Dokter Heni Widyastuti, janda tanpa anak sudah bertekad menutup hati dari yang namanya cinta. Pergi ke tapal batas berniat menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi pada Bumi Pertiwi. Namun takdir berkata lain.
Bertemu seorang komandan batalyon Mayor Seno Pradipta Pamungkas yang antipati pada wanita dan cinta. Luka masa lalu atas perselingkuhan mantan istri dengan komandannya sendiri, membuat hatinya beku laksana es di kutub. Ayah dari dua anak tersebut tak menyangka pertemuan keduanya dengan Dokter Heni justru membawa mereka menjadi sepasang suami istri.
Aku terluka kembali karena cinta. Aku berusaha mencintainya sederas hujan namun dia memilih berteduh untuk menghindar~Dokter Heni.
Bagiku pertemuan denganmu bukanlah sebuah kesalahan tapi anugerah. Awalnya aku tak berharap cinta dan kamu hadir dalam hidupku. Tapi sekarang, kamu adalah orang yang tidak ku harapkan pergi. Aku mohon, jangan tinggalkan aku dan anak-anak. Kami sangat membutuhkanmu~Mayor Seno.
Bagian dari Novel: Bening
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Safira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 - Tersesat
Untuk mendukung feel dalam membaca pada part chapter ini, Othor sarankan sembari memutar lagu berjudul "Terpanah Asmara" by Bunga Citra Lestari (BCL).
Selamat Membaca💋
🍁🍁🍁
"Aduh, sepertinya aku salah jalan pulang. Perasaan kemarin jalannya enggak begini. Apa tadi aku salah belok ya?" gumam Dokter Heni bermonolog.
Ya, saat ini Dokter Heni tengah berjalan menuruni jalan setapak tepatnya di pinggir rimbunan hutan dan ladang yang cukup lebat. Sebab, rumah pasien ada di daerah perbukitan. Alhasil dua hari yang lalu ketika berangkat, ia harus naik. Sekarang ketika pulang, akan banyak menemui jalanan yang berupa turunan. Namun tanda-tanda yang seperti jalan kemarin ia lewati, tampak berbeda dengan yang dilaluinya saat ini.
"Fix, sepertinya aku beneran nyasar nih. Mana dari tadi enggak ada sinyal terus. Ponsel canggih tapi sinyal cuma tulisan S0S begini. Fiuh..." keluh Dokter Heni seraya melihat layar depan ponselnya tepatnya di bagian sinyal.
Lalu Dokter Heni melihat jam tangannya, saat ini sudah menunjukkan pukul empat sore lebih. Tak lama lagi petang akan tiba. Namun dirinya masih tersesat dan ia merasakan jarak menuju pos pertama tempat dirinya menaruh motornya dengan posisi saat ini, masih terbilang jauh.
Sedangkan di sisi lain, Mayor Seno sudah menapaki jalan yang terus menanjak menuju titik koordinat rumah pasien yang dituju. Ia sudah memarkirkan motornya di samping motor Dokter Heni di pos pertama. Dari hal itu, ia sudah meyakini jika istrinya masih ada di desa tersebut. Sebab motornya masih ada di tempat semula.
Tap...Tap...Tap...
Penuh semangat Mayor Seno membawa tas ransel miliknya di punggung. Ia terus melangkah bahkan mempercepat langkahnya. Sebab langit tampak mendung gelap. Sepertinya tak lama lagi hujan akan turun, pikirnya.
Sedangkan Dokter Heni saat ini sedang perlahan memutar arah kembali. Karena jalan sebelumnya adalah arah yang salah sehingga dirinya tersesat. Otomatis dirinya harus kembali agar menemukan tanda untuk menuju tempat motornya terparkir.
Tiba-tiba...
Srekk....
"Aaaaa !!"
BUGH...
"Aduh kakiku," keluh Dokter Heni melihat kondisi kakinya yang terluka dan berdarah.
