"Pokoknya aku mau Mama kembali!"
"Mau dibawa kemana anakku?!"
"Karena kau sudah membohongi puteriku, maka kau harus menjadi Mamanya!"
Tiba-tiba menjadi mama dari seorang gadis kecil yang lucu.
"Tapi, mengapa aku merasa begitu dekat dengan anak ini ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linieva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07. Tujuh
“Ehem… ehem…” sengaja Alisha berdehem agar Sadewa berhenti melihatnya yang begitu dekat.
Sadewa pun tersadar, dia membantu Alisha untuk berdiri dengan benar, “Kau… apa yang kau lakukan dibelakang pintu?” tanyanya marah dan melepaskan tangannya dari pinggang Alisha.
“Kan aku mau menutup pintunya.”
“Aku juga bisa menutup pintunya.”
“Kalau begitu kenapa kau membukanya lagi dan masuk?” balas Alisha tidak mau kalah.
“Itu… karena ada yang ingin aku katakan padamu. Dan aku juga gak tahu kau ada di sana.”
“Ya sudah, jadi apa yang ingin kau bicarakan sekarang? Kau mau masuk untuk membicarakannya?” Alisha membuka daun pintu dengan lebar.
“Tidak! Tidak perlu, besok saja kita bicara!” habis itu, Sadewa pergi sendiri ke kamarnya.
“Udah nih? Gak mau balik lagi dan bicara?” tanya Alisha yang mendongokan kepalanya keluar untuk melihat Sadewa, “Aku akan tutup pintunya loh?”
“Shht! Diamlah!” sampai Sadewa sendiri berbalik badan dan menegur Alisha dengan berbisik, lalu berbalik badan lagi untuk segera menuju ke kamarnya.
‘Aneh tuh orang. Selain mengomel terus, terkadang dia lucu. Udah ah, aku mau tidur dulu.’ Alisha menutup pintu dan segera melompat ke tempat tidur.
Tengah malam, Alisha yang tadinya tidur dengan lelap, merasa sesak dibagian dadanya.
‘Eeuukh… kok… kok rasanya berat ya, diatas tubuhku?’
Tapi dia sulit membuka matanya.
‘Ada apa ini? Rasanya… erat sekali.’
Hidungnya bergerak, karena terasa geli.
‘Geli, seperti ada bulu halus bergerak diujung hidungku. Apa ini?’
Alisha berusaha membuka matanya. Samar-samar, dia melihat ada sesuatu yang berwarna hitam sedikit dibawah dagunya.
“Anish?” Alisha bangun, ‘Ya ampun, kenapa dia ada di sini? Bukankah dia tidur di kamarnya tadi? Atau, aku yang ngelantur saat tidur, berjalan ke kamarnya?’ Alisha melihat sekitar kamar yang dia tempati, ‘Tidak, ini kamarku. Jadi, kenapa dia ke sini?’
“Mama… jangan peylgi.” Anisha seperti sedang mengigau. Dia memeluk Alisha dengan erat.
Alisha tidak marah, bahkan dari awal pun, tidak.
‘Dia pasti merindukan mama kandungnya ya?’
Dia mengusap rambut anak perempuan itu, ‘Baiklah, malam ini kamu tidur bersamaku.’
Dia menarik selimutnya untuk menutupi tubuh mereka berdua. Dia juga memeluk Anisha.
*
‘Dimana sih anak itu? Bukannya tenang di dalam kamarnya yang mewah, malah kabur-kaburan. Kalau kayak gini, siapa lagi yang akan disalahkan kalau bukan aku?’ Dewi menggerutu mencari Anisha.
“Dewi? Kenapa kamu disini? Bukankah kau harus mengurus Anisha? Apa sudah selesai?” Sadewa keluar dari kamarnya karena ingin berangkat ke kantor.
“A-anu, Tuan. Sa-saya ti-tidak melihat Anisha di kamarnya.”
“Apa??”
“I-iya, Tuan. Ma-maafkan saya. Tadi malam, saya sudah memeriksa kamar Anisha, dan dia masih ada di sana. Saat pagi tadi, dia… dia tidak ada.” Dewi sangat ketakutan sampai tidak bisa mengangkat kepalanya.
Sadewa memijit keningnya, “Lalu kenapa kau berdiri saja?! Cepat cari dia!!”
“I-iya Tuan.” Entah kenapa tujuannya, yang penting asal Dewi bergerak dan tidak melihat majikannya.
“Kalian semua juga! Cepat cari anakku!!” teriaknya pada semua pembantu di rumahnya.
“Hhooaamm… ada apa? Kenapa ‘Sayangku’ ini marah-marah, padahal masih pagi?”
Sadewa yang masih membelakangi Alisha, sedikit tergelitik dan jijik mendengar ucapan ‘Sayang’ itu dari mulut Alisha. Dia menunduk, menghela napas, berusaha bersabar demi puterinya.
“Kau! Apa kau selalu bersikap santai….?” dia tidak melanjutkan kalimatnya karena melihat siapa yang Alisha gendong.
