Ruby Lauren dan Dominic Larsen terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Apakah mereka akan berakhir dengan perpisahan? Atau sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kulkas tapi Pemarah
Ruby berjalan ke ruang tamu. Dia melihat buket bunga di lantai dan ingin segera memungutnya. Namun, belum sempat Ruby memungut bunga itu, Dominic langsung menginjak buket bunga tersebut.
"Singkirkan kakimu, Dominic. Kasihan sekali bunga itu, biar aku simpan ke dalam vas kecil," pinta Ruby.
"Kau bilang apa?" Dominic berjongkok, menyamakan tingginya dengan Ruby yang saat ini sedang berjongkok. "Kau akan menyimpan bunga ini dengan vas yang ada di mansionku?"
Ruby mengangguk dengan cepat. "Pinjamkan aku vas bunga. Jika aku sudah membeli yang baru, aku akan mengembalikan vas bunga milikmu."
Dominic tertawa sinis, lalu dia bangkit berdiri. "Tentu saja............... tidak boleh." Jawabannya itu langsung terdengar sangat menyebalkan di telinga Ruby.
"Dominic, kenapa kau menyebalkan sekali!? Aku hanya ingin bunga ini!" Ruby mencoba menarik buket yang diinjak oleh Dominic, namun kaki Dominic yang menginjak dengan kuat, membuat Ruby kesulitan menariknya.
"Untuk apa bunga ini!? Ini bukan milikmu!" Dominic menendang buket bunga itu menjauh.
Ruby berdiri dan menatap tajam Dominic. "Dasar jahat! Kau mirip monster!"
"Terserah, aku tidak peduli!" sahut Dominic, lalu berjalan mendekati buket dan mengambilnya. Dia lalu membuang buket itu ke tong sampah yang di sudut ruangan.
Ruby membulatkan matanya melihat Dominic membuang buket bunga itu. "Dia benar-benar sialan!" geramnya, ingin sekali mencabik-cabik wajah Dominic saat ini. "Dia sangat dingin, tapi dia juga selalu marah-marah! Aku bingung dengan sikapnya itu!"
Namun, Ruby mengurungkan niatnya, mengingat jika Dominic cukup berbahaya dan berani membunuh seseorang.
Ruby mengedarkan pandangan, dia melihat pelayan membawa boneka dan coklat. Ruby mendekati pelayan itu dan bertanya, "Boneka ini punya siapa?"
Dominic mendengar dan langsung menatap tajam pelayan itu. Dia memberikan tatapan yang sangat mematikan, sehingga pelayan tersebut langsung menunduk.
"I-ini milikku, Nyonya," ucap pelayan itu, lalu melangkah pergi meninggalkan Ruby.
"Aneh sekali, ada apa sebenarnya?" gumam Ruby, masih sangat menyayangkan buket bunga yang dibuang oleh Dominic.
Ruby mencebikkan bibirnya, kemudian dia menghentakkan kaki dan melangkah pergi meninggalkan Dominic.
"Hanya bunga saja dia sampai seperti itu! Lihat saja nanti, akan aku kirimkan bunga tiga mobil box penuh!" gerutu Dominic, menatap jengkel Ruby. "Biar dia makan saja semua bunga-bunga itu nantinya!"
***
Malam harinya di dalam kamar.
Ruangan kamar itu remang-remang, hanya diterangi cahaya redup lampu luar yang menyelinap melalui celah tirai.
Ruby duduk di lantai kamarnya, tubuh mungilnya meringkuk, memeluk erat lututnya ke dada. Rambutnya yang biasanya terurai rapi kini berantakan, seperti cerminan hatinya yang kacau.
Matanya sembab, bekas air mata yang tak henti mengalir. Di tangannya, sebuah ponsel pintar tergeletak tak berdaya. Layar menampilkan deretan panggilan yang tak terjawab, semua dengan status Nomor tidak aktif.
Ayah, Ibu, Kakak… semuanya. Nomor telepon mereka, yang dulu selalu dihubungi dengan mudah, kini bagai bayangan yang menghilang.
"Sebenarnya mereka Kemana? Kenapa mereka meninggalkanku? Kenapa mereka tidak memberikan kabar padaku?" gumam Ruby bertanya.
