"3 tahun! Aku janji 3 tahun! Aku balik lagi ke sini! Kamu mau kan nunggu aku?" Dia yang pergi di semester pertama SMP.
***
Hari ini adalah tahun ke 3 yang Dani janjikan. Bodohnya aku, malah masih tetap menunggu.
"Dani sekolah di SMK UNIVERSAL."
3 tahun yang Dani janjikan, tidak ditepatinya. Dia memintaku untuk menunggu lagi hingga 8 tahun lamanya. Namun, saat pertemuan itu terjadi.
"Geheugenopname."
"Bahasa apa? Aku ga ngerti," tanyaku.
"Bahasa Belanda." Dia pergi setelah mengucapkan dua kata tersebut.
"Artinya apa?!" tanyaku lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Dani melepaskan ular itu agak jau dari perkemahan. Setelah dia kembali, melihat tanganku yang masih dipegangi oleh Arzio. Dengan kasar Dani memaksa tangan itu terlepas dariku.
Dani menatap tidak suka pada Arzio. Tapi Arzio malah tersenyum.
"Gue pastiin lo cuma teman kelas Arlita, ga lebih!" ucap Dani berlalu menarik tanganku untuk mendekat padanya.
"Kita emang temen sekelas," ucapku.
"Gue pastiin ibu lo ga tau soal ini," ucap Arzio padaku.
Bertepatan dengan itu ibu meneleponku. Aku langsung menarik Arzio menjauh dan menjawab panggilan tersebut.
"Halo, Bu," ucapku.
"Gimana? Udah sampe?" tanyanya.
"Udah, ada Arzio juga di sini," jawabku.
"Jio, Ibu titip Lita ya? Jagain dia. Maaf kalo ngerepotin," ucap ibu membuatku kembali ingin menangis.
Bagaimana jika ibu tau bahwa di sini ada Dani? Apakah ibu akan marah?
Arzio menatapku dan menghela napas lelah. "Iya, Bu," jawabnya.
***
Selesai kami mendirikan tenda untuk suplai. Sekarang kami harus mendirikan tenda masing-masing. Padahal tenda yang lain sudah berdiri kokoh.
"Capek," ucapku meneguk air minum.
Arzio mengeluarkan tenda milikku dan mendirikannya sendirian. Terkadang aku merasa sangat bersalah jika melihat apa yang ia lakukan untukku. Tapi harus kuakui, perasaan itu hanyalah rasa bersalah, tidak lebih.
Kubawakan sebotol air minum untuknya. Namun, di tengah langkah, Dani datang dan membuatku terdiam di tempat saat ini.
"Kenapa?" tanyanya.
"Ah, ga. Cuma mau minum," jawabku.
Dani tersenyum dan membukakan tutup botol tersebut. Aku balas senyuman itu.
"Makasih," ucapku.
Ia mengusap lembut rambutku dan berlalu. Setelah aku pastikan Dani tak terlihat, kembali aku berlari mengejar Arzio yang sudah kelelahan mendirikan tenda.
"Nih!" Kuberikan botol air mineral itu padanya.
Dia mengambil dan meminumnya. Tak ada senyuman terlihat di wajah Arzio.
"Kenapa?" tanyaku.
"Mana garemnya?" Dia mengalihkan bahasan.
Kuberikan sebungkus garam dapur dan sebungkus garam kristal. Arzio menaburi garam tersebut di sekitar tendaku, tenda milik Liu Xian Zhing dan Rina.
"Agak banyakan, Zio! Tadi aja ada uler. Agak ngeri," ucap Rina.
"Dani mana?" tanya Liu Xian Zhing padaku.
"Ga tau," jawabku yang sedang memerhatikan Arzio menaburi garam.
Hingga ia benar-benar selesai dengan garam itu dan menghampiriku. "Selimutnya mana?"
"Ada," jawabku singkat.
Kenapa dia sebaik ini? Aku tak bisa diperlakukan begini.
Mata kami bertemu dan hanya berdiam diri. Saling menatap untuk waktu yang lama. Hingga akhirnya dia memperbaiki posisi rambutku yang sempat berantakan saat diusap oleh Dani.
"Lepas aja kuncirnya. Makin malam bakalan makin dingin. Kalo ga tahan dingin, di tenda gue ada jaket. Pake aja," ucapnya.
Aku mengangguk.
"Kalo Dani nanya itu jaket siapa, bilang aja jaket lo," lanjutnya dan berlalu.
Ga seharusnya lo seperhatian ini, Arzio! Lo inget kalo gue ga tahan dingin? Lo bukan pacar gue! Pacar gue itu Dani! Mana boleh selingkuhan seprofesional ini! Sampe nyuruh gue bohong ke Dani segala.
"Ta! Lo dipanggil Pak Bondan!" teriak Liu Xian Zhing.
"Mau ngapain?" tanyaku.
"Lo samperin aja. Gue ga mau dibawelin," jawabnya.
***
"Arlita. Di setiap perwakilan sekolah harus ada PMR, kamu masuk PMR ya? Buat ngobat-ngobatin orang luka gitu. Soalnya bapak udah tanyain semua murid, ga ada yang mau. Ga mungkin sekolah kita ga ada perwakilan. Mau ya?" paksa Pak Bondan.
"Tapi kan aku ga ngerti obat-obatan, Pak! Kalo malah ada yang keracunan, gimana?" bantahku.
"Ini cuma buat bantuin pertolongan pertama aja, Arlita." Mendengar kalimat dari kepala sekolah, aku langsung mengangguk setuju.
