"DUARRR"
Akhirnya Zevana mengetahui dibalik sikap dingin suaminya. Gadis bernama lengkap Zevana Azalia Hermina Salim itu harus menelan pil pahit dalam rumah tangganya. Ia baru saja mengetahui kalau suami yang baru seminggu menikahinya itu ternyata memiliki tambatan hati. Pantas selama ini suaminya bersikap dingin, bahkan mereka tidak tidur satu kamar.
Apakah pernikahan itu akan terus berlanjut? Atau Zevana akan mencoba membuat suaminya jatuh hati padanya? Bukankah akan sangat melelahkan dan menyakitkan bila bertahan? Dan apakah suaminya mau melepas Zevana jika ada seseorang yang mau membahagiakan Zevana?
Inilah kisah Zevana seorang Putri dari orang ternama nan alim dan disegani. Siapa sangka rumah tangganya begitu nelangsa. Beri support ke author yahh..
Sebelumnya mohon maaf bila ada kesamaan antara nama tokoh, alamat, ataupun yang lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Trihandayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WWK BAB 13
"Assalaamu'alaikum, itu mobil sport warna hitam dope punya siapa?" Ucap seorang pemuda yang baru masuk hunian.
Zevana yang merasa memiliki mobil dengan ciri-ciri itupun langsung menoleh kearah sumber suara seraya mengangkat tangannya. "Wa'alaikumsalam, itu punya ku." Jawab Zevana dengan mata membola sempurna melihat siapa pemuda yang baru saja tiba.
"DEGGGG"
"Ka.. Kak Hanif." Ucap Zevana terbata-bata yang membuat Rayhan melirik kearahnya.
"Kamu sudah kenal Hanif, Nduk? Dia adiknya Rayhan, kemarin tidak bisa datang waktu akad." Saut Kakek Panji.
Hanif berjalan mendekati kerumunan yang berisi keluarga besarnya itu. "Bang, nasehati Istri mu. Jangan kebut-kebutan dijalan. Apa lagi seramai itu berjalan zig zag." Pemuda itu lalu duduk bersisian dengan Rayhan.
Sontak ucapan Hanif membuat seisi ruangan itu menganga. Gadis yang mereka fikir kalem karena keturunan Yai, rupanya bisa kebut-kebutan juga. Zevana yang jadi pusat perhatian pun jadi gugup.
"Hehehe, nggak tiap hari kok. Palingan kalau kejar waktu aja. Kak Hanif berlebihan." Ucap Zevana memecah suasana dengan ber hehe-ria.
"Kamu kenal Hanif dari mana?" Kini Papa mertua Zevana yang buka suara.
"Di kamp pengungsian di Mesir." Jawab Zevana.
"Rupanya kamu sudah lupa, Nana. Wajar saja kalau kamu menerima pinangan Bang Rayhan." Gumam Hanif dalam hatinya, wajahnya tertunduk lesu.
"Sudah lengkap bukan? Ayo makan malam dulu, baru nanti sambung kembali ngobrolnya." Ucap Rama William.
Akhirnya mereka segera beranjak ke halaman belakang. Disana ada dua gazebo yang cukup menampung semua orang. Makan dengan lesehan menunya juga sangat cocok dengan suasana halaman belakang. Beberapa art datang untuk menyiapkan makan malam itu.
"Masih banyak nggak, Mbok? Zevana bantuin ya?" Tawar Zevana pada Mbok Yem, salah satu art senior disana.
"Tidak perlu Nona, sudah hampir selesai." Tolak Mbok Yem.
"Haishh, tidak perlu merasa tidak enak. Ayok, Zevana gemes soalnya." Ucap Zevana seraya menggandeng tangan Mbok Yem berlalu dari halaman belakang menuju dapur.
Hal itu tentu tak lepas dari perhatian Rayhan apa lagi Hanif. Hanif yang tahu bagaimana sosok Zevana tentu tersenyum karena sikap dokter cantik itu.
"Kamu tidak bilang kalau satu tempat dinas dengan Zevana, Hanif." Ucap Rama pada Putra bungsunya.
Hanif menarik nafas dan menghembuskannya berlahan. "Untuk apa aku beri tahu? Pun Kakek inginnya Bang Rayhan, bukan aku." Pemuda itu melirik Rayhan dengan tatapan kesal.
"Maksud mu apa, Dek?" Tanya Rayhan, karena dia memang tidak mengerti dengan topik pembicaraannya.
"Abang tidak perlu tahu, cukup fokus abang pada istri abang saja. Hanif cuman mau bilang, abang beruntung bisa dapetin cewe seperti Zevana. Jangan di sia-sia in, banyak yang nunggu jandanya." Papar Hanif.
"Hanif, tidak seharusnya kamu bicara seperti itu." Saut Lydia.
"Maaf, Mah. Hanif cuman kelepasan, maaf bang." Ucap Hanif seraya menurunkan pandangannya.
Lagi dan lagi, ada yang mengatakan kalau Rayhan akan menyesal kalau sampai menyia-nyiakan gadis seperti Zevana. Tentu hal itu cukup mengganggu fikiran Rayhan. Ia jadi berasumsi kalau adiknya itu cukup mengenal Zevana.
