Berkisah tentang Alzena, seorang wanita sederhana yang mendadak harus menggantikan sepupunya, Kaira, dalam sebuah pernikahan dengan CEO tampan dan kaya bernama Ferdinan. Kaira, yang seharusnya dijodohkan dengan Ferdinan, memutuskan untuk melarikan diri di hari pernikahannya karena tidak ingin terikat dalam perjodohan. Di tengah situasi yang mendesak dan untuk menjaga nama baik keluarga, Alzena akhirnya bersedia menggantikan posisi Kaira, meskipun pernikahan ini bukanlah keinginannya.
Ferdinan, yang awalnya merasa kecewa karena calon istrinya berubah, terpaksa menjalani pernikahan dengan Alzena tanpa cinta. Mereka menjalani kehidupan pernikahan yang penuh canggung dan hambar, dengan perjanjian bahwa hubungan mereka hanyalah formalitas. Seiring berjalannya waktu, situasi mulai berubah ketika Ferdinan perlahan mengenal kebaikan hati dan ketulusan Alzena. Meskipun sering terjadi konflik akibat kepribadian mereka yang bertolak belakang, percikan rasa cinta mulai tumbuh di antara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Ketika Alzena turun dari mobil Devan di depan kantor Bastian, suasana mendadak menjadi riuh. Para karyawan yang sedang beraktivitas tiba-tiba berhenti, mata mereka terpaku pada pemandangan tersebut.
"Itu bukan Devan, CEO perusahaan besar itu?" bisik salah satu karyawan, menunjuk ke arah pria yang keluar dari mobil mewah bersama Alzena.
"Iya! Kenapa dia bisa sama Bu Alzena? Jangan-jangan..." sahut yang lain, suaranya sengaja dipelankan namun tetap terdengar.
Bisik-bisik mulai terdengar di seluruh penjuru kantor. Beberapa karyawan yang mengenali Alzena sebagai istri Ferdinan langsung memasang wajah heran.
"Apa jangan-jangan Bu Alzena itu selingkuh?" gumam salah satu staf, dengan nada skeptis.
"Gila, berani banget dia menggoda bos besar seperti Devan!" ujar yang lain dengan nada sinis.
Alzena yang mendengar gumaman-gumaman itu merasa tidak nyaman, tetapi dia berusaha tetap tenang. Tatapannya lurus ke depan, meskipun dalam hati dia merasa terpojok oleh tuduhan tanpa dasar tersebut.
Devan, yang menyadari suasana tidak enak itu, mendekati Alzena dan berbicara lembut. "Biarkan saja mereka. Kita fokus dengan tujuan kita ke sini."
Alzena hanya mengangguk kecil. Namun, semakin jauh mereka melangkah ke dalam kantor, semakin banyak tatapan sinis dan bisikan yang mengarah kepadanya.
Saat mereka tiba di lobi, Bastian keluar dari ruangannya dengan ekspresi terkejut melihat kedatangan mereka berdua. "Alzena? Devan? Apa yang terjadi di sini?" tanyanya, dengan nada yang penuh kebingungan.
Alzena membuka mulut untuk menjelaskan, tetapi Devan menyela dengan nada tegas. "Aku di sini untuk urusan pekerjaan. Masalah pribadi, aku harap kalian tidak ikut campur."
Pernyataan itu membuat suasana mendadak hening, tetapi bisik-bisik di antara para karyawan tetap tidak berhenti. Alzena merasa beban yang berat menekan dadanya, tetapi dia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk menunjukkan kelemahan. Dia harus kuat menghadapi semuanya.
Setibanya di meja kerjanya, Alzena merasakan tatapan dingin dari rekan-rekan kantor yang tak henti-hentinya menatapnya dengan sinis. Bisik-bisik mulai terdengar di sekelilingnya, seolah-olah sengaja dibuat cukup keras agar Alzena dapat mendengarnya.
"Pantas saja bisa langsung naik jabatan. Rupanya dia tahu caranya mengambil hati para bos muda," bisik seorang karyawan perempuan sambil memandang tajam ke arah Alzena.
"Iya, kayaknya emang matre banget. Gak mungkin cuma kerja keras doang," sahut yang lain sambil tertawa kecil.
Alzena pura-pura tidak mendengar, meskipun hatinya terasa sesak. Dia mencoba fokus pada pekerjaannya, membuka dokumen yang ada di mejanya sambil mengatur napas agar tetap tenang.
Namun, desas-desus itu semakin menjadi-jadi.
"Kamu tahu, tadi dia turun dari mobilnya Devan. Apa mungkin dia mau 'main aman' dengan beberapa bos sekaligus?" celetuk salah satu karyawan lelaki, yang langsung disambut tawa kecil dari sekelilingnya.
Tangan Alzena gemetar saat memegang pena. Dia menunduk, berusaha keras menahan air matanya agar tidak jatuh.
"Apa kalian semua tidak punya pekerjaan lain selain bergunjing?" suara tegas dari arah belakang membuat suasana mendadak hening.
Ketika semua orang menoleh, mereka melihat Devan berdiri di sana dengan wajah serius. Dia memandangi setiap orang yang ada di ruangan itu dengan tatapan tajam.
"Kalau ada yang punya waktu untuk berbicara hal-hal yang tidak relevan, lebih baik gunakan waktu itu untuk menyelesaikan pekerjaan kalian," lanjutnya, dengan nada yang membuat semua orang menunduk malu.
