Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Keresahan Hati Keluarga Naura
Hujan mengguyur deras malam itu. Langit pekat tanpa bintang, seakan meratapi nasib Naura yang berjalan lunglai di trotoar, basah kuyup meski membawa payung kecil yang tampaknya tidak mampu melindunginya.
Tas besar yang dibawanya semakin berat oleh beban emosional yang ia rasakan.
Kakinya terus melangkah, tetapi pikirannya kosong.
Suara kendaraan berlalu lalang bercampur dengan suara hujan, tetapi Naura merasa seperti berada di dunia lain—sebuah dunia yang hanya berisi kesedihan dan kekecewaan.
Tiba-tiba, sebuah mobil hitam berhenti di dekatnya. Kaca jendela di sisi pengemudi perlahan turun, memperlihatkan wajah seorang pria yang tidak asing bagi Naura.
"Naura?" Suara itu terdengar hangat tapipenuh keprihatinan.
"Mas Raka?" Naura menoleh ragu.
Raka, sahabat Bimo yang juga pernah dikenalkan padanya di suatu acara, tampak terkejut melihat kondisi Naura.
"Apa yang kamu lakukan di sini, sendirian, malam-malam begini? Kamu basah kuyup!"
Naura mencoba tersenyum, tetapi senyuman itu hanya memperlihatkan kepedihan di wajahnya.
"Aku ... Aku ssedang ingin pulang ke rumah orangtuaku, Mas."
"Naura, ini sudah tengah malam. Naiklah ke mobil. Aku akan mengantarmu."
Naura ragu sejenak, tetapi melihat hujan yang semakin deras, ia akhirnya mengangguk.
Raka keluar dari mobil, membuka pintu untuknya, dan mempersilakannya masuk.
Setelah memastikan Naura duduk dengan nyaman, Raka memberikan handuk kecil dari jok belakang.
"Pakai ini dulu. Kamu basah kuyup."
"Terima kasih, Mas," ujar Naura pelan sambil menerima handuk itu.
Mobil melaju perlahan, membelah malam yang dingin. Raka tidak langsung bertanya, memberinya ruang untuk tenang.
Setelah beberapa menit dalam keheningan, ia akhirnya bertanya, "Naura, apa yang terjadi? Kenapa kamu sendirian di tengah malam seperti ini?"
Naura menghela napas panjang. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh tanpa bisa dihentikan.
"Aku ... Aku pergi dari apartemen Mas Bimo."
Raka mengerutkan kening, lalu menepikan mobilnya di sisi jalan yang sepi.
Ia menatap Naura dengan serius.
"Kenapa? Apa yang terjadi?" tanyanya.
Naura menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis.
Tetapi akhirnya, ia menceritakan semuanya—tentang pesan dari mantan pacar Bimo yang mengaku hamil, tentang foto tunangan di media sosial, dan tentang perasaan tidak dihargai yang terus menghantuinya selama bersama Bimo.
Raka mendengarkan dengan seksama, tidak sekali pun menyela. Ketika Naura selesai, ia menghela napas panjang.
"Naura, aku benar-benar minta maaf atas apa yang kamu alami. Aku tahu Bimo kadang egois, tapi aku tidak menyangka dia bisa menyakiti kamu sejauh ini."
Naura menunduk, menggenggam tangannya erat.
"Aku mencintai dia, Mas. Tapi aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk terus bersamanya. Aku merasa seperti aku hanya pengisi waktu di hidupnya."
Raka terdiam sejenak, mencoba memilih kata-kata yang tepat.
"Naura, aku tahu ini berat. Tapi kamu harus berpikir panjang. Kamu sudah terlalu jauh masuk ke dalam hidupnya untuk mundur begitu saja. Apalagi jika kalian sudah menikah secara agama. Masalah seperti ini harus diselesaikan dengan kepala dingin, bukan emosi."
"Tapi bagaimana caranya, Mas? Aku bahkan tidak tahu apakah keluarganya akan menerima aku. Eyangnya saja menentang keras hubungan kami."