"Setelah ini apa yang akan kamu lakukan, Hanif?" Tanya Rama mengalihkan pembicaraan.
Hanif terdiam sejenak, "Hanif mau lanjutin keinginan yang tertunda itu, Pah. Balik Bogor." Jawab Hanif sembari menatap sekilas wajah Papanya.
Rama manggut-manggut, "Papa ingin kamu ikut andil dalam perusahaan. Apa benar-benar tidak ada keinginan untuk gabung sama sekali?"
Hanif menggeleng, "Untuk saat ini tidak, Pah. Hanif takut dengan hingar bingar yang ada disana. Pun karena Hanif tidak ingin, biar Abang Rayhan saja."
Tiba-tiba Zevana datang dengan beberapa piring berisi lauk pauk di susul Mbok Yem di belakangnya dan art lainnya.
"Ini udah semua, Mbok?" Tanya Rama.
"Sudah, Tuan. Monggo..." Ucap Mbok Yem sembari mengacungkan ibu jarinya pun dengan kaki yang berlahan mundur untuk undur diri.
Akhirnya mereka memulai ritual makan malam bersama. Zevana dengan telaten melayani suminya. Yah, ini kedua kalinya setelah acara akad waktu itu. Mungkin orang lain akan menganggap hubungan keduanya baik-baik saja. Tapi tidak dengan Hanif, dia tahu sekali bagaimana Abangnya itu. Bahkan dia juga tahu kalau setelah menikah, Abangnya masih berhubungan dengan Katherine.
Hanya ada keheningan di acara santap malam kali ini. Usai makan, Zevana merapikan piring dan teman-temannya.
"Aku bantu." Ucap Hanif seraya ikut mengumpulkan piring kotor didepannya.
"Tidak usah, Kak. Kakak baru saja sampai, lebih baik ikutan ngobrol di ruang tengah." Tolak Zevana halus.
"Nggak deh, aku bosen dengan topik pembicaraan yang itu-itu saja. Aku jarang dateng kalau ada acara seperti ini." Jelas Hanif dengan tangan yang masih sibuk mengumpulkan piring.
"Owh iya? Kenapa begitu?" Kening Zevana sampai berkerut.
"Entahlah..." Ucap Hanif seraya berlalu dengan tangan yang penuh akan piring kotor.
Zevana pun mengekor dibelakang Hanif. Bagaimana dengan yang lain? Tentu mereka sudah berkumpul di ruang tengah. Usai dengan waktu bagian beres-beres, Zevana dan Hanif menyusul yang lain di ruang tengah. Tak lupa Zevana dan Hanif membawa nampan berisi camilan disana.
"Kak Ana, gimana biar bisa jadi dokter kaya Kakak?" Ucap salah seorang anak perempuan yang sering disapa Giselle. Dia adalah sepupu Rayhan dari Rama.
Zevana terdiam sejenak sebelum menjawab, "Niat, do'a, dan jangan lupa ikhtiarnya."
Giselle mengerutkan keningnya, "Lahh, bukannya do'a termasuk ikhtiar Kak?"
Zevana mengulas senyum, "Beda, sayang. Ikhtiar itu dilakukan dengan tenaga. Kalau Giselle pengen jadi dokter, Giselle harus belajar yang giat. Tapi jangan lupa do'a juga ya. Karena Kakak juga nggak bisa jadi dokter kalau nggak Allah izinin." Jelas Zevana.
"Huwaahhh, Kak Zevana hebat bisa sembuhin orang sakit." Ucap anak berumur sebelas tahun itu.
Zevana terkikik karena ucapan anak itu, "Kak Zevana nggak bisa sembuhin orang sakit, sayang. Allah yang sembuhin Kakak cuman bantuin. Paham kan?"
Anak kecil itu manggut-manggut, "Giselle pengen jadi dokter juga." Ucap anak kecil itu girang.
"Boleh, nanti sekolah di Al Azhar yah?" Tawar Zevana.
"Kenapa begitu?" Tanya Giselle yang kini sudah duduk di pangkuan Zevana.
Zevana mengusap puncak kepala Giselle pelan, "Lohh, katanya mau jadi dokter."
"Kalau Giselle di Al Azhar, yang ada malah jadi Ustadzah nanti." Giselle mencebikkan bibirnya.
Zevana menunduk dan agak sedikit menoleh kesamping demi melihat ekspresi Giselle. "Kakak juga sekolah di Al Azhar loh..."
"Ehh, iya tah?" Saut Giselle diakhiri cengiran khas anak kelas lima sekolah dasar.
Sontak hal itu membuat semua yang disana menggeleng sembari tersenyum.
"Kapan lanjut spesialisnya?" Tanya Rama mengalihkan topik.
Zevana melirik sekilas ke arah suaminya, "Tunggu acc dari Mas Rayhan dulu, Pah." Jawab Zevana.
"Lohh, Ray.. Kenapa memangnya? Kamu nggak support Zevana lanjut spesialis?" Kini Rama menatap Putra sulungnya lekat-lekat.
To Be Continued...