Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 19
Acara yasinan berjalan lancar, di penghujung acara tuan rumah sengaja menyediakan berbagai macam hidangan untuk menjamu mereka, juga beberapa oleh-oleh kue buatan Sukma untuk keluarga di rumah.
Indra dan Dafa membantu Wijaya menyiapkan oleh-oleh yang akan dibagikan saat para jamaah pulang nanti, sementara Rendra membantu Nadira mengabadikan momen berharga ini. Sedangkan Sukma dan nenek Ratih tentu saja berada di tengah-tengah para jamaah sebagai tuan rumah.
“Semoga toko mbak Sukma senantiasa mendapatkan keberkahan, dan bisnisnya jadi bisnis yang lancar dan laris manis ya,” ucap seorang wanita paruh baya yang bernama Ibu Dahlia, wanita dengan lipstik merah merona itu tersenyum menampilkan giginya yang putih. Di sampingnya mbah Giyem mengaminkan doa wanita itu.
“Mbah Ratih, kami semua berharap kedepannya mbak Ratih bisa aktif kembali acara yasinan ini. Kan bagus kalau bisa berkumpul bersama seperti ini.” Kali ini pemimpin jamaah yang merupakan istri kepala desa itu menyampaikan keinginannya.
“Benar yang dikatakan ibu Jihan, sekarang kan sudah ada menantumu Mbak. Bawa aja sekalian Sukma, biar kenal semua warga desa, itung-itung bisa promosi juga. Ya kan Sukma?” Mbah Sani mengedipkan sebelah mata pada menantu nenek Ratih itu. Sukma tertawa canggung mendengar percakapan mereka.
“Insya Allah kami akan ikut yasinan, iya kan Sukma?” tanya nenek Ratih tiba-tiba, bahkan sebelumnya wanita sepuh itu tak ada membahas masalah ini dengan menantunya. Terpaksa Sukma pun mengangguk, sebab semua mata tertuju padanya seolah tengah menuntut sebuah jawaban.
“Alhamdulillah, oh iya gadis itu putrimu Nak?” mbah Ratri, yang paling sepuh di antara mereka menunjuk Nadira. Sukma mengiyakan pertanyaan itu, memanggil Nadira untuk mendekat dan bersalaman dengan semua orang.
Nadira ingin protes, pasalnya ada sekitar dua puluh lebih jamaah dan ia harus bersalaman satu persatu. Tapi tetap melakukannya meski dengan setengah hati.
“Kamu cantik sekali Nduk, mirip ibumu. Kalau yang lelaki itu siapa? suamimu kah?” kali ini mbah Ratri menunjuk Rendra, Nadira jadi salah tingkah, begitupun Rendra yang berdiri memegang kamera, ia menggeleng pelan. Sementara Nadira mengaminkan ucapan mbah Ratri dalam hati.
“Bukan mbah, itu santri kyai Usman. Sengaja datang untuk membantu kami karena Wijaya masih sakit,” jawab Sukma lagi. Mereka pun mengangguk mengerti, dan percakapan kembali berlanjut hingga acara selesai.
Beberapa hari setelah acara, hal aneh yang terjadi di rumah hanyalah sebatas suara ketukan jendela dan burung hantu. Sukma dan Nadira sudah sangat lelah menghadapi semua ini, keduanya selalu tidur bersama, dan setiap kali hal aneh itu tiba mereka cuma bisa memejamkan mata sambil berdoa.
Nenek Ratih benar-benar mengajak Sukma ikut acara yasinan setiap satu minggu sekali, bahkan acara-acara lain seperti pengajian umum. Sebenarnya Sukma tak keberatan juga, tapi ia masih kesal lantaran ibu mertuanya itu enggan meminta tolong kyai Usman perihal rumah mereka, padahal gangguan itu masih berlanjut dan Sukma juga Nadira korbannya.
Malam itu, nenek Ratih mengajak Sukma berangkat acara yasinan di rumah mbah Ratri, kebetulan rumah wanita sepuh itu agak jauh sehingga Sukma membawa kendaraan, supaya ibu mertuanya tidak terkena angin malam alasannya.
Mereka berangkat ba’da sholat maghrib setelah mengantar Nadira mengaji. Sementara Nadira tak segera pergi ke mushola setelah kendaraan yang membawa ibu dan neneknya pergi dari halaman pesantren, ia justru berjalan menuju kantin menemui Maria.
“Hai Nad, lesu gitu kenapa sih? biasanya aja kamu yang paling ceria nyariin Rendra kesana kemari,” sapa Maria menggoda.
“Hah, entahlah Mbak. Aku lagi pusing mikirin hidup,” ucapnya. Bagaimana tidak, suara-suara aneh membuatnya tak bisa tidur nyenyak, dan setiap malam tiba Nadira merasa seolah beban kembali hadir di pundak.