Raka memegang setir erat, lalu menoleh ke Naura dengan tatapan serius.
"Kalau begitu, buat mereka datang ke rumah orangtuamu. Libatkan keluargamu dan keluarganya. Masalah seperti ini tidak bisa diselesaikan hanya antara kamu dan Bimo. Keluarga harus terlibat."
Naura terdiam, mencerna saran itu. Di satu sisi, ia merasa takut. Tetapi di sisi lain, ia tahu Raka benar.
"Mas, aku takut keluarganya semakin membenci aku," ucap Naura akhirnya.
"Kalau mereka benar-benar peduli pada Bimo, mereka akan mendengarkan. Dan kalau Bimo benar-benar mencintai kamu, dia akan berdiri di sisimu, apa pun yang terjadi." Raka mengulas senyuman.
Hati Naura terasa sedikit lega mendengar kata-kata Raka. Tetapi tetap saja, ada keraguan yang menghantui pikirannya.
Setelah perjalanan yang cukup panjang, mereka akhirnya sampai di depan rumah orangtua Naura.
Lampu rumah sudah padam, tetapi Raka mengetuk pintu dengan pelan sambil menunggu.
Pintu akhirnya dibuka oleh Ayah Naura, yang terkejut melihat anak perempuannya berdiri di sana, basah kuyup dan terlihat sangat lelah.
"Naura? Ada apa, Nak? Kenapa kamu pulang tengah malam begini?"
Naura memeluk ayahnya erat, tidak mampu berkata-kata.
Sementara itu, Raka memperkenalkan dirinya dan menceritakan secara singkat apa yang terjadi, tanpa terlalu banyak detail.
"Kami akan bicara lebih lanjut besok pagi, Pak. Untuk sekarang, biarkan Naura istirahat," kata Raka dengan sopan.
Ayah Naura mengangguk, lalu membimbing anaknya masuk ke dalam rumah. Sebelum pergi, Raka menepuk pundak Naura pelan.
"Ingat saran saya, Naura. Jangan biarkan dirimu merasa sendirian dalam masalah ini. Libatkan keluargamu, dan hadapi semuanya dengan berani."
"Terima kasih, Mas Raka. Untuk semuanya." Naura hanya bisa mengangguk pelan.
Raka tersenyum, lalu melangkah pergi ke mobilnya.
Naura menatap punggungnya yang semakin jauh, merasa bersyukur bahwa di tengah badai hidupnya, masih ada orang yang peduli padanya.
***
Pintu rumah tertutup pelan setelah Naura masuk bersama ayahnya.
Hening menyelimuti ruang tamu kecil itu, hanya suara tetesan air dari pakaian Naura yang masih basah kuyup terdengar samar-samar.
Ibunya segera muncul dari kamar dengan wajah panik, menyusul keributan di depan pintu tadi.
"Naura? Kenapa kamu pulang malam-malam begini?" tanya ibunya, suaranya bergetar antara kekhawatiran dan bingung.
Naura menatap kedua orang tuanya dengan wajah pucat dan mata sembab. Air matanya kembali mengalir tanpa bisa dihentikan.
Ia memeluk ibunya erat, seakan ingin melepaskan semua beban yang menghimpit dadanya.
"Bu ... Aku nggak kuat lagi ...," bisiknya pelan.
Ibunya memegang bahunya, mencoba memahami situasi.
"Apa yang terjadi, Nak? Mana Bimo? Kenapa kamu sendirian?"
Naura terdiam, tubuhnya bergetar hebat. Ayahnya yang berdiri di sisi mereka mulai tampak tidak sabar.
"Naura, jawab! Ada apa ini? Kenapa kamu pulang tanpa Bimo?" tanyanya dengan tatapan serius.
Naura menghela napas panjang, lalu mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata.
"Aku... Aku pergi dari apartemen, Yah. Aku nggak bisa lagi tinggal sama Mas Bimo."
