“Apa ... jangan-jangan, Mas Aldrick selingkuh?!”
Melodi, seorang istri yang selalu merasa kesepian, menerka-nerka kenapa sang suami kini berubah.
Meskipun di dalam kepalanya di kelilingi bermacam-macam tuduhan, tetapi, Melodi berharap, Tuhan sudi mengabulkan doa-doanya. Ia berharap suaminya akan kembali memperlakukan dirinya seperti dulu, penuh cinta dan penuh akan kehangatan.
Namun, siapa sangka? Ombak tinggi kini menerjang biduk rumah tangganya. Malang tak dapat di tolak dan mujur tak dapat di raih. Untuk pertama kalinya Melodi membuka mata di rumah sakit, dan disuguhkan dengan kenyataan pahit.
Meskipun dirundung kesedihan, tetapi, setitik cahaya dititipkan untuknya. Dan Melodi berjuang agar cahaya itu tak redup.
Melewati semua derai air mata, dapatkah Melodi meraih kebahagiaan? Atau justru ... sayap indah milik Melodi harus patah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SPMM27
"Nad—Nad, tenang, jangan main kekerasan begini." Vina berusaha menengahi. Ia bisa merasakan sesakit apa kepala Karin sekarang.
Nadia menoleh, sorot matanya tajam dan bengis. Ia melempar cup kopi panasnya ke sembarangan arah, lalu ia juga menjambak Vina. Wajah dua wanita itu benar-benar membuatnya muak. Dua wanita yang sudah membuat kehidupan Melodi bak di neraka.
Vina menjerit. "Adududududuh, sakit, Nduuuut!"
Darah Nadia semakin mendidih, "nyari mati lo pada, hah!"
Ia menarik rambut keduanya, kemudian berbalik badan. Ia berniat hendak menggiring keduanya ke kolam air pancur rumah sakit dan melempar Karin dan Vina ke sana. Namun, langkah kaki Nadia mendadak berhenti di tempat. Tenggorokan nya tercekat, mulutnya menganga saat melihat Dokter Andra di depannya.
Manik Nadia melebar, hampir melotot ketika melihat noda cokelat kehitaman membasahi jas putih yang dikenakan Dokter Andra. Nadia menunduk, ingin memastikan keraguan. Ternyata benar, noda itu berasal dari cup kopi panas yang dilemparkan nya ke sembarang arah.
Nadia melepaskan genggamannya pada rambut Vina dan Karin. Kedua wanita itu tersenyum puas, mereka mengerti apa yang tengah terjadi. Mereka kira, Nadia sedang di dalam masalah besar.
"Mas Dokter, sakiiit." Vina mendekati Andra sambil menunjukan kepalanya, suaranya sengaja dibuat mendayu-dayu. Sedari tadi ia sudah tertegun melihat ketampanan Andra.
Andra hanya diam saja, sebenarnya pria tampan itu masih menetralisir kan degup jantungnya. Entah kenapa, melihat Nadia menjambak dua wanita yang tak dikenal nya tiba-tiba saja membuat jantungnya meronta-ronta.
"Ada keributan apa ini?" tanya Andra akhirnya. "Harap tidak melakukan keributan apapun di rumah sakit. Karena hal itu dapat memicu ketidaknyamanan para pasien yang sedang berjuang demi kesembuhan mereka."
Kata-kata itu menusuk di hati Nadia. Ia jadi teringat akan sosok sahabat yang terbaring lemah di atas ranjang.
"Si gendut itu tuh, Dok!" tuding Vina ke arah Nadia. "Tiba-tiba aja ngejambak orang."
Karin turut berjalan mendekati Vina dan Dokter Andra. "Betul itu, Dok," katanya tenang. "Padahal tujuan kami ke sini itu baik, ingin menjenguk istri dari rekan kerja saya. Namanya, Melodi. Tapi ...."