Setelah mengucapkan itu, Devan langsung pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Meski suasana kembali sunyi, Alzena tahu bahwa pandangan sinis itu tidak akan hilang begitu saja.
Saat istirahat makan siang, Tiara, sahabat Alzena, datang menghampirinya.
"Zena, kamu kuat, kan? Jangan biarkan mereka menjatuhkan kamu. Kamu tahu siapa dirimu sebenarnya," ucap Tiara sambil memegang tangan Alzena untuk menenangkannya.
Alzena hanya mengangguk pelan, berusaha mencari kekuatan dari kata-kata sahabatnya. Dia tahu bahwa apa pun yang terjadi, dia harus tetap tegar menghadapi situasi ini."Its oke Tiara, aku baik-baik saja kok, lagipula apa yang dibilang sama mereka itu enggak bener kok."
Ferdinan yang sedang mengendarai mobilnya melintasi jalan dekat halte, mendadak matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya. Alzena. Dia melihat istrinya itu menaiki mobil mewah milik Devan.
Jantung Ferdinan seketika berdegup lebih cepat. Matanya terpaku pada senyum yang dilemparkan Alzena kepada Devan sebelum pintu mobil itu tertutup. Sebuah senyum yang biasanya dia lihat setiap pagi, sekarang diberikan kepada orang lain.
"Kenapa dia bersama Devan?" pikir Ferdinan, dadanya terasa sesak oleh perasaan yang sulit dijelaskan—kecemburuan, kekhawatiran, dan sedikit rasa tidak percaya.
Ferdinan berusaha menepis pikirannya. "Mungkin ini hanya urusan pekerjaan," gumamnya, mencoba berpikir logis. Tapi bayangan senyuman itu terus terulang di benaknya, seperti sebuah rekaman yang diputar ulang tanpa henti.
Selama perjalanan menuju kantornya, pikiran Ferdinan terus berkecamuk.
"Apa aku terlalu sibuk sehingga dia merasa perlu mencari perhatian orang lain? Tidak, Alzena bukan seperti itu," batinnya mencoba menenangkan diri, meski bayangan tadi tetap menghantuinya.
Saat tiba di kantor, Ferdinan masuk ke ruangannya dengan wajah muram. Farrel, yang biasa menangkap perubahan suasana hati bosnya, mendekat.
"Pak, ada sesuatu yang mengganggu pikiran Anda?" tanya Farrel.
Ferdinan menatap Farrel, seolah ingin berbicara, tapi akhirnya dia hanya menggelengkan kepala.
"Enggak. Hanya ada beberapa hal yang harus aku urus," jawabnya singkat, berusaha menyembunyikan apa yang sebenarnya mengganggu pikirannya.
Namun di dalam hati, Ferdinan tahu dia tidak akan bisa merasa tenang sebelum berbicara langsung dengan Alzena dan mendapatkan jawaban atas apa yang dia lihat tadi.
"Kayaknya, emang aku yang terlalu berlebihan, lagian ngapain cemburu sih, sama cewek itu?"gumam Ferdinan.
Di meja Alzena, tumpukan berkas baru terus berdatangan. Para senior di kantor, dengan wajah tanpa dosa, meletakkan dokumen-dokumen tersebut di atas meja kerjanya.
"Ini tolong kamu selesaikan hari ini, ya," ucap salah satu senior dengan nada datar, seolah tugas itu adalah hal biasa.
Alzena memandang tumpukan yang terus bertambah dengan bingung dan sedikit lelah. "Apa ini semua benar-benar harus selesai hari ini, Kak?" tanyanya dengan sopan.
Senior tersebut tersenyum tipis, "Ya dong, deadline-nya hari ini. Kamu kan anak baru, harus bisa multitasking."
Alzena hanya mengangguk meski dalam hatinya ia merasa ini terlalu berat. Sambil menghela napas, ia mulai membuka salah satu dokumen dan mencoba fokus.
Namun, dari kejauhan, beberapa rekan kerja memperhatikan Alzena sambil berbisik-bisik.
"Lihat tuh, kayaknya dia sengaja cari muka biar didekatin sama bos-bos muda," ujar salah satu karyawan.
"Iya, makanya dikasih kerjaan banyak biar kapok. Anak baru sok cantik," sahut yang lain dengan nada sinis.
Alzena berusaha tidak memperdulikan komentar-komentar itu. Dia tahu bahwa dia harus bertahan dan menyelesaikan pekerjaannya sebaik mungkin, apa pun yang orang katakan. Namun, di dalam hati, rasa lelah dan tertekan mulai menggunung.
Waktu terus berjalan, dan ketika hampir semua rekan kerja sudah pulang, Alzena masih duduk di mejanya, berkutat dengan tumpukan pekerjaan yang belum selesai. Dia tahu Ferdinan pasti sedang menunggunya di rumah, tapi saat ini ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja.
Sambil mengetik di komputer, Alzena bergumam pelan, "Sabar, Alzena. Semua ini pasti ada hikmahnya."
"Hei... kamu, belikan kami kopi,"ucap salah satu staff senior bernama Rachel.
"Ttttapi kak, saya banyak kerjaan,"cicit Alzena.
"Ohh kamu mau bantah ya?"
"Baiklah, "Alzena menuruti perintah mereka membeli pesana kopi.