"Kamu tidak perlu tahu bagaimana luka ku, rasa ku tetap milik mu, dan mencintai tanpa pernah bisa memiliki, itu benar adanya🥀"_Raina Alexandra.
Raina yatim piatu, mencintai seorang dengan teramat hebat. Namun, takdir selalu membawanya dalam kemalangan. Sehingga, nyaris tak pernah merasa bisa menikmati hidupnya.
Impian sederhananya memiliki keluarga kecil yang bahagia, juga dengan mudah patah, saat dirinya harus terpaksa menikah dengan orang yang tak pernah di kenal olehnya.
Dan kenyataan yang lebih menyakitkan, ternyata dia menikahi kakak dari kekasihnya, sehingga membuatnya di benci dengan hebat. padahal, dia tidak pernah bisa berhenti untuk mencintai kekasihnya, Brian Dominick.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mawar jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati yang sama lelah
"ingin rasanya ku berlari dengan kencang. Tetapi, kemana arah yang akan ku tuju. Aku tak memiliki siapa pun, untuk mengadu. Dan aku, tidak memiliki alasan, untuk tetap bertahan🥀"
🍂🍂🍂
Rintik hujan semakin deras, tubuhnya yang kian menggigil membuatnya semakin meringkuk dalam gelap malam. Rasa dingin menusuk hingga ke tulang, kedua telinganya bahkan mendengar suara giginya bertautan dengan keras.
Tak ada apa pun, yang bisa membuatnya kuat. Lagi pula, dia sudah tidak ingin perduli, patah lagi, untuk kesekian kalinya. Menyerah, kali ini Raina menyerah. Beban yang di rasa sudah terlalu berat, dia bahkan berharap tak lagi dapat melihat esok hari.
Akan tetapi, dengan pelan dia merasa seseorang seperti sedang mengganti pakaiannya. Rasanya, dia ingin berteriak, dan juga beranjak. Tetapi, tubuhnya tak memiliki tenaga sama sekali. Tulang di tubuhnya, bahkan terasa sangat ngilu.
Kedua matanya, juga tidak bisa terbuka. Akan tetapi, dia masih bisa mencoba menerka. Beberapa saat kemudian, dia sangat merasa ketakutan.
"Bagaimana jika seseorang sedang melecehkan ku saat ini?" batin Raina dengan takut.
"Bagaimana jika esok aku masih bisa bernafas, dan melihat dunia dengan benar?" batin Raina dengan cemas.
Mendadak, Raina berharap seseorang menolong dirinya kali ini.. Namun, beberapa saat kemudian, tubuhnya terasa hangat. Dia bahkan bisa merasakan, seseorang sedang mencoba menyelimuti tubuhnya.
"apa dia baik-baik saja?" tanya seseorang, Raina merasa tidak asing dengan suara tersebut.
"dia baik pak, hanya demam saja, kemungkinan tubuhnya akan terasa lemah esok hari."
"biarkan dia beristirahat saja, dan kalau nanti panasnya tinggi, bisa beri obat ini satu sendok saja ya." ungkapnya lagi.
"baik, terimakasih." jawabnya pelan.
"saya permisi dulu pak," ucapnya lagi dengan datar.
Tak lama kemudian, Raina merasa kedua tangannya diraih dengan pelan. Dan dapat di rasakan olehnya, hangat kulitnya yang mencoba menggosok telapak tangannya dengan sesuatu.
"Pak Bara,"ujar Raina dengan lirih, hingga beberapa detik kemudian pergerakan tangan di telapak tangannya terhenti.
"apa!" jawabnya dengan kesal.
"bikin susah aja!" ocehan Bara terdengar jelas di telinga Raina. Padahal, tadinya Raina hanya mencoba menebak. Siapa sangka, suaranya justru terdengar dengan jelas.
"Maaf," akhirnya, Raina bersuara lagi dengan pelan, kedua matanya juga dengan perlahan terbuka. sesaat kemudian, Raina mencoba bangkit dari tidurnya, namun segera di tahan oleh Bara.
"tidak usah banyak tingkah, istirahat saja dulu." ujar Bara dengan cepat, ketika melihat Raina akan bangkit.
"aku ingin pulang," ujar Raina lagi, mencoba melepaskan diri dari Bara.
"tidak usah keras kepala, ini sudah larut malam. Lagi pula, di luar hujan deras." ujar Bara lagi. Seketika, Raina menoleh keluar jendela kamar itu, dan benar saja yang di katakan Bara. Di luar, hujan dengan deras, beberapa juga ada begitu banyak petir dan kilat yang berkilap.
Akhirnya, Raina tertunduk lagi. Dia sangat takut saat ini. Raina sama sekali tidak mengenal Bara dengan baik, mereka bahkan baru beberapa hari bertemu. Dan Bara, mengajaknya untuk menikah. Ya, tiba-tiba, Raina teringat tentang kesepakatan mereka.