Akibat dirinya yang kurang hati-hati sehingga ia memegang ranting yang rapuh. Seketika dirinya terpleset karena ranting tersebut patah. Ia langsung terjatuh dan tubuhnya merosot di jalanan berupa turunan. Berhenti karena membentur pohon. Beruntung bukan kepalanya yang membentur pohon tetapi lengan kanannya. Alhasil kesadaran masih melingkupinya. Kini kakinya berdarah dan lengannya terasa ngilu.
"TOLONG !!
"TOLONG !!
"TOLONG !! jerit Dokter Heni berusaha meminta pertolongan. Ia berharap semoga ada orang yang lewat dan mendengar teriakannya untuk menolongnya segera.
Langkah kaki Seno berhenti kala melihat sesuatu yang ia kenali. Dirinya berjongkok untuk mengambil benda tersebut yang berada di atas tanah.
"Bukankah ini gantungan hiasan ponsel punya dia. Bundanya Aya," batin Seno seketika dilanda kecemasan.
"Sayang, kamu di mana? Bundanya Aya !!" teriak Seno tanpa sadar memanggil Dokter Heni dengan sebutan 'sayang'.
Beberapa kali Seno mengulangi panggilannya tersebut dengan terus berteriak kencang. Ia terus berjalan kaki melanjutkan langkah berharap segera menemukan titik terang keberadaan Dokter Heni.
Di saat putus asa karena sejak tadi dirinya berusaha berdiri namun tetap tak bisa. Sakit di pergelangan kakinya cukup membuatnya nyeri dan kesusahan menopang tubuhnya sendiri. Tongkat atau benda sebuah kayu panjang di dekatnya pun tak ada. Matanya mulai tampak berembun.
"Aya, Bunda kangen banget sama kamu. Mas, tolong aku." Dokter Heni bergumam lirih seraya terisak pilu di tengah keputusasaan atas kondisinya saat ini.
Bukan berarti dirinya cengeng. Ia pernah mengalami terluka saat menolong pasien di desa terpencil. Hanya saja saat itu statusnya janda. Namun saat ini berbeda. Ia memiliki Aya, si bintang kejora di hatinya. Aldo, putra sambung yang juga disayanginya. Walaupun belum bisa ia dapatkan hatinya.
Dan pastinya Seno, laki-laki yang berstatus suaminya dan namanya mulai mengisi relung hatinya akhir-akhir ini. Terlebih setelah Seno mengatakan cinta padanya tempo lalu. Semakin hari suaminya itu terus berusaha memberikan perhatian lebih untuknya. Ia merasa cintanya untuk Seno berbalas. Tak lagi cinta yang bertepuk sebelah tangan. Ia tak ingin kehilangan kebahagiaan yang baru saja dicicipinya.
Tak berselang lama telinganya mendengar sayup-sayup suara seseorang yang berteriak. Ia berusaha menajamkan telinganya. Suara itu kian jelas terdengar dan semakin kencang memanggil dirinya. Suara dari pria yang tentunya familiar baginya.
"MAS SENO !!"
"Aku di sini. Tolong Aku, Mas."
Deg...
Langkah kaki Mayor Seno seketika berhenti usai mendengar suara wanita yang ia terus panggil namanya sejak tadi.
"Sayang, kamu di mana?"
"Aku di sini, Mas. Di bawah pohon besar," ucap Dokter Heni.
Sambil membantu Seno menemukan dirinya, selain berteriak Dokter Heni juga melempar apa pun baik batu kecil maupun daun-daun serta ranting. Berharap Seno segera melihatnya.
"Sayang,"
"Mas, bantuin aku." Dokter Heni begitu lega. Akhirnya suaminya telah menemukan dirinya
"Astaga, kamu kenapa bisa begini?" tanya Seno yang terkejut melihat kondisi istrinya yang terluka di kakinya.
"Panjang ceritanya. Bantu aku berdiri, Mas. Setelah itu kita segera cari tempat berteduh dekat sini. Sudah mulai gerimis. Sebentar lagi pasti hujan deras. Kita enggak mungkin turun ke pos pertama yang masih jauh. Apa Mas tahu pondok dekat sini?"