"Pergi?" seru ayahnya dengan nada tinggi.
"Kamu sadar nggak apa yang kamu katakan? Bukankah kamu sudah menikah dengannya?"
Ibunya menenangkan suaminya, meski ia sendiri tampak cemas.
"Naura, jelaskan, Nak. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Naura menunduk, tidak sanggup menatap mata kedua orang tuanya. Air matanya kembali mengalir, dan suaranya terdengar terputus-putus.
"Mas Bimo ... dia nggak jujur sama aku, Bu. Dia masih punya hubungan sama mantan pacarnya. Bahkan ... dia—"
Naura berhenti, suaranya tercekat.
Ibunya menggenggam tangannya erat.
"Apa, Nak? Apa yang dia lakukan?"
Naura menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian.
"Dia menghamili perempuan lain, Bu."
Ruangan itu langsung sunyi. Hanya suara hujan di luar yang terdengar jelas, seolah menjadi saksi bisu atas kebenaran yang baru saja terungkap.
Ayah Naura membeku di tempatnya, wajahnya merah padam karena emosi yang meluap-luap.
"Apa maksudmu? Jadi selama ini, dia mempermainkanmu?"
Naura mengangguk perlahan, tidak mampu menahan tangisnya lagi.
"Aku ... Aku nggak tahu harus bagaimana, Pak. Aku cuma ingin pulang ke sini, ke rumah. Aku nggak punya tempat lain."
Ibunya menutupi mulutnya dengan tangan, terlihat sangat terpukul.
"Ya Allah, Naura ... kenapa ini bisa terjadi? Kenapa kamu nggak cerita lebih awal?"
Ayahnya melangkah mondar-mandir di ruang tamu, jelas sekali berusaha meredam amarahnya.
"Anak itu ... Bimo! Dia pikir dia bisa seenaknya mempermainkan anakku? Besok juga aku akan datangi keluarganya! Ini nggak bisa dibiarkan!"
"Pak, tolong ... jangan gegabah," ujar ibunya sambil memegang lengan suaminya.
"Kita harus tahu semuanya dulu. Jangan sampai masalah ini makin besar."
Naura menggeleng cepat, tubuhnya gemetar hebat.
"Pak, Bu, aku nggak mau merepotkan kalian. Aku cuma ingin tinggal di sini untuk sementara. Aku janji aku akan mencari solusi sendiri."
"Tidak, Naura," tegas ayahnya.
"Ini bukan cuma masalahmu. Ini menyangkut nama baik keluarga kita juga! Kalau mereka menganggap kita bisa diinjak-injak, mereka salah besar!"
Ibunya menghela napas berat, mencoba menenangkan suaminya yang mulai terbawa emosi.
"Kita bicara dulu, Pak. Jangan ambil keputusan dalam keadaan marah."
Ayah Naura hanya mengangguk singkat, meski wajahnya masih terlihat penuh amarah. Ia berjalan menuju kamar, meninggalkan Naura dan ibunya di ruang tamu.
Ibunya kembali menatap Naura, matanya penuh keprihatinan.
"Nak, apa kamu benar-benar yakin Bimo melakukan ini? Apa kamu sudah bicara dengannya?"
Naura mengusap air matanya, berusaha terlihat tegar meski dalam hatinya hancur berkeping-keping.
"Dia bahkan nggak menyangkal, Bu. Dia hanya bilang kalau dia akan menyelesaikan semuanya, tapi aku nggak tahu apa itu berarti."
Ibunya memeluk Naura erat, memberikan kehangatan di tengah rasa dingin yang melanda hati putrinya.
"Nak, kamu nggak sendiri. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapi ini bersama."
Naura memejamkan mata, merasa sedikit lega di tengah beban berat yang ia rasakan.
Tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini masih jauh dari selesai.
Di luar, hujan semakin deras, seolah mencerminkan badai yang sedang menghantam hidup Naura.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan