Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana.
Liam kembali menyelesaikan sarapannya dengan gerakan lamban, berusaha mengabaikan perasaan yang berkecamuk di dadanya.
Tiba tiba suara dering ponselnya berbunyi di atas meja. Liam melirik layar yang menampilkan nama Evan di sana, ia memutar bola mata malas, sejenak ia ragu untuk mengangkat, namun kemudian ia segera menggeser simbol hijau dan tanpa mengangkat ponselnya ia memperbesar suara panggilan.
"Halo, Kak!" ucap Evan suara adiknya yang baru memasuki bangku kuliah.
Liam mendengus, menebak jika Evan akan meminta sesuatu, karena hanya saat butuh saja adiknya akan menghubunginya. Dua bulan lalu Evan merengek meminta motor baru, bulan berikutnya minta mobil baru untuk ulang tahun, meskipun mobil lamanya bahkan belum berdebu. Liam benar-benar tahu pola ini.
"Jangan bertele tele cepat katakan, kau mau mobil baru lagi, biar ku lempar kau ke dalam sumur!" sergah Evan, dia tak habis pikir bahkan saat tahu dirinya di timpa skandal besar adiknya seolah tak perduli. Seolah merampok tanpa menyentuh.
"Haha.. Aku belum separah itu. Kak, Ini bukan masalah mobil baru, ini soal berita skandalmu."
Tiba tiba Ny. Anna menghampiri dan langsung merebut ponsel di telinga Evan.
"Berikan telfonnya biar Mamah yang bicara." ucapnya.
"Liam, kemana saja kamu? Kenapa tidak mengangkat telfon Mamah? malah panggilannya kamu matikan? apa kamu tidak tahu betapa pentingnya ini?" Ny. Anna mulai bicara terburu buru
Liam menarik napas. Namun sebelum menjawab, Evan menyela dengan nada meledek.
"Kak Liam pasti lagi enak enak sama istrinya, semalam kan hujan deras, mana perduli sama skandalnya yang makin Viral!" seloroh Liam dengan nada yang terdengar mengolok-olok.
"Adik sialan!" batin Liam, rahangnya mengeras, namun dia berusaha tetap tenang.
"Diam Evan! ini bukan lagi saatnya bercanda!" seru Ny. Anna suaranya agak meninggi.
"Liam!" Ibunya menyambung dengan nada lebih mendesak.
"Iya, Mah." sahut Liam, menekan emosinya.
"Kamu harus membuat jadwal konferensi pers secepat mungkin. Mamah tidak mau nama keluarga dan perusahaan kita semakin tercoreng, kalau sampai keadaan ini makin memburuk, bisa bisa kita tidak dapat kepercayaan dari para investor mana pun. Nama kita bisa di black list dari dunia bisnis Liam!"
Liam. menghela napas berat, dia menggaruk alisnya sejenak menyalurkan kerumitan yang berputar di kepalanya.
"Aku juga sedang merencakan itu, Mah. Mamah tenang saja."
"Bagaimana Mamah bisa tenang Liam," suara Nyonya Anna melunak tapi penuh beban.
"orang- orang yang dulunya sangat menghormati kita sekarang sedang menertawakan kita. Mamah malu, kamu tahu sekarang mamah di asingkan dari sirkel Mamah gara gara hal ini, Liam!"
Pria itu memejamkan mata, rasa bersalah perlahan muncul mendengar keluhan ibunya, tapi sebelum dia sempat merespons, Evan kembali menyela.
"Benar, Kak. Nama aku juga ikut terseret. Orang-orang di kampus bisik-bisik soal skandalmu. Nama Kakak ipar juga kena. Setelah pernikahan kalian, banyak yang bilang kalau pernikahan kalian cuma untuk pencitraan. Yah... walaupun itu sebenarnya kelihatan cukup masuk akal juga" .
Suara Evan terdengar agak jauh dari sambungan telfon, namun Liam cukup bisa mendengarnya dengan jelas.
“Aku akan urus ini, Mah," ucap Liam dengan nada tegas, meski suaranya sedikit tertahan.