“Anisha? Kau… kenapa kau bersama orang itu, Nak?” Sadewa ingin mengambil alih menggendong puterinya.
“Tadi malam, dia datang ke kamarku dan tidur bersama. Karena dia tidurnya lelap, aku tidak ingin membangunkannya untuk diantar ke kamarnya, jadi aku biarkan saja.”
“Aku mau tidyul sama Mama, tiap hayi.”
‘Semua orang sedang panik karena anak ini, dan sekarang… ah, sudahlah. Aku senang karena puteriku tidak apa-apa.’ batin Sadewa.
“Anisha, kalau kamu memang mau tidur di kamar di… Mama kamu, bilang dulu. Paling tidak, kasih tahu sama pengasuhmu.” Dia sangat berhati-hati dan lembut berbicara pada Anisha.
“Iya Papa, maafkan Nisha.” Anisha memeluk Sadewa.
“Tuan, saya tidak… eh? Nona Anisha sudah ditemukan?” dengan napas tersengal, Dewi datang ingin memberitahukan hasil pencariannya, tapi sudah melihat Anisha, ‘Sial! Darimana saja sih anak ini? Merepotkan sekali. Masih kecil saja sudah membuat seisi rumah kewalahan, gimana kalau sudah besar nanti?’ pikiran jahat dari Dewi.
“Anisha, kamu mandi dulu ya sama Mba Dewi.” Sadewa menurunkan Anisha untuk berdiri sendiri.
“Nona Anisha, mari-
“Gak mau! Aku mau dimandiin sama Mama!” Anisha berlari dan memeluk paha Alisha. Alisha menahan Anisha agar tidak jatuh dan tersenyum kaku,melihat Sadewa.
“Anisha, kan Mba Dewi di sini, bekerja untuk mengurus kamu, bukan Mama kamu.” Liriknya pada Alisha.
“Apa kamu mau menganggap mamamu ‘Pekerja’ di sini?”
‘Dih, kenapa sih dia melihatku seperti itu? Menyindirku gitu maksudnya?’ dalam hati, Alisha kesal.
Anisha mengerti maksud dari papanya katakan. Dia tidak ingin menganggap mamanya sendiri adalah pembantu yang digaji, sama seperti pengasuhnya. Karena Anisha menyayangi Alisha yang sebagai mamanya sekarang.
“Ma, nanti Anis makan bayeng Mama ya?”
“Iya dong Sayang.” Alisha mengusap kepala Anisha.
“Ayo Non, saya akan memandikan anda.” Dewi membawa Anisha kembali ke kamarnya.
“Kau!”
“Apa? Kau marah?” Alisha melihat Sadewa, dia juga sebenarnya sedang kesal.
“Kau tetap salah!”
“Loh? Kok aku yang salah? Maksudnya gimana nih? Darimana pula aku dinyatakan salah padahal kan aku sudah bilang, bagaimana anakmu yang datang ke kamarku.”
“Kau kan bisa memberitahukanku!”
“Gimana caranya?” balas Alisha.
“Ya kau bisa datang ke kamarku!”
“Ooohh… seorang perempuan muda dan cantik sepertiku, datang ke kamar pria yang tidak ada hubungannya sama sekali? Oke kalau aku melakukannya karena tujuannya untuk memberitahukanmu, tapi bagaimana kalau kau tidak percaya dan menganggapku hanya buat alasan untuk menggoda atau mengganggumu?”
Ya, itu memang benar. Sadewa, lebih mengutamakan emosinya daripada otak untuk berpikir.
“Tapi tetap saja, kau bisa berusaha menjelaskannya padaku-
“Sebelum menjelaskannya pun, aku sudah dibentak pastinya.”
“Akh! Terserah kaulah!” Sadewa memilih menyerah dan mengalah daripada kesabarannya habis.
*
“Nona Anisha, kalau kamu mau pergi keluar dari kamar, kan bisa kasih tahu dulu sama saya.” Dewi mengusap kepala Anisha dan menggosoknya pelan menggunakan shampoo.
“Kalau Nona kabur lagi dari kamarnya, bisa-bisa, bukan hanya saya saja yang dimarahi, tapi mama anda.”
“Mama? Kenapa?”
“Kan Nona tahu kalau Tuan, atau papa anda, mudah marah. Nona juga tadi lihat kan, dia memarahi mama anda? Ah… maafkan saya, bukan saya ingin mengatakan ini. Tapi… kalau sifat anda seperti ini, lama-lama, mama anda akan membenci dan pergi dari anda. Dan, bisa saja, papa anda juga kecewa pada Nona. Apa Nona mau dibenci?”
“Ta-tapi Mama bilang gak apa-apa.”
“Ya sebenarnya dia gak mau dan gak suka, tapi gak mau buat Nona menangis. Apa Nona pikir, Mama anda bisa terus bersabar dengan tingkah anda yang selalu mengganggunya?”
Anisha merenungkan yang pengasuhnya katakan. Dia merasa bersalah, dan Dewi merasa yakin kalau Anisha terpengaruh dari ucapannya.