Aku diantarkan untuk bergabung dengan para perwakilan PMR dari sekolah lain. Kami diberi pelatihan sebentar dan diperkenalkan alat serta perlengkapan pertolongan pertama.
"Kita mulai yang jaga hari ini di pos kesehatan ada Arlita, Weji, Aisyah, Bimo, Kelia, Vivin, Mareta dan Piola."
Hum, sial!
Aku kebagian tugas untuk berjaga di pos kesehatan sepanjang hari ini.
***
Semua orang yang berada di pos kesehatan mengobrol dengan asik. Tidak sama denganku yang duduk diam termenung.
"Apel sore! Semua berkumpul di lapangan!" Teriak dari toa yang terdengar hingga ke sini.
Akhirnya aku bisa bertemu dengan Liu Xian Zhing dan Rina.
"Lo ke mana aja?" tanya Rina.
"Dipaksa ikut PMR dari Pak Bondan!" omelku.
Setelah apel sore, kami mengadakan acara masak-memasak, dan sholat bagi yang beragama muslim. Setelahnya, makan malam bersama, dan malamnya kami membuat api unggun.
Setidaknya, ada 13 murid mengalami luka bakar ringan, sebab mereka bermain api dengan sedotan plastik. Tetesan plastik yang mencair itu mengenai banyak orang.
Saat aku sedang mengobati tangan seorang murid dari sekolah lain, tiba-tiba Dani masuk dengan wajah yang pucat.
"Kenapa?!" tanyaku.
"Pingsan," jawab petugas PMR yang lain.
"Tidurin di sini aja!" ucapku panik. Dengan cepat ku selesaikan mengobati tangan murid yang terbakar tadi. Setelahnya, aku bisa menghampiri Dani.
"Kamu kenapa?" tanyaku.
Dia malah tersenyum. "Pusing aja, butuh istirahat," jawabnya.
Saat aku sedang mengompres kening Dani dengan air es, tiba-tiba Arzio masuk dan berbaring di seberang Dani.
"Lo kenapa?!" tanyaku.
"Diem! Gue mau tidur!" ketusnya.
Aku sibuk menyelimuti Dani. Sementara Arzio berbaring dengan gaya menutup mata dengan lengan kanannya.
Aku duduk di sebelah Dani dan memerhatikan wajahnya yang pucat. Dia tidak tidur. Hanya menahan pusing. Tampak jelas demamnya itu. Tidak seperti Arzio yang datang ke sini hanya untuk tidur.
"Kamu ga bantuin yang lain?" tanya Dani.
"Udah rame juga, lagian aku ga ngerti. Ini aja masuk PMR dipaksa kepala sekolah," jawabku.
"Ga apa-apa, sekalian belajar," ucap Dani.
Secara cepat otakku membayangkan Arzio yang berada di posisi ini. Mungkin dia akan berkata, "Ya ga apa-apa, sekalian belajar ngerawat suami."
Iuewww!
Aku menoleh pada Arzio yang masih berbaring. Tiba-tiba dia bangkit dari baringnya dan mengambil obat.
"Lo mau obat apa?" tanyaku.
"Obat buat nurunin panas," jawabnya.
Hah?! Obat apa itu?
Arzio mengambil obat berbungkus putih. "Parasetamol," ucapnya menunjukkan obat tersebut padaku.
"Buat nurunin panas apa?" tanyaku.
Arzio menarik tanganku menyentuh jidatnya. Dia demam. Tanpa kata, ia memakan obat tersebut.
"Berarti salah!" ucapku.
"Salah apa?" tanya Arzio.
"Ini obat buat apa?" tanyaku menunjukkan sebuah obat berbungkus biru.
"Ini anti biotik, buat menekan gejala bakteri, virus, jamur," jawab Arzio.
Mampus!
Kuambil obat yang sama dengan Arzio. "Minum obat ini, Dan," ucapku.
"Tadi lo kasih dia anti biotik?" tanya Arzio.
Aku tak menjawab pertanyaan tersebut. Arzio menggelengkan kepalanya dan kembali berbaring.
Seorang gadis memasuki tenda pos kesehatan. Mata kami semua tertuju padanya. Terlihat sangat intelektual dan berkelas.
Gadis itu menarik sebuah kursi, duduk di sebelah kanan Dani dan bersandar di kursi tersebut. "Lo ga ikut acara api unggun. Poin keaktifan lo dalam acara ini dikurangi 2," ucapnya pada Dani.
"Lo lagi sakit, ga apa-apa," ucapku.
Gadis itu menatapku. Aku balas menatapnya.
"Lo siapa?" tanyanya.
"PMR di sini! Kalo lo ga sakit, mending lo gabung sama yang lain buat ikut acara api unggun. Ini pos kesehatan, bukan rumah sakit yang punya jam besuk!" tegasku.
"Karena ini ga punya jam besuk. So, gue bebas dong buat ngejenguk Dani," balasnya.
"Justru karena di sini ga punya jam besuk, itu artinya ga dibolehin buat ngejenguk! Ga paham? Apa ga ngerti? Kalo ga ngerti, minta jelasin sama kepala sekolah lo aja. Gue masih ada kerjaan," jelasku.
Wanita itu berdiri dan menjulurkan tangannya. "Kenalin! Clarissa."
Aku melihat ke arah Dani dan dia menggeleng pelan.
"Silakan ke luar, Nona Clarissa. Ini bukan tepat umum," ucapku.