"baik lah, aku setuju untuk menikah." ujar Raina dengan jelas, Bara yang berada tak jauh dari Raina segera menoleh dengan cepat.
"apa?" ujar Bara dengan kaget.
"aku tidak salah dengar?"" tanya Bara dengan beranjak, dan menghampiri Raina yang berada di ranjang.
"tidak, aku bicara benar." ujar Raina dengan menunduk.
"okey, kita menikah besok." ujar Bara dengan cepat.
"ha, besok?" tanya Raina kaget.
"iya, besok." jawab Bara cepat.
"Lagi pula, besok atau lusa sama saja. Kita tetap akan menikah, Kecuali, kalau kamu bersedia mengganti rugi semua biaya renovasi." kata Bara datar.
"ah iya, baiklah." sahut Raina dengan pasrah.
****
Bara menatap lurus jendela kamarnya, udara semakin dingin, karena hujan tidak juga berhenti. Waktu sudah menunjukan pukul tiga dini hari, tetapi kedua matanya bahkan tak ingin tertidur sama sekali. Entah apa yang ada di benaknya, dia bahkan masih mengenakan kemeja dengan setelan celana dasar panjang khas di kantor. Sejak pulang dari kampus beberapa waktu lalu, dia sama sekali belum berganti pakaian.
Padahal, biasanya dia akan segera membersihkan diri. Setidaknya, dia akan mengganti bajunya lebih dulu, apartemen ini, adalah tempat ternyaman milikinya. Yang hanya dirinya yang tahu, bahwa dia memiliki apartemen itu.
"Tio, siapkan pernikahan ku besok pagi."ujar Bara melalui panggilan di ponselnya.
"apa pak?" tanya Tio, yang merupakan tangan kanannya selama ini.
"sudah, tidak perlu banyak tanya."
"datanya sudah ku kirim, aku tidak mau tahu, pokoknya besok aku harus menikah." ujarnya lagi, sebelum mengakhiri panggilan ponselnya.
"baik, pak." jawabnya dengan segera.
Bara memijit pelan pelipisnya, keputusannya sudah bulat. Kedua orang tuanya selama ini, selalu menganggapnya tidak berguna sama sekali, bahkan mereka mencoba menjodohkan Bara dengan wanita cacat, yang orang lain saja tidak sudi menatapnya.
Bara juga tahu, pernikahannya dengan wanita cacat itu bertujuan untuk mempererat hubungan perusahaan ayahnya dengan milik orang tua cacat itu.
Bagaimana pun juga, Bara akan menikah dengan wanita pilihannya sendiri, sekalipun jelek. Setidaknya, itu adalah pilihannya sendiri, apa lagi paksaan dari kedua orang tuanya.
"kalau kamu tidak ingin menikah dengannya, berikan kami alasan yang masuk akal."
"kami memberi waktu sampai akhir bulan ini, kalau sampai kamu belum juga menikah, mau tidak mau, kamu harus menikah dengannya." itulah kalimat yang di ucapkan ayahnya, sebelum dia pergi meninggalkan rumah kedua orangtuanya itu.
"akan ku buktikan, kalian salah telah memperlakukan ku dengan seenaknya." ujar Bara dengan mengepalkan kedua tangannya .
Barendra Noah Dominick, putra pertama dari keluarga Dominick yang cukup terkenal di salah satu pulau Jawa. Bisnis keluarganya yang sangat terkenal yaitu menguasai beberapa pertambangan di daerah pusat. Selain itu, ayahnya Dominick juga pemilik salah satu Tambak ikan yang cukup terkenal di sana, di mana di sana tambak ikan juga merupakan salah satu penghasilan terbesar.
Sayangnya, keluarganya tidak harmonis seperti yang orang-orang pikirkan. Ibunya, bahkan meninggal karena di siksa oleh ayahnya sendiri. Dan Bara yang saat itu masih berusia limat tahun, namun mampu merekam segala hal tentang ibunya.
Dan sialnya, dirinya tetap tidak bisa berbuat apa pun, hingga saat ini. Rasanya, dia ingin segera melampiaskan rasa dendam di hatinya terdalam. Akan tetapi, dia masih mencoba memainkan peran dengan sabar, agar tujuannya bisa sampai dengan tidak ada halangan.
"akan ku pastikan, kalian tidak akan lagi bisa tertawa dengan lepas sebentar lagi." ujar Bara dengan mengusap sudut matanya yang basah.
"ibu, maafkan aku. Aku janji, sebentar lagi, rasa sakit kita akan terbalaskan." ujar Bara lagi, dengan mengecup pelan bingkai ibunya, dan memeluknya pelan, sebelum akhirnya kembali di letakan di atas mejanya.