Inara mengeluarkan sebagian lalu memberikannya pada kedua pelayan itu. Mereka tampak senang karena Inara membagi coklatnya.
“Makasih, Nona.”
“Sama-sama. Oh ya, kalian lanjutin ya. Aku akan ke atas memberikan buah ini pada Mas Argha,” pamit Inara dengan ramah.
“Iya, Nona.”
Inara menteng coklat dan buah di tangan yang berbeda. Mood gadis itu berubah membaik setelah mendapatkan coklat. Sejak dulu, Inara memang suka makan cokelat.
Saat hendak ke lantai atas, Inara berpapasan dengan suaminya yang turun membawa teko air yang kosong.
“Mas, aku potongin buah ini untuk kamu,” ucap Inara sambil menunjukkan piring buah di tangannya.
“Oh, iya. Letakkan saja di meja kerjaku. Aku mau turun ambil air.” Argha menjawab dengan datar. Mirip seperti Argha yang belum menjalin hubungan dengan Argha sebelumnya.
Sebagai seorang istri, jujur saja Inara merasa tersentil.
“Em, biar aku yang ambil airnya, Mas.”
“Ah, tidak. Ini pekerjaan kecil.”
Dengan berat hati, Inara mengangguk. Ia bergegas menuju ruang kerja suaminya untuk meletakkan potongan buahnya.
Sementara itu, Argha sendiri menuju dapur untuk mengambil air. Namun, tak sengaja ia mendengar dua pelayan yang sedang membicarakan Inara.
“Nona Inara sangat baik. Bahkan, bisa gitu akrab lagi sama Pak Artha, padahal kemrin-kemarin aku lihat, Nona Inara sedikit ketus, karena Pak Artha sedikit memaksa.”
Argha tetap diam di tempat, ia tidak langsung masuk ke dapur. Jujur, ia penaaran dengan apa yang terjadi.
“Ah, biarlah. Yang penting, kita bisa merasakan cokelat Swiss yang enak ini. Pak Artha pengertian banget ya, bia kasih cokelat.”
Sebelah tangan Argha mengepal. Dadanya menjadi panas. Ia tak menyangka, coklat yang tadi ditenteng oleh Inara, ternyata pemberian dari Artha.
Argha masuk ke dapur untuk mengambil air, dan seketika obrolan kedua pelayan itu terhenti.
Jujur, Argha ingin membuang kotak coklat itu, tetapi tak berdaya.
Usai mengambil air, Argha langsung naik ke atas. Ia akan mencari istrinya. Dan saat membuka pintu kamar, istrinya itu sedang menatap cokelat yang akan ia makan.
“Saat moodku berantakan, sejak dulu cokelat yang jadi penenang, berharap, moodku yang kurang baik karena sikap Mas Argha, bisa kembali baik.”
Tangan Argha yang memegang kenop pintu bergetar, ia mengurungkan diri untuk masuk ke kamar.
‘Apa dia tersinggung?’ batin Argha. Ia mengangkat kepalanya lagi, memperhatikan istrinya yang belum menyadari keberadaannya ini. Inara tampak tersenyum saat mengunyah cokelatnya.
Argha menarik diri. Ia menghela napas dalam, mencoba mengisi oksigen yang menipis, menimbulkan rasa sesak di dalam dadanya.
‘Nara, kenapa kamu masih mau berhubungan dengan Artha, padahal dia sudah mematahkan hati kamu,’ batin Argha. Ia memilih untuk ke ruang kerjanya, melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
“Harusnya aku terlalu sadar diri, jika Mas Argha, tak akan pernah bisa mencintaiku dengan baik. Apa yang harus aku harapkan lagi? Sejak awal, hubungan kami hanya berdasarkan hubungan saling menguntungkan, bukan?” gumam Inara, nelangsa.
Inara memasukkan kotak cokelatnya ke dalam lemari es kecil yang ada di pojokan kamarnya. Ia bergegas ke kamar mandi, untuk menggosok gigi dan mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur, namun sebelum itu, ia menutup pintu kamar yang sedikit terbuka.
Ia mencoba untuk tetap menerima segala bentuk perlakuan dingin suaminya. Inara tidak mau terlalu berharap pada suaminya itu.
Karena sejak awal, hubungan mereka dibina, bukan atas dasar cinta sama cinta. Melainkan hubungan saling menguntungkan, meski begitu dalam hati kecil Inara memiliki harapan, jika pernikahannya kelak akan ditumbuhi oleh perasaan cinta sama cinta. Yang mana mereka bisa hidup layaknya pasangan pengantin pada umumnya, bahagia.
“Sepertinya itu hanya mimpi.”