Setiap panggilan yang gagal menambah beban di dadanya, seakan-akan mengukuhkan pikiran mengerikan yang mulai menguasainya—keluarganya telah meninggalkannya.
"Ternyata aku tidak penting. Ternyata mereka memang ingin cepat-cepat membuangku dari hidup mereka. Pasti bagi ayah dan ibu aku adalah beban dalam hidup mereka." Ruby terus bergumam, penuh kesedihan.
Bayangan-bayangan itu menghantui pikirannya. Apakah dia telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan? Apakah dia telah mengecewakan mereka semua sampai-sampai mereka memilih untuk menghilang begitu saja, memutus semua kontak? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, seperti badai yang menghempas perahunya yang kecil dan rapuh.
Tangisnya kembali pecah, kali ini lebih keras dan pilu. Air mata membasahi pipinya, menetes ke lantai yang dingin. Ruby merasa sangat sendirian, terisolasi dalam kegelapan, ditinggalkan oleh orang-orang yang paling dia cintai.
Kehangatan keluarga, yang dulu selalu dia rasakan, kini hanya tinggal kenangan yang menyayat hati. Di tengah kesedihan yang mendalam, dia hanya bisa memeluk lututnya lebih erat, berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di dalam pelukan itu. Namun, ketenangan itu terasa begitu jauh, begitu mustahil untuk diraih.
Namun, tanpa Ruby sadari, Dominic berdiri di depan pintu kamar mandi. Pria itu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kasihan juga wanita aneh dan sinting itu, aku bisa merasakan apa yang dia alami sekarang," bisiknya pelan. Suaranya serak, paham dengan perihnya hati Ruby yang sekarang tidak tahu di mana keberadaan keluarganya. "Aku juga sering mengabaikannya. Aku takut membuka hati untuknya. Bagaimana jika dia hanya pura-pura baik? Bisa saja saat menyelematkan aku dari racun, itu termasuk skenario dari keluargaku."
......................
Di mansion utama keluarga Larsen.
Saat ini Paul dan Bryan sedang membicarakan tentang organisasi yang aktif di Palermo. Mereka merasa terancam dengan organisasi itu.
"Apakah mereka Mafia?" tanya Paul.
"Dari informasi yang aku dapatkan, mereka memang organisasi Mafia, Ayah. Mereka juga semakin memperluas wilayah kekuasaan," jawab Bryan.
Paul menegakkan posisi duduknya. Kedua tangannya yang ada di atas meja, saling bertaut. keningnya mengerut, lalu dia berkata, "Lakukan cara apa pun supaya mereka tidak bisa memperluas wilayah kekuasaan! Keluarga kita, terutama Klan Mafia kita tidak boleh kalah dari mereka!"
"Ayah tenang saja, aku pasti akan mengatasi masalah ini. Tapi sekarang ada yang lebih penting, Ayah," ungkap Bryan.
Paul mengerutkan keningnya dan menatap lekat Bryan. "Aku tahu, kau pasti ingin membicarakan tentang Dominic bukan?"
Bryan mengangguk. "Kapan dia akan mati, Ayah? Aku sudah muak melihatnya ada di dunia ini."
"Ayah merasa kutukan itu tidak benar, sebaiknya kita hentikan saja rencana untuk menyingkirkan Dominic," jawab Paul.
Bryan terlihat marah sekali. "Apa?" pekiknya dengan nyaring. "Bagaimana bisa, Ayah!? Bukankah ayah juga hanya ingin Dominic mati!?"
"Aku berubah pikiran, sudahi semua ini. Dominic bahkan sudah berusia 30 tahun dan kita tidak mendapatkan kesialan atau bencana apa pun, Bryan."
Bryan merasa jengkel karena Paul ternyata sudah tak berniat untuk membunuh Dominic. Dalam hatinya, dia berjanji bahwa dia sendiri yang akan menyingkirkan Dominic, tak peduli jika pria itu adalah adiknya sendiri. Bagi Bryan, Dominic saat hanyalah penggangu. Jika Dominic masih ada, dia tidak bisa mendapatkan Ruby seutuhnya.
...****************...