"Aku janji, semuanya akan selesai sebelum makin parah. Konferensi pers akan kuatur secepatnya, aku butuh waktu satu atau dua hari untuk mempersiapkan semuanya"
"Kamu harus pastikan itu, Liam," desak Ny. Anna dengan nada lebih lembut tapi sarat kekhawatiran.
"Mamah tidak bisa terus seperti ini. Nama keluarga kita—maksud Mamah, nama kamu harus segera bersih dari semua tuduhan ini."
Liam mengangguk meski ibunya tak bisa melihatnya.
"Aku mengerti, Mah. Percayalah, aku tidak akan membiarkan berita ini semakin liar."
"Yah, kak, cepatlah tangani ini. Kasihan kita semua, apalagi kakak ipar. Orang-orang sudah beranggapan macam-macam tentang pernikahan kalian." sahut Evan agak berteriak.
"Baik, Mah... Liam akan segera mengurus ini, Bye Mah."
"Bye, Sayang... Titip salam untuk istrimu, Ya."
"Ya, Mah."
Liam menutup telepon dengan cepat, tak ingin mendengar lebih banyak lagi. Ia berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang makannya, otaknya berputar cepat, mencari solusi. Ia tahu, konferensi pers adalah langkah pertama, tapi tidak cukup hanya itu. Ada sesuatu yang lebih besar di balik skandal ini, sesuatu yang harus diselesaikan hingga tuntas.
Dia menghampiri jendela, memandang langit yang berawan, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa amarahnya mulai mendominasi.
Selama ini, ia berusaha tenang, memilih untuk mengalah, berpikir bahwa rumor ini akan berakhir damai setelah ia memggelontorkan hampir separuh kekayaan untuk menutupi kerugian para investor.
Namun sekarang, ia sadar bahwa semua itu ternyata tidak cukup untuk menahan berita itu tidak lagi muncul ke permukaan.
Dia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan dengan cepat menekan nomor informannya. Setelah beberapa kali nada sambung, suara di ujung sana terdengar.
"Liam?" suara itu terdengar waspada, seolah sudah bisa menebak alasan panggilan ini.
"Amu butuh bantuanmu untuk melakukan konferensi pers besok " kata Liam tanpa basa-basi.
"Aku ingin semua dipersiapkan. Dan satu lagi, cari tahu siapa yang menghidupkan lagi skandal ini. Aku tak akan diam lagi. Jika mereka ingin bermain api, aku akan membakar semuanya."
Suara di seberang sana mengangguk meski tak terdengar.
"Baik. Aku akan segera mengurusnya. Tapi... Liam, apakah kamu yakin ingin memperpanjang masalah ini? Membawa ini ke jalur hukum bisa memancing lebih banyak perhatian."
Liam menatap kosong ke luar jendela, angin di luar tampak semakin kencang.
"Aku yakin. Aku sudah cukup lama diam. Sekarang, biar mereka tahu siapa yang mereka hadapi."
"Aaa!!!"
Tiba tiba suara teriakan Alina menggema, memaksa Liam menutup telfonnya. Wajahnya seketika menegang, ia segera berlari keluar meyakini suara itu berasal di sekitar taman belakang dimana rumput rumput lebat tumbuh dengan liar.
Sampai ia di taman, Liam melihat Alina yang berdiri memegangi lengannya, suara rintihannya terdengar samar.
"Alina!" panggil Liam, dengan cepat ia menghampiri istrinya. dengan wajah sedikit khawatir.
...[••••]...
...Bersambung.......
ayo la firaun, ad yg halal gk usah lgi mikiri msa lalu yg gitu2 az. mncoba mengenal alina psti sangt menyenangkn krna dy wanita yg cerdas. semakin k sini alina akn mnunjukn sikp humoris ny dn liam akn mnunjukkn sikap lembut walau pn msih datar.
haaa, liam dengar tu ap kta raka. smga raka, kau memg sahabt yg tulus y raka. cuci trus otak liam biar dia meroboh degn sendiriny benteng tinggi yg ud dy bangun.
doble up kk😄
gitu dong alina, gk usah sikit2 nangis
sok cuek, sok perhatian. liam liam, awas kau y 😏
lanjut thor.