“Aduh kamu ini, udah kayak orang bener aja,” jawab Maria terkekeh pelan.
Nadira memutar mata jengah, candaan Maria terdengar menyebalkan. Tapi rasa kesal di hatinya segera luntur tatkala melihat Rendra bersama seorang lelaki yang tak dikenalnya keluar dari kamar, keduanya berjalan beriringan menuju parkiran. Diam-diam Nadira mendekati mereka, bersembunyi dibalik rindangnya tanaman pucuk merah.
“Kenapa sih Ren, kalau lihat fotonya si Nadira ini kan cantik, keluarganya juga baik katamu. Yah, meski minusnya di akhlak. Tapi itu kan bisa diubah, lagian tugas lelaki mendidik wanitanya,” ucap lelaki itu. Keduanya tak sadar Nadira mendengarkan percakapan mereka.
“Bukan masalah itu Roy, tapi usia kita terlalu jauh. Lagian aku belum ingin menjalin hubungan dengan siapapun.”
“Kamu masih belum bisa lupakan Kia?”
“Apaan sih? dia udah jadi milik Husin, dia udah bahagia jangan pernah bahas dia lagi.”
“Nah itu tau, kamu juga harus bahagia. Mau sampai kapan kamu terjebak disini, pulang lah. Apa karena pak Darma?”
Nadira melihat wajah Rendra memerah, ada kesedihan yang tak terukur disana. Lelaki itu berusaha keras menyembunyikan hal itu, tapi siapapun yang melihatnya kini tahu persis bahwa hatinya sedang tak baik-baik saja.
“Aku tak mengenalnya, kenapa harus membahas lelaki itu.”
“Astaga, ya ya baiklah. Tapi kamu harus ingat Ren, bagaimanapun tanpa dia kamu tak akan pernah ada di dunia ini, renungkan ucapanku ini. Maaf bukannya aku mengguruimu, aku cuma sampaikan apa kata bapak. Bisnis keluargamu berantakan, toko, peternakan dan lain lain membutuhkan pemimpin. Aku yakin kamu bisa jadi pemimpin yang lebih baik dari pak Darma, dan satu lagi umurmu tak lagi muda. Sudah waktunya kamu berkeluarga, nggak iri kamu lihat aku?”
“Apa? kamu dan Desy? sama sekali tidak,” jawab Rendra mendorong pundak Roy.
“Eh ngomong-ngomong, kamu banyak berubah ya Ren. Dulu boro-boro nasehatin kamu, sedikit cerewet aja kamu bilang aku banyak omong dan memaksaku diam, sekarang kamu sedikit alim eh…”
Rendra memukul temannya, keduanya tertawa cekikikan keluar gerbang. sepertinya Rendra hendak mengantar kepergian temannya. Nadira terdiam menyaksikan pemandangan ini, lelaki bernama Roy itu membuatnya tahu beberapa informasi baru. Diam-diam Nadira kembali ke mushola dengan hati gelisah.
Sepulang mengaji, Nadira semakin resah kala mendapatkan pesan dari Wijaya. Pak leknya bilang masih belum pulang dari rumah Narso, sedangkan ibunya tidak bisa dihubungi. Sepertinya acara yasinan belum rampung, sementara satu persatu santri telah meninggalkan mushola.
“Nad, belum dijemput?” tanya Maria yang sedang menutup pintu kantin.
“Belum Mbak, pak lek nggak bisa jemput sedangkan ibu nggak bisa dihubungi.”
“Aku antar ke ndalem dulu yuk, sambil nunggu ibu Sukma.”
Nadira merasa segan, sejujurnya ia selalu merasa tak nyaman jika berbincang dengan bu nyai Hasna. Rasanya ada perbedaan tinggi di antara mereka. “Nggak perlu Mbak, biar aku tunggu aja disini. Mungkin sebentar lagi acara yasinannya selesai dan ibu akan balas pesanku.”
“Baiklah Nad, aku masuk dulu ya. Maaf nggak bisa temani, perutku agak mulas.” Maria memegang perutnya dan berlari masuk ke wilayah kamar putri.
Nadira tersenyum canggung, sekarang tinggallah ia sendiri di depan mushola yang lampunya telah dimatikan. Sementara pintu ndalem kyai Usman telah tertutup rapat, sesekali Nadira melirik ke arah kamar putra. Ia sangat berharap bisa meminta tolong Rendra mengantarnya, tapi mengingat ucapan lelaki itu tadi membuatnya membuang jauh-jauh pikiran itu.
“Nadira…”
“Astaghfirullahal adzim…”
.
Tbc