"Iya, aku tahu. Biasanya anak-anak perkemahan atau prajurit yang tertahan hujan di sini, selalu berteduh di sana. Ayo,"
Akhirnya Seno menggendong tubuh Dokter Heni di punggungnya. Tas ransel miliknya di taruh di depan dadanya.
"Makasih, Mas. Sudah jemput aku ke sini," bisik Dokter Heni terdengar lembut di telinga Seno. Senyum mengembang terlihat jelas di wajahnya saat ini.
"Hem,"
"Mas tadi panggil aku apa?"
"Panggil saat kapan? Yang mana?" tanya Seno balik, pura-pura tak tahu.
"Yang tadi pas aku teriak minta tolong terus Mas panggil aku bukan kamu atau namaku. Satu kata," pancing Dokter Heni.
"Mas lupa," kilah Seno dengan wajah yang tersipu malu. Ia sendiri juga tak menyangka bibirnya berucap kata 'sayang' saat memanggil istrinya. Bisa jadi saking cemas dan paniknya.
"Uh, Pak Komandan. Selalu pinter ngeles kayak bajaj," sindir Dokter Heni seraya terkekeh.
"Pegangan yang kuat nanti jatuh lagi,"
Dokter Heni tak menjawabnya. Ia langsung bertindak sesuai arahan Seno. Ia mendekap erat dan kedua tangannya setia melingkar di leher suaminya.
Sepasang suami istri ini sudah tiba di sebuah pondok sederhana. Tak ada hunian terdekat lainnya selain pondok tersebut. Hujan mulai turun dengan lebatnya. Pondok tersebut dijaga oleh seorang kakek tua. Terdapat dua pondok yang terpisah dengan jarak 2 meter.
"Kalian istirahatlah di dalam. Kunci pintu dan jendela. Jika butuh sesuatu, ketuk pintu pondokku saja. Ada payung di belakang pintu," ujar kakek tua seraya memberikan kunci pada Mayor Seno.
"Terima kasih banyak," ucap Mayor Seno dan Dokter Heni dengan kompak.
☘️☘️
"Nah, sudah beres kan. Gimana rasanya sekarang?" tanya Seno.
"Sudah mendingan. Makasih banyak, Mas."
"Hem,"
Sepasang suami istri ini baru saja saling bekerja sama untuk memberi obat dan membalut kaki serta lengan yang terluka yakni pada tubuh Dokter Heni.
"Ayo makan terus tidur," titah Seno.
"Siap, Ndan. Hehe..."
Mayor Seno ikut tersenyum melihat wajah istrinya yang sudah ceria lagi. Keduanya pun asyik menyantap dengan lahap makan malam mereka dalam panci yang sama dengan alat makan seadanya. Mie instan kuah dengan beberapa kudapan sederhana yang dibawa oleh Seno tadi sudah berpindah ke dalam perut keduanya. Sungguh lezatnya rasa mie instan dimakan bersama di bawah derasnya hujan malam ini. Badan yang awalnya kedinginan pun seketika terasa hangat.
Makan malam pun telah usai sejak tadi. Namun keduanya masih juga canggung berada di kondisi seperti ini. Sekamar berdua bahkan di atas ranjang yang sama. Namun saat ini terpisah dengan sebuah guling pabrik di tengah-tengah bukan lagi ajudan cantik, putrinya.
"Mas," panggil Dokter Heni.
"Hem," dehem Seno yang sudah dalam posisi berbaring telentang di atas ranjang dan matanya terpejam. Sedangkan Dokter Heni dalam posisi duduk di atas ranjang.
"Aku enggak bisa tidur kalau pakai b*ra," cicit Dokter Heni lirih seraya menggigit bibirnya sendiri.
"Ya sudah dilepas saja," tukas Seno dengan mata yang masih terpejam.
"Susah lepasinnya, Mas. Lenganku kan yang kanan masih nyeri,"
"Astaga, maaf Mas lupa. Sini biar Mas bantu bukain," ucap Seno seketika bangkit dari posisi tidurnya. Kini ia dalam posisi duduk di atas ranjang menghadap Dokter Heni.
"Tapi, Mas jangan intip. Aku malu,"
"Iya, Mas merem deh."
