Tsania Zoun adalah anak yang terlahir dari rahim seorang wanita penghibur bernama Laura Zoun.
Lahir dengan status tidak memiliki sosok ayah, Tsania selalu tersisihkan, ia sering diberi julukan sebagai anak haram.
Ibunya, Laura Zoun juga selalu diterpa cercaan karena pekerjaannya yang menjadi wanita malam. Kehidupan sulit keduanya lalui hanya berdua hingga saat Tsania dewasa.
Tsania yang memiliki tekad untuk membahagiakan ibunnya memilih untuk menempuh pendidikan tinggi di kota. Akan tetapi di sana lah identitas aslinya mulai terkuak.
Penasaran bagaimana kisah hidup Tsania dan ibunya; Laura? Ayo! Langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Diana Putri Aritonang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tsania Laura 13.
Tsania minta maaf, Ma. Tsania tahu Mama marah. Tsania janji tidak akan mengulanginya lagi.
Laura kembali meletakkan ponselnya di atas nakas. Puluhan panggilan serta ratusan pesan yang dikirim Tsania semenjak kemarin tidak Laura tanggapi sama sekali.
Hingga pagi ini, Tsania terus mencoba menghubungi ibunya. Tsania tahu jika Laura tengah marah padanya, oleh karena itu jua lah Tsania tidak berhenti mencoba. Ia mengetik begitu banyak pesan yang semuanya berisi tentang permohonan maaf. Tanpa mengetahui jika Laura tidak membalas pesannya bukanlah karena ia yang masih marah. Tapi Laura hanya ingin menenangkan diri
Tidak jauh berbeda dengan Galang. Laura juga terkejut, bercampur dengan rasa tidak percaya atas pertemuan mereka. Ada ketakutan yang juga tiba-tiba Laura rasakan, ketakutan yang sulit ia defenisikan.
Ting!
Ma, angkat panggilan Tsania.
Untuk kesekian kalinya, pesan dari Tsania masuk ke ponsel Laura. Wanita itu meraihnya dan memutuskan untuk menerima panggilan telepon yang masuk.
"Akhirnya Mama mengangkat panggilan ku." Suara Tsania langsung terdengar lega dalam sambungan telepon. "Jangan mengabaikan ku lagi, Ma. Tsania minta maaf karena tidak memberi tahu Mama."
"Kamu ingin belajar menyembunyikan sesuatu dari Mama?"
"Bukan maksud Tsania seperti itu, Ma." Laura bisa mendengar suara yang tadinya girang kini terdengar lemah. "Tsania hanya tidak ingin membuat Mama kecewa."
Laura hanya diam saat mendengar penjelasan putrinya itu.
"Maaf, Ma. Tsania tidak akan mengulanginya."
"Sudah makan? Kamu tidak berangkat ke kampus?"
Di seberang sana Tsania tersenyum. Laura sudah mengalihkan pembicaraan, itu artinya, ibunya telah memaafkan dirinya.
"Sudah, Ma. Dan sebentar lagi akan berangkat. Pagi ini Tsania ada kelas."
"Berhati-hati lah. Jaga sikap mu."
"Siap, Komandan!" Di sana Tsania bahkan melakukan gerakan hormat. Ia juga sedikit tertawa hingga suaranya mampu Laura dengar dan membuat wanita cantik itu tersenyum. "Tsania pergi dulu, Ma."
Sambungan telepon itu terputus setelah Tsania berpamitan pada ibunya. Laura yang berada di dalam kamar pun beranjak dan menyikap tirai, hingga keadaan di luar kini bisa ia perhatikan. Masih sangat pagi, cepat sekali putrinya itu berangkat ke kampus, pikir Laura.
Namun tidak hanya suasana pagi yang Laura dapati. Netranya menangkap adanya sebuah mobil sedan hitam mewah terparkir di pekarangan rumah.
Laura menghela napas kasar. Ia mendengus dan segera beranjak keluar dari dalam kamar menuju pintu rumahnya.
"Mau apa datang sepagi ini? Mengantar sarapan lagi?" Laura dengan cepat menodong pertanyaan pada pria yang ia kira adalah Ardi Lim. Pria yang memiliki kebiasaan datang pagi-pagi ke rumahnya hanya untuk membawakan dirinya berbagai macam makanan.
Tapi sayang. Perkiraan Laura itu salah. Karena saat ini pria yang berdiri di hadapannya bukanlah Ardi Lim, melainkan sosok Galang Abraham.
Sesaat keduanya sama-sama terdiam. Galang juga terpaku menatap lekat pada Laura.
"Anda sepertinya salah alamat, Tuan."
"Tunggu!" Galang menahan pintu yang sudah ingin Laura tutup. Wanita itu berusaha keras mendorong, tapi pintu bahkan tak bergerak saat Galang yang menahannya hanya dengan menggunakan satu tangan.
Laura mendengus dan semakin menatap tajam pada Galang.