"Orang itu." Ujung jari Karin menunjuk Nadia. "Malah nggak ngizinin kami masuk dan berujung membuat keributan."
Andra menarik napas panjang, seolah menahan diri. Kemudian, ia menatap Karin. Tatapan itu tenang, tapi tajam. "Jam besuk sudah selesai. Silahkan datang kembali besok. Lagipula, orang yang baru mengkonsumsi alkohol tidak diperbolehkan masuk."
"Saya kan nggak bau alkohol, Dok." Vina mengguncang manja lengan Andra, seakan sengaja menggoda. "Malah, saya ini keluarga Melodi. Tapi, nggak di izinin masuk juga sama tuh gentong."
Wajah Nadia merah, ia menahan marah. Ingin sekali ia menghantam kedua wanita di hadapannya. Namun, ia teringat akan Melodi yang tengah berjuang di dalam sana.
'Kenapa gue ngerasa malu ya?' batin Nadia ketika ada rasa sakit yang menggigit di jantungnya. 'Nggak apa-apa gue dihina siapa aja dan di mana aja, tapi, jangan di depan pria ini.'
"Selain tim medis, yang boleh masuk ke ruangan Bu Melodi hanya keluarga inti dan orang yang sudah mendapatkan izin langsung dari Pak Aldrick." Andra melirik Nadia sekilas. "Jika Anda memang bagian keluarga, silahkan temui Pak Aldrick terlebih dahulu untuk mendapatkan izin. Tapi, hanya boleh menjenguk 5 menit saja."
Vina celingukan, mengedarkan pandangannya. Mencari di mana sosok Aldrick.
"Saat ini Pak Aldrick berada di ruang inap ibunya," lanjut Andra. Seolah-olah mengerti bahwa Vina tengah mencari sosok Aldrick.
"Ruang inap ibunya? Tante Ajeng? Tante saya kenapa memangnya?" tidak ada raut cemas dari wajah Vina. Yang terlihat hanya raut, penasaran. Tangannya tak henti bergelayut seolah-olah meminta perlindungan.
"Kalau penasaran, tanya sendiri sana!" bentak Nadia tiba-tiba. Seolah ia sengaja memotong pembicaraan mereka agar Andra tak memberikan informasi lebih dari itu. "Jangan cuma menyampah di sini sambil ngusel-ngusel ke laki-laki kayak kucing betina lagi birahi! Inget suami sama anak di rumah! Kalau kebelet gatel, garuk dulu pake sikat WC!"
Vina melepaskan tangannya dari lengan Dokter Andra, wajahnya merah padam.
'Si gendut ini memang sialan! Berani-beraninya dia nyebut suami dan anakku. Jadi ketahuan kalau aku udah nikah! Jangan sampai deh berpas-pasan sama dia, kalau aku lagi menggadis di luar sana. Bisa bahaya,' gerutunya di dalam hati.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Duh, Tanteeee. Kok nggak ngabarin sih kalau masuk rumah sakit?" Vina melenggang dengan suaranya yang menggelegar.
Karin mengekor di belakang Vina. Dengan penuh percaya diri, ia melemparkan senyuman menggoda ke arah Aldrick. Namun, pria itu memilih membuang wajah.
Aldrick berusaha menahan diri dari amarahnya yang nyaris meledak. Pria itu mendekati wajah sang ibu.
"Bu, bersikap biasa aja ya, jangan terlalu kentara. Aku bakal nyelidikin ini semua," bisik Aldrick di telinga ibunya. "Aku keluar dulu."
Aldrick menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum ia melewati kedua wanita yang sangat merusak moodnya.
"Drick ...." Sapa Karin ketika Aldrick melewati nya begitu saja. Padahal, ia sudah berdandan secantik mungkin sebelum datang ke rumah sakit.
Wanita itu lekas berbalik badan, menyusul Aldrick yang keluar ruangan.