"Janji,"
"Hem," jawab Seno kini perlahan tapi pasti tangannya sudah membantu membuka kemeja di tubuh istrinya.
"Sekarang tutup mata, Mas."
"Hem,"
Punggung Dokter Heni ada di depan Seno saat ini. Tangannya pun meraba pengait tempat penyangga mahoni kembar milik istrinya itu.
Klik...
Pengait itu pun sudah berhasil dibukanya. Dirinya saat ini seakan tengah berada di sebuah arena uji nyali. Benar-benar memacu adrenalinnya. Terlebih hawa dingin menyerbu keduanya saat ini. Gejolak kelelakiannya seketika menggeliat di bawah sana. Tanda bahwa dirinya pria normal. Tentunya kondisi seperti ini butuh dihangatkan bukan hanya sekedar makan mie instan panas atau kopi melainkan kehangatan lainnya.
Seno menarik napasnya sejenak. Dirinya kini sudah kembali berada di bawah selimut yang sama dengan istrinya. Guling pabrik pun sengaja Seno lempar ke tempat lain sebelum disadari oleh istrinya.
Acara melepas b*ra berakhir dengan baik. Namun menyisakan sesuatu yang mendadak bangun dari hibernasinya di bawah sana. Seketika membuat celananya terasa begitu sesak.
"Mas kedinginan ya?" tanya Dokter Heni yang cemas melihat Seno menarik napas sambil memejamkan mata. Wajah Seno tampak memerah seakan menahan sesuatu.
"Iya, dingin banget. Boleh minta peluk enggak?"
"Boleh. Peluk saja atau yang lain?"
"Memang yang lain sudah boleh?" tanya Seno seketika membuka matanya dan menatap wajah istrinya yang berada di sampingnya.
"Boleh. Sejak tiga hari lalu sudah bersih dari palang merah. Cuma Mas Seno kan enggak di rumah, lagi rapat koordinasi plus menginap di kota. Jadi, baru bisa bilang sekarang."
"Nakal," ucap Seno seraya terkekeh dan mencolek hidung mbangir istrinya.
Kedua wajah mereka saling berhadapan dalam kondisi berbaring di atas ranjang. Tangan Seno dengan lembut merapikan anak-anak rambut yang berjatuhan agar tak menutupi wajah cantik istrinya itu.
"Apa Bundanya Aya mengizinkan kalau aku memintanya?"
"Iya, Mas. Dengan senang hati," jawab Dokter Heni.
"Alhamdulillah," ucap Seno.
"Menunya malam ini apa saja, Bun?" goda Seno sebelum memulai sesuatu yang penting malam ini.
"Mas, maunya menu apa?" balas Dokter Heni yang ikut menggoda suaminya.
"All you can eat ada enggak, Bun?"
"Ada dan sudah ready. Tinggal diambil, dicicipi, terus dirasakan. Semoga bisa memuaskan,"
Perlahan tapi pasti wajah Seno mendekat ke arah wajah Dokter Heni. Seketika mata Dokter Heni memejam. Merasakan desir hati dan sentuhan bibir Seno di keningnya.
Cup...
Tak lupa Seno berdoa di ubun-ubun istrinya sebelum memulai ritual panjang malam ini yang telah dinantikan oleh keduanya. Setelah kecup kening dan berdoa, penjelajahan cinta pun dimulai. Berharap setelah ini cinta di hati mereka semakin erat dan terpatri.
Bersambung...
🍁🍁🍁
*Terima kasih atas doa kalian semua, Sobat Safira💋
Sehat semua dan terus membersamai dan memberi dukungan pada Pak Mayor dan Bundanya Aya sampai di penghujung kisah.
Like dan Komen banyak-banyak.
Nuhun...
bukan sukarela seperti yg km bilang
beneran apa bener teteh author
🤭🤭🤭
lo itu cuma mantan
buanglah mantan pada tempatnya
dasar racun sianida
💕💕👍👍
tampan se-kecamatan
🤣🤣🤣
🤦🤦🤦🤦
🤭🤭🤭🤭