"Bisakah kita bicara?" pinta Galang. "Aku mohon."
Saat mendapat semua laporan tentang Laura dari orang suruhannya malam tadi, terutama alamat di mana istrinya itu tinggal, Galang begitu merasa tidak sabar menunggu pagi. Ia ingin segera menemui Laura.
"Apa yang ingin Anda bicarakan, Tuan?" Laura membuka dengan lebar pintu kediamannya. "Cepat katakan! Aku harus segera pergi bekerja." Laura memilih berbohong, pagi seperti ini bahkan club miliknya saja belum buka.
"Apa kabarmu, Laura?" tanya Galang pelan. Ia sesungguhnya bingung ingin mengatakan apa. Hatinya terlalu penuh, Galang tak tahu harus mulai dari mana menjabarkan semuanya.
"Baik," jawab Laura cepat. "Dan aku rasa itu juga bukan urusan Anda, Tuan."
"Aku mohon jangan berpura-pura lagi." Galang membawa dirinya lebih masuk ke dalam kediaman Laura, mengabaikan Laura yang jelas marah akan sikap tidak sopannya tersebut. "Jangan bersikap seakan tidak mengenal ku, Laura. Aku suamimu!"
Laura tersenyum sinis. Ia mundur hingga bisa membentang jarak dari Galang. Tatapan dingin ia berikan pada pria yang kini mengaku sebagai suaminya itu.
"Kau sepertinya tengah mengigau. Istrimu ada di rumah!" Suara menekan yang Laura berikan mampu membuat Galang terpaku. "Jangan mengatakan bualan di sini!"
"Tentang...Sekar...itu aku bisa menjelaskannya, Laura. Aku memang menikahinya. Tapi hanya kamu yang aku cinta."
Netra Galang sudah memerah. Tatapan yang ia dapat dari Laura rasanya begitu menikam. Bahkan sikap wanitanya itu menggambarkan kemarahan yang begitu besar.
"Selama ini aku menjalani semuanya tidak mudah. Kamu pergi meninggalkanku begitu saja, Laura. Kamu tidak menungguku untuk bisa menjelaskan semuanya. Untuk bisa menyelesaikan semuanya."
Galang menangis, pria itu tak bisa lagi membendung air mata. Perasaan yang selama ini sudah berpuluh tahun ia simpan mulai ia tumpahkan, meski tidak semua.
"Aku tidak perduli." Galang mengangkat pandang menatap Laura yang mulai membuka suara. "Aku tidak perduli dengan apa yang sudah kau lalui selama ini. Bagiku...," Laura sesaat menghentikan kalimatnya, panggilan ia terhadap Galang kini juga sudah berubah.
"Kita sudah selesai."
Deg!
"Kau bisa pergi! Sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan."
Laura ingin cepat mengakhiri pembicaraan dirinya dengan Galang. Jangan nilai jika saat ini ia baik-baik saja, batinnya begitu berkecamuk mendengar semua perkataan Galang.
"Tidak! Kau masih istriku, Laura! Kita masih terikat pernikahan. Aku tidak pernah menceraikan mu!"
Laura mendorong kasar tubuh Galang. Mengabaikan apa yang pria itu katakan. Dan membuat Galang kini berdiri di luar kediamannya dengan Laura yang segera menutup rapat pintu rumah.
"Laura! Aku mohon buka! Dengarkan aku! Kita belum selesai! Aku mencintaimu, Laura! Aku hanya mencintaimu!"
Berulang kali Galang mengetuk, berharap Laura masih mau menemui dirinya. Sedangkan Laura sendiri kini bersandar di balik pintu. Netranya mengembun seiring pendengarannya yang menerima pengakuan jika Galang masih mencintai dirinya.
Meski berat, namun untuk Laura semuanya sudah cukup. Ia sudah melangkah begitu jauh meninggalkan semuanya, tenggelam dalam kegelapan, Laura sudah berhasil menghapus dan berusaha membangun ulang hidupnya.
Dan apa yang terjadi di kediaman Laura itu dapat dilihat jelas oleh dua orang yang juga berada tidak jauh dari sana. Sekar dan Ardi Lim. Keduanya berada di tempat yang berbeda. Sekar yang melihat suaminya terburu-buru meninggalkan kediaman mewah mereka pagi tadi entah mengapa merasa ingin mengikuti.
Setengah jalan, awalnya Sekar ingin menghentikan tindakan konyolnya yang membuntuti Galang. Suaminya itu pasti lah menuju ke kantor, namun saat melihat mobil yang ditumpangi Galang mengambil jalur keluar menuju tepian kota, Sekar mengurungkan niatnya. Ia akhirnya memutuskan untuk terus mengikuti kendaraan sang suami. Dan berakhir lah dirinya di sini. Menyaksikan semua apa yang terjadi di antara Galang dan Laura.
***
Jangan lupa tinggalkan jejak 😉
aku mendukung Lim/Smug/