"Drick ...!" Karin berhasil meraih tangan pria idamannya, ia tersenyum senang. Namun, senyuman itu hilang ketika Aldrick menepis kasar genggaman nya.
Aldrick berbalik badan, tangannya berkacak di pinggang. Wajahnya benar-benar muak.
"Ada apa lagi?" tanya nya dingin.
Karin kembali tersenyum. "Mau ke mana? —Aku baru aja dateng loh, masa—ditinggalin ...."
"Memangnya ... aku yang nyuruh datang?" sinis nya.
Karin cemberut. Tentu ekspresi itu hanya dibuat-buat, demi menunjukkan ekspresi yang menggemaskan di mata lawan bicaranya. "Kok kamu gitu, sich? —Padahal niat aku baik. Aku denger, katanya istri kamu sakit. Makanya sebagai rekan kerja yang baik, aku datang ke sini. Eh, ternyata, ibu kamu juga sakit. —Ibu sakit apa, Drick?"
"Ibu ku ada di dalam, tanya sendiri aja." Aldrick berbalik badan, hendak melangkah pergi. Lebih tepatnya, malas meladeni.
"Mau ke tempat Melodi? Ibu kamu juga sakit loh, Drick. —Jangan durhaka hanya karena satu perempuan seperti itu. Istri masih bisa diganti, tapi, Ibu? Nggak bisa digantikan dengan apapun," kata Karin penuh maksud.
Aldrick terdiam di tempat, kedua tangannya mengepal erat. Bara api itu nyaris meledak, ia menarik dalam-dalam napasnya. "Ketika aku menikahi Melodi, ibu ku bilang : sekarang, satu-satunya wanita yang harus diutamakan hanya isterimu seorang, Drick. Aku hanya melakukan hal yang menurut ku benar, Rin. —Selera mu tentang pria cukup unik ya? Semoga, kamu bertemu pria seperti yang kamu katakan tadi ya, Rin. Pria yang sudi mengganti istri, demi ibunya."
Setelah berkata demikian, Aldrick meninggalkan Karin begitu saja. Ia tidak mau jika percakapan itu berkembang lebih jauh dan berujung ia hilang kendali.
Sebelum menuju ke ruangan Melodi, Aldrick lebih dulu menuju ke suatu tempat. Ia rasa, ia perlu memperbaiki dulu moodnya sebelum kembali ke ruangan sang istri.
Satu jam telah berlalu, Vina dan Karin berpamitan pulang pada Ajeng. Susah payah mereka menjaga ekspresi kesal karena tidak mendapatkan informasi yang menyenangkan hati mereka.
"Sialan banget, capek-capek kita ke sini, malah nggak dapat apa-apa!" cicit Karin.
Keduanya berjalan menuju parkiran, tentunya mulut mereka saling berkicau. Namun, setibanya di depan mobil, keduanya terdiam. Mata Karin terbelalak, mulutnya menganga.
"MOBIL GUE?! KENAPA JADI BANYAK BARET BEGINI?!"
.
.
.
Flashback.
Di ujung persimpangan jalan, Aldrick menunggu segerombolan anak-anak jalanan yang keluar dari area rumah sakit.
Ia membuka kaca mobilnya perlahan begitu rombongan itu sudah berdiri di sisi mobil. Salah satu rombongan itu mengeluarkan ponsel yang sudah usang, ia menunjukkan satu video yang di inginkan Aldrick. Bukti bahwa mereka bekerja sesuai perintah.
Aldrick tertawa pelan, hatinya puas saat anak-anak itu menggores body mobil Karin dengan beberapa batu.
"Kerja bagus," pujinya.
Setelah mengembalikan ponsel itu, ia mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya.
"Terimakasih banyak, Bang. Semoga istri dan ibunya abang lekas diberi kesembuhan." Ucap satu remaja yang menenteng ukulele di tangannya.
*
*
*
itu rumah makan menyediakan saksang,yg dari daging